Logam Tanah Jarang: Senjata Rahasia China Melawan Dominasi AS?

Table of Contents

Logam tanah jarang (LTE) atau rare earth elements (REE) lagi jadi topik hangat, terutama dalam konteks persaingan ketat antara China dan Amerika Serikat. Belakangan, China mengeluarkan jurus baru yang cukup bikin pusing Washington: membatasi ekspor beberapa jenis LTE.

Awal April 2025, China secara resmi memberlakukan pembatasan ketat pada ekspor tujuh unsur dan magnet tanah jarang. Sekarang, kalau mau ekspor item-item ini, eksportir butuh lisensi khusus dari pemerintah China. Ini bukan langkah biasa, tapi respons langsung dari Beijing terhadap kebijakan tarif tinggi yang diterapkan AS, sampai 145% untuk beberapa produk.

Kebijakan tarif dari AS ini sebelumnya sudah bikin pengiriman barang dari China terhambat di pelabuhan-pelabuhan Amerika. Dampaknya terasa banget di banyak industri kunci di AS, mulai dari sektor pertahanan yang sensitif, industri kendaraan listrik yang lagi ngebut perkembangannya, sampai teknologi medis yang vital bagi kesehatan masyarakat. Langkah balasan China ini jelas menambah tekanan.

Amerika Serikat punya ketergantungan yang sangat tinggi pada China untuk pasokan logam tanah jarang. Bayangin aja, lebih dari 50% mineral kritis yang dibutuhkan AS itu datangnya dari Negeri Tirai Bambu. Pembatasan ekspor ini langsung mengancam banyak sektor, termasuk produksi jet tempur F-35, rudal canggih, dan drone untuk militer AS. Di sektor teknologi, produksi smartphone, chip AI, dan perangkat elektronik lainnya juga terancam. Begitu juga di layanan kesehatan, alat-alat penting seperti mesin MRI dan perlengkapan pengobatan kanker sangat bergantung pada LTE.

Para analis industri dan ekonomi sudah mewanti-wanti. Mereka bilang, pembatasan ini bisa menyebabkan kelangkaan pasokan LTE di pasar global, yang ujung-ujungnya bikin harganya melambung tinggi. Selain itu, keterlambatan pasokan juga nggak terhindarkan. Yang paling parah, beberapa perusahaan di AS dan negara lain diprediksi bisa ngalamin pemutusan pasokan secara permanen kalau situasi ini berlanjut.

Logam Tanah Jarang

Apa Sih Logam Tanah Jarang Itu?

Logam tanah jarang itu sebenarnya nama untuk sekelompok 17 unsur kimia yang punya sifat mirip-mirip. Kelompok ini mencakup skandium (Sc) dan yttrium (Y), ditambah 15 unsur yang dikenal sebagai lantanida (dari Lanthanum sampai Lutetium). Meskipun namanya “tanah jarang”, unsur-unsur ini nggak beneran jarang banget di kerak bumi kok. Mereka cukup melimpah kalau dibandingkan dengan, misalnya, emas atau platinum.

Nah, kenapa disebut “jarang”? Masalahnya bukan di jumlah totalnya, tapi di cara mereka ditemukan. Unsur-unsur ini jarang banget terkumpul dalam satu lokasi dengan konsentrasi tinggi yang bikin kegiatan penambangan dan pemrosesannya jadi ekonomis. Jadi, meskipun ada di mana-mana, nemuin deposit yang gede dan gampang ditambang itu yang sulit.

Secara etimologi, penamaan “tanah jarang” ini memang agak misleading. Beberapa unsur lantanida seperti serium dan neodimium, bahkan kelimpahannya lebih besar dari logam umum kayak perak, timbal, atau timah di kerak bumi. Tapi karena penyebarannya yang merata dan jarang nongol dalam jumlah besar di satu tempat, mineral yang mengandung LTE seringkali nggak cukup ekonomis kalau ditambang sendiri. Biasanya, mereka ditemukan sebagai produk samping dari penambangan mineral lain.

LTE ini sempat jadi perbincangan panas dan menarik perhatian dunia karena sifat-sifatnya yang unik. Sifat magnetik, kemampuan memancarkan cahaya (luminesens), dan sifat elektrokimianya bikin mereka sangat penting untuk berbagai aplikasi di teknologi modern yang canggih. Tanpa LTE, banyak gadget dan peralatan yang kita gunakan sehari-hari nggak akan berfungsi seperti sekarang.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia juga mendefinisikan Rare Earth Elements (REE) sebagai 17 unsur tersebut, yang meliputi lanthanum (La), cerium (Ce), praseodymium (Pr), neodymium (Nd), promethium (Pm), samarium (Sm), europium (Eu), gadolinium (Gd), terbium (Tb), dysprosium (Dy), holmium (Ho), erbium (Er), thulium (Tm), ytterbium (Yb), dan lutetium (Lu), ditambah Scandium (Sc) dan Yttrium (Y). Unsur-unsur ini umumnya terbentuk dalam mineral penyusun batuan. Mereka sering terakumulasi dalam mineral aksesoris pada batuan yang bersifat asam seperti granitoid. Contoh mineralnya termasuk monasit, senotim, allanit, titanit, dan zirkon.

Potensi Logam Tanah Jarang ESDM

Pentingnya Logam Tanah Jarang untuk Teknologi Modern

Logam tanah jarang ini punya potensi aplikasi yang luar biasa luas, saking pentingnya sampai dijuluki “vitamin industri modern”. Coba lihat sekeliling kita, banyak banget benda yang pakai LTE. Ambil contoh, magnet permanen yang super kuat. Magnet ini vital banget untuk motor di mobil listrik, generator di turbin angin raksasa, bahkan motor kecil di earphone atau sepeda listrik kita.

Selain magnet, LTE juga dipakai di layar monitor LED supaya warnanya cerah dan akurat, di komponen kunci dalam handphone, laptop, dan kamera digital. Lampu LED yang hemat energi juga butuh LTE untuk fosfornya. Intinya, dari gadget sehari-hari sampai peralatan industri berat dan canggih, LTE memegang peran yang nggak bisa digantikan oleh logam lain.

Namun, meskipun permintaannya tinggi dan aplikasinya luas, rantai pasok LTE ini sangat, sangat terkonsentrasi. China adalah pemain dominan, menguasai sebagian besar produksi penambangan dan, yang lebih penting, pemrosesan global. Karena dominasi inilah, tanah jarang jadi alat geopolitik yang kuat, apalagi di tengah “perang dagang” atau persaingan ekonomi yang makin panas, khususnya antara Amerika Serikat dan China.

China, Sang Raja Logam Tanah Jarang

Dominasi China di industri rare earth bukan cuma kebetulan, tapi hasil dari strategi jangka panjang. Sejak tahun 1980-an, pemerintah China secara aktif mendukung pengembangan industri ini. Mereka rela menanggung biaya lingkungan yang besar akibat proses penambangan dan pemrosesan LTE yang memang cukup jorok, dan menawarkan harga yang sangat kompetitif di pasar global. Strategi ini berhasil. Kini, China menguasai dua per tiga produksi penambangan LTE dunia.

Berdasarkan data U.S. Geological Survey tahun 2022, posisi China memang mencengangkan:
* China menyumbang sekitar 70% dari total produksi penambangan unsur tanah jarang secara global. Angka ini menunjukkan betapa besarnya skala operasi penambangan di sana dibandingkan negara lain.
* Yang lebih krusial, China memproses lebih dari 90% pasokan tanah jarang dunia. Ini artinya, meskipun ada negara lain yang menambang, bijihnya seringkali harus dikirim ke China untuk diolah menjadi bentuk yang bisa digunakan industri.
* Tidak hanya bahan baku, China juga menguasai 90% produksi magnet permanen berbasis tanah jarang. Magnet jenis ini, seperti magnet Neodymium-Iron-Boron (NdFeB), adalah yang paling kuat dan krusial untuk banyak teknologi modern.

Penguasaan ini memberi China pengaruh besar dalam negosiasi perdagangan dan konflik geopolitik. Contoh paling jelas terjadi pada tahun 2010. Saat itu, China membatasi ekspor logam tanah jarang ke Jepang karena ada sengketa wilayah. Hasilnya? Harga LTE global langsung melonjak drastis. Kejadian itu jadi bukti nyata bagaimana China siap menggunakan kontrolnya atas pasokan REE sebagai senjata geopolitik untuk menekan negara lain.


Mengapa AS Sangat Rentan?

Posisi Amerika Serikat dalam urusan pasokan unsur tanah jarang ini memang cukup mengkhawatirkan dan membuatnya sangat rentan terhadap kebijakan China. Ada beberapa alasan utama di balik kerentanan ini:

  • Angka impor AS sangat bergantung pada China. Antara tahun 2020 hingga 2023, sekitar 70% dari total impor unsur tanah jarang AS berasal dari China. Ini menunjukkan betapa sedikitnya sumber alternatif yang dimiliki AS dalam jumlah besar.
  • Militer AS, yang merupakan tulang punggung keamanan nasional, sangat bergantung pada unsur tanah jarang berat. Pesawat tempur canggih seperti jet F-35, rudal presisi tinggi seperti Tomahawk, dan drone pengintai seperti Predator, semuanya menggunakan komponen yang mengandung LTE, terutama yang “berat” (unsur dengan nomor atom lebih tinggi) yang lebih sulit ditambang dan diproses.
  • Sektor manufaktur AS, terutama yang bergerak di bidang pertahanan dan teknologi tinggi, langsung menghadapi risiko serius. Pembatasan pasokan bisa menyebabkan keterlambatan produksi yang signifikan dan kenaikan biaya komponen yang pastinya akan memukul keuntungan perusahaan.


Ironisnya, Amerika Serikat sebenarnya punya tambang unsur tanah jarang aktif, yaitu Mountain Pass di California. Namun, tambang ini hanya menambang bijih dan tidak memiliki fasilitas pemrosesan yang memadai, khususnya untuk memisahkan dan memurnikan unsur tanah jarang berat. Alhasil, bijih yang ditambang di AS sendiri masih harus dikirim ke luar negeri, dan sebagian besar, ya, ke China untuk diproses lebih lanjut.

Industri unsur tanah jarang di AS sendiri sudah melemah sejak tahun 1980-an, seiring dengan naiknya dominasi China yang menawarkan harga lebih murah. Kondisi ini bikin AS sadar dan mulai berusaha mencari sumber alternatif. Presiden Trump, misalnya, pernah mendorong kerja sama mineral dengan Ukraina dan menunjukkan ketertarikan pada Greenland, yang diketahui memiliki cadangan unsur tanah jarang terbesar ke-8 di dunia. Upaya ini berlanjut di era pemerintahan berikutnya, dengan investasi dan insentif untuk membangun kembali rantai pasok LTE domestik atau dari negara-negara sekutu.

Membangun kembali rantai pasok ini bukan perkara mudah. Dibutuhkan investasi besar untuk fasilitas pemrosesan, teknologi canggih, dan yang tidak kalah penting, komitmen untuk mengelola dampak lingkungan yang ditimbulkan.


Rantai Pasok Logam Tanah Jarang (Contoh Sederhana)

```mermaid
graph LR
A[Penambangan Bijih Mengandung REE] → B(Pemecahan dan Pemurnian Awal);
B → C{Pemisahan REE Individu};
C → D(Pembuatan Senyawa REE Murni);
D → E(Pembuatan Logam REE);
E → F(Pembuatan Produk Turunan REE
(Misal: Magnet, Fosfor));
F → G(Manufaktur Produk Akhir
(Misal: EV, Smartphone, Senjata));
G → H(Konsumen/Industri);

C --> I(Pemrosesan Lanjut Lainnya);
F --> J(Daur Ulang REE);

style A fill:#f9f,stroke:#333,stroke-width:2px
style C fill:#f9f,stroke:#333,stroke-width:2px
style E fill:#f9f,stroke:#333,stroke-width:2px
style F fill:#f9f,stroke:#333,stroke-width:2px

```
Diagram di atas menunjukkan alur sederhana rantai pasok logam tanah jarang, dari penambangan hingga produk jadi. Tahap pemisahan dan pemurnian (C, D, E) seringkali menjadi *bottleneck dan area di mana China paling dominan.*


Produksi Tambang REE Global (Perkiraan 2022)

Negara Produsen Utama Produksi (Ton) Kontribusi Global (%)
China 210.000 ~70
Amerika Serikat 43.000 ~14
Australia 18.000 ~6
Myanmar 12.000 ~4
Thailand 7.100 ~2
Lainnya Sekitar 10.000 ~4
Total Global Sekitar 300.000 100

Data di atas adalah perkiraan produksi tambang REE, bukan produksi logam murninya. Perhatikan perbedaan besar antara China dan negara lain, terutama di tahap pemrosesan yang tidak tercantum di tabel ini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia, negara kita tercinta, ternyata juga punya potensi logam tanah jarang lho. Potensi ini, yang salah satunya berupa hasil tambang ikut sertanya zirkonium dan thorium, mulai serius digarap perhatiannya oleh pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Data menunjukkan bahwa Indonesia punya cadangan logam tanah jarang yang tersebar di beberapa lokasi. Total cadangan yang teridentifikasi diperkirakan mencapai sekitar 1,5 miliar ton dalam bentuk mineral pembawa LTE, seperti monasit, senotim, zirkonium silikat, rare earth ferotitanat, bijih nikel laterit, dan potensi lain yang masih perlu diteliti lebih lanjut.

Menurut “Kajian Potensi Mineral Ikutan pada Pertambangan Timah” yang dirilis Kementerian ESDM tahun 2017, deposit logam tanah jarang di Indonesia ini tersebar di beberapa daerah kepulauan dan daratan besar. Lokasi-lokasi yang disebut antara lain adalah Kepulauan Bangka Belitung (sering ditemukan sebagai mineral ikutan tambang timah), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, dan Papua.

Memang benar total cadangan LTE Indonesia sebesar 1,5 miliar ton itu mengacu pada kandungan mineralnya. Pada dasarnya, LTE seringkali bisa dihasilkan dari produk samping penambangan mineral utama, seperti timah. Contoh paling umum di Indonesia adalah mineral monasit dan senotim, yang sering ditemukan berasosiasi dengan endapan timah.



*Cari video YouTube yang relevan tentang logam tanah jarang atau dominasi China untuk disisipkan di sini.*


Dari data Booklet Kementerian ESDM tahun 2020, dicatat bahwa Indonesia telah mengidentifikasi sumber daya monasit sebesar 185.179 ton logam. Angka ini menunjukkan potensi yang cukup signifikan yang bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi cadangan yang siap ditambang. Sementara itu, untuk senotim, Indonesia memiliki sumber daya sebesar 20.734 ton logam yang juga menunggu untuk dieksplorasi lebih detail agar statusnya bisa naik menjadi cadangan.

Sayangnya, meskipun punya potensi sumber daya yang lumayan, Indonesia memang masih di tahap awal banget. Eksplorasi detail untuk memastikan jumlah cadangan yang pasti dan layak secara ekonomi masih minim. Akibatnya, Indonesia saat ini belum bisa dibilang sebagai produsen logam tanah jarang di pasar global. Teknologi pemrosesan untuk memisahkan dan memurnikan LTE dari mineral asalnya juga jadi tantangan besar yang perlu diatasi kalau Indonesia mau memanfaatkan potensi ini secara maksimal.

Mengembangkan industri LTE domestik bakal butuh investasi besar, teknologi canggih, dan regulasi yang jelas, termasuk soal standar lingkungan. Tapi kalau berhasil, ini bisa jadi peluang emas buat Indonesia untuk nggak cuma dapat nilai tambah dari sumber daya alam, tapi juga memperkuat posisi di rantai pasok global yang strategis ini. Mungkin suatu saat Indonesia bisa jadi pemain kunci juga, nggak cuma penonton di tengah persaingan global soal logam tanah jarang.

Nah, menurut kalian, gimana nih langkah China ini? Apakah memang logam tanah jarang ini beneran bisa jadi “senjata rahasia” China yang bikin AS nggak berkutik? Dan gimana potensi Indonesia dalam peta persaingan global LTE ini? Share pendapat kalian di kolom komentar ya!

Posting Komentar