Awas, Pemutihan Pajak Bukan Cuma Buat Nambah Duit Negara!
Belakangan ini, ada satu topik yang lagi naik daun dan banyak banget dibicarakan publik, khususnya di dunia perpajakan daerah. Topik itu tak lain dan tak bukan adalah pemutihan pajak daerah atau keringanan pembayaran pajak daerah. Tim redaksi DDTCNews juga menangkap tren menarik ini dari data pemberitaan kami.
Minat masyarakat terhadap informasi seputar jadwal dan pelaksanaan pemutihan pajak daerah, termasuk buat pajak kendaraan bermotor (PKB) atau pajak bumi dan bangunan (PBB), terlihat jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ini menandakan bahwa program semacam ini memang punya daya tarik kuat di mata publik.
Buktinya? DDTCNews mencatat ada lebih dari 30 artikel yang membahas pemutihan pajak sepanjang Maret hingga Mei 2025. Fantastisnya, seluruh artikel tersebut berhasil mengumpulkan lebih dari 1,2 juta impressions atau tayangan di layar para pembaca. Angka ini menunjukkan betapa laparnya publik akan informasi tentang kesempatan keringanan pajak ini.
Tidak cuma dibaca, kolom komentar di artikel-artikel yang memuat info pemutihan pajak juga sangat ramai oleh respons netizen. Ambil contoh artikel berjudul Ada Pemutihan Mulai 1 Mei, Seluruh Denda dan Pokok Tunggakan Dihapus yang membahas kebijakan Pemprov Lampung. Beragam komentar membanjiri artikel tersebut, menunjukkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Ada yang merasa program ini memang membantu masyarakat yang kesulitan membayar pajak. Namun, tidak sedikit pula yang merasa tidak adil bagi mereka yang selama ini taat membayar pajak tepat waktu. Komentar-komentar bernada protes pun muncul, seperti “Orang mau bayar pajak mestinya jangan dihambat. Kalau dipersulit ya mending tidak usah bayar,” yang menyindir birokrasi pajak.
Ada juga komentar yang sangat pedas, “Prettt! yang menunggak diistimewakan. Yang taat pajak malah diperbanyak pungli. Pajak kendaraan yang biasanya kita bayar 6 ratusan sekarang 1 juta lebih.” Komentar ini mencerminkan kekecewaan mendalam dari wajib pajak patuh yang merasa justru “dihukum” dengan tarif yang lebih tinggi atau pungutan lain, sementara penunggak malah diberi pengampunan. Suara-suara seperti ini patut jadi perhatian serius bagi pembuat kebijakan.
Isu pemutihan pajak sendiri sebetulnya bukan barang baru. Program ini seolah sudah jadi agenda rutin tahunan, mirip perlombaan 17-an, yang digelar banyak pemerintah daerah. Namun, momentum pemutihan pajak kali ini terasa berbeda karena gaungnya diperkuat oleh promosi masif, bahkan tak jarang digulirkan atau dipromosikan langsung oleh kepala daerah yang baru menjabat dan ingin menunjukkan kinerja cepat.
Popularitas program pemutihan pajak ini pun berdampak langsung di lapangan. Ribuan warga pemilik kendaraan bermotor berbondong-bondong mendatangi kantor Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap) di berbagai wilayah. Mereka rela mengantre panjang demi bisa memanfaatkan kesempatan membebaskan tunggakan pajak dan denda terkait.
Di Depok, Jawa Barat, misalnya, pemandangan antrean kendaraan roda dua mengular sampai ke luar area parkir, mulai dari pintu masuk Samsat hingga lokasi cek fisik motor. Para pemilik kendaraan ini berebut slot untuk bisa membebaskan tunggakan PKB dan denda SWDKLLJ (Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan) yang menumpuk, bahkan ada yang sampai tahun pajak 2024. Pemandangan ini menunjukkan betapa besarnya potensi tunggakan yang ada di masyarakat.
Ramainya masyarakat yang memanfaatkan program pemutihan pajak tentu sangat sejalan dengan target jangka pendek pemerintah daerah. Pemutihan pajak seringkali dilihat sebagai jalan pintas atau strategi instan untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD). Daripada harus bersusah payah menegakkan sanksi, melakukan penagihan, atau mengeluarkan biaya ekstra untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan warga membayar pajak secara rutin, mendingan bebaskan saja tunggakannya agar mereka mau bayar pokok pajaknya sekarang.
Pertanyaan krusialnya, apakah cara ini benar-benar efektif dalam mendongkrak PAD secara berkelanjutan? Sejauh ini, belum ada indikator baku atau standar resmi dari pemerintah pusat maupun daerah yang secara komprehensif menentukan tingkat kesuksesan sebuah program pemutihan pajak. Evaluasi seringkali terbatas pada data yang mudah diukur.
Hampir di semua implementasinya, merujuk pada pemberitaan di berbagai daerah, ukuran kesuksesan program pemutihan pajak selalu diukur hanya dari jumlah kendaraan yang memanfaatkan program tersebut atau nilai penerimaan PKB yang terkumpul selama periode pemutihan berlangsung. Metrik ini memang menunjukkan hasil saat itu, tapi kurang menggambarkan dampak jangka panjang.
Contohnya, Kabupaten Semarang di Jawa Tengah mencatatkan adanya lonjakan penerimaan PKB hingga dua kali lipat selama periode pemberian pemutihan pajak. Ini adalah angka yang terlihat mengesankan dan seringkali menjadi headline keberhasilan program.
Pada hari-hari biasa di luar periode pemutihan, jumlah kendaraan yang membayar pajak di Kabupaten Semarang rata-rata hanya sekitar 1.300 hingga 1.500 unit per hari. Namun, selama program pemutihan pajak berjalan, jumlahnya melonjak drastis hingga mencapai 3.000 kendaraan per hari. Alhasil, PAD yang terhimpun setiap harinya dari program pemutihan pajak ini bisa mencapai angka yang lumayan besar, sekitar Rp900 juta.
Jika kita hanya melihat angka-angka pencapaian jangka pendek seperti ini, jelas bahwa pemutihan pajak memang memberikan kenaikan penerimaan bagi daerah saat itu. Namun, di balik keberhasilan sesaat ini, ada potensi risiko yang lebih besar yang mungkin muncul di kemudian hari, yaitu moral hazard (Bawono, 2022). Ini adalah kondisi di mana wajib pajak menjadi cenderung menunda-nunda kewajiban pajaknya karena berharap akan ada program pemutihan lagi di masa depan.
Dalam konteks kepatuhan wajib pajak, pemutihan pajak yang dilakukan secara nyaris rutin justru berisiko menggerus kepatuhan jangka panjang. Memang, pada tahun berjalan saat program pemutihan digelar, pendapatan yang diperoleh daerah bisa saja naik signifikan dan mencapai target. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, ada risiko tinggi terjadinya stagnasi kinerja penerimaan pajak daerah. Kenapa? Alasannya, ya itu tadi, wajib pajak cenderung memilih untuk menunggu momen pemutihan berikutnya, bukan taat membayar setiap tahun.
Pandangan kritis terhadap pemutihan kewajiban fiskal, dalam bentuk apapun, juga diungkapkan oleh Omerod (2002). Menurutnya, kebijakan seperti pemutihan pajak adalah kebijakan yang buruk. Mengapa? Karena kebijakan ini dianggap bisa mendorong perilaku buruk pada masyarakat, yaitu terus ingin berutang atau menunggak, dengan harapan akan ada pengampunan di masa depan. Ini menciptakan siklus yang tidak sehat dalam sistem perpajakan.
Oleh karena itu, memandang pemutihan pajak memang perlu menggunakan kacamata yang lebih lebar dan perspektif yang lebih jangka panjang. Fokus tidak bisa hanya pada peningkatan penerimaan sesaat. Jika tidak dikelola dengan bijak dan menjadi kebiasaan, alih-alih kepatuhan membaik, yang terjadi justru bisa sebaliknya, kepatuhan wajib pajak malah memburuk karena munculnya moral hazard.
Optimalisasi Pajak Daerah yang Ideal¶
Bagi pemerintah daerah, pemungutan pajak daerah merupakan salah satu strategi kunci yang ditempuh untuk mencapai target PAD. Peningkatan PAD ini sangat penting, tidak hanya untuk mendanai pembangunan di daerah, tetapi sekaligus menjadi upaya pemerintah daerah untuk mengurangi ketergantungan yang terlalu besar atas aliran dana dari pemerintah pusat, seperti dana perimbangan.
Namun, faktanya, kinerja pajak daerah di Indonesia masih terbilang lemah jika dibandingkan dengan kinerja penerimaan pajak di level nasional. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di sebagian besar negara berkembang, kontribusi pajak daerah terhadap total penerimaan pajak nasional umumnya berkisar di level 10% saja (Richard, 1999). Ini menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam mengoptimalkan sumber pendapatannya sendiri.
Di Indonesia, data menunjukkan bahwa selama periode 2015 hingga 2019, kontribusi dana perimbangan dari pemerintah pusat masih mendominasi total pendapatan daerah, dengan rata-rata kontribusi mencapai sekitar 58% (Kristiaji, Vissaro, Ayumi; 2021). Angka ini menegaskan betapa besarnya ketergantungan daerah pada transfer pusat dan perlunya upaya lebih keras untuk meningkatkan PAD.
Dalam konteks PAD, penerimaan yang bersumber dari pemungutan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) seringkali menjadi salah satu kontributor terbesar. Inilah mengapa program pemutihan pajak daerah, khususnya untuk PKB dan BBNKB, seringkali menjadi exit strategy atau solusi darurat bagi pemerintah daerah untuk memastikan kebutuhan anggarannya terpenuhi di akhir tahun atau saat ada target penerimaan yang harus dikejar.
Namun, penting untuk ditekankan bahwa pemutihan pajak bukanlah solusi utama atau satu-satunya cara dalam mengoptimalkan penerimaan pajak daerah. Ada pendekatan lain yang lebih struktural dan berkelanjutan. Para pakar perpajakan, seperti Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji (2022) dalam buku mereka Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan Atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional, menyodorkan beberapa langkah fundamental yang perlu dipertimbangkan serius oleh pemerintah daerah untuk mengamankan PAD-nya secara lebih efektif.
Berikut adalah beberapa langkah optimalisasi yang direkomendasikan:
1. Penguatan Administrasi Badan Pemungut Pajak Daerah¶
Ini adalah langkah paling mendasar. Penguatan administrasi harus dilakukan secara menyeluruh, baik dari sisi kelembagaan maupun pemanfaatan teknologi. Secara kelembagaan, ini berarti meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) petugas pajak daerah melalui pelatihan rutin, perbaikan standar operasional prosedur (SOP) agar lebih jelas dan efisien, serta membangun integritas aparat pajak agar terhindar dari praktik korupsi. Penguatan kelembagaan bertujuan menciptakan birokrasi pajak yang profesional dan akuntabel.
Di sisi teknologi, penguatan administrasi mencakup digitalisasi layanan dan pengawasan dalam proses pemungutan pajak. Contoh konkretnya adalah pemanfaatan tapping box untuk memantau transaksi objek pajak seperti pajak restoran atau parkir secara real-time. Pengembangan sistem pembayaran pajak berbasis online (seperti e-Samsat, e-billing PBB) sangat krusial untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak. Selain itu, pendataan wajib pajak daerah yang terdigitalisasi dan terintegrasi dengan data lain (misalnya data kependudukan, data kepemilikan aset) akan meningkatkan akurasi dan cakupan basis pajak. Digitalisasi ini tidak hanya memudahkan, tetapi juga meningkatkan kepastian hukum dan transparansi.
2. Evaluasi Kinerja Pajak Daerah yang Terukur¶
Pemerintah daerah perlu memiliki sistem evaluasi yang komprehensif dan terukur terhadap kinerja pajak daerahnya. Evaluasi ini tidak boleh hanya terbatas pada pencapaian target penerimaan semata, tetapi juga harus mengukur efisiensi proses pemungutan (misalnya, biaya penagihan per rupiah pajak yang terkumpul), keluaran dari kebijakan yang diambil (misalnya, berapa banyak wajib pajak baru yang terdaftar akibat kebijakan tertentu), dan dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut (misalnya, bagaimana program pemutihan mempengaruhi tingkat kepatuhan di tahun-tahun berikutnya).
Evaluasi kinerja pajak daerah ini menjadi salah satu acuan penting bagi pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang lebih baik di masa mendatang. Termasuk, dalam hal mengevaluasi efektivitas dan dampak dari pelaksanaan program pemutihan pajak yang sudah atau akan dijalankan. Hasil evaluasi ini harus menjadi dasar untuk perbaikan terus-menerus dalam pengelolaan pajak daerah.
Di samping evaluasi kinerja, pemerintah daerah juga perlu bersikap lebih realistis dan hati-hati dalam menyusun rencana anggarannya, terutama terkait target penerimaan pajak. Penganggaran penerimaan pajak daerah harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi makroekonomi terkini dan proyeksinya di tingkat daerah (Bawono, 2022). Ini berarti tidak sekadar menaikkan target berdasarkan capaian tahun sebelumnya, tetapi berdasarkan analisis yang lebih mendalam.
Tak cuma itu, analisis potensi pajak dan retribusi daerah juga merupakan ihwal yang sangat krusial dan perlu menjadi perhatian utama bagi pemda dalam menetapkan target penerimaan pajak. Hal ini bahkan sudah diatur secara eksplisit dalam Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). UU HKPD mengamanatkan perlunya analisis potensi ini.
Dalam menyusun rencana anggaran, pemda perlu mempertimbangkan berbagai aspek kondisi makroekonomi daerah. Ini meliputi analisis struktur ekonomi daerah (sektor apa yang dominan, bagaimana kontribusinya terhadap PDRB), proyeksi pertumbuhan ekonomi daerah ke depan, hingga daya saing daerah dibandingkan wilayah lain. Faktor-faktor ini sangat mempengaruhi kemampuan ekonomi masyarakat dan pelaku usaha untuk membayar pajak. Dengan analisis potensi yang matang, target penerimaan bisa ditetapkan secara lebih akurat dan achievable, mengurangi godaan untuk mencari “jalan pintas” melalui program seperti pemutihan.
Pada akhirnya, pemerintah daerah perlu lebih menajamkan rencana penganggarannya dan tidak hanya terpaku pada strategi jangka pendek. Termasuk dalam hal memberikan pemutihan pajak, program ini hendaknya tidak dijadikan satu-satunya exit plan pemerintah untuk mengejar pendapatan yang belum tercapai. Ada risiko besar yang mengintai jika program ini menjadi andalan utama.
Penelitian yang dilakukan oleh Luitel (2014) dalam bukunya Is Tax Amnesty a Good Tax Policy? Evidence from State Tax Amnesty Programs in the United States menyodorkan kesimpulan yang cukup tegas bahwa kebijakan pemutihan pajak bukan merupakan kebijakan pajak yang baik. Kesimpulan ini didukung oleh beberapa alasan kuat yang patut direnungkan.
Ada setidaknya dua alasan utama di balik kesimpulan tersebut. Pertama, Luitel berpendapat bahwa pemutihan pajak tidak mengumpulkan penerimaan pajak yang substansial dalam jangka pendek, jika dibandingkan dengan potensi pendapatan yang hilang akibat menunggak. Meskipun ada kenaikan, angkanya mungkin tidak sebesar yang seharusnya terkumpul jika kepatuhan tinggi. Kedua, dan ini yang paling berbahaya, kebijakan ini memunculkan konsekuensi perilaku buruk bagi wajib pajak, yakni sikap menunda-nunda pembayaran pajak dan secara sadar memilih menunggu adanya program pemutihan berikutnya.
Meskipun secara hukum pemutihan pajak tentu saja boleh-boleh saja diberikan, toh memang sudah tersedia ruangnya melalui ketentuan dalam UU HKPD, namun kebijakan ini haruslah menjadi opsi terakhir atau instrumen pelengkap, bukan strategi utama. Strategi lainnya yang bersifat lebih struktural dan bertujuan mengoptimalkan PAD secara berkelanjutan tetap perlu dijalankan dengan konsisten dan serius.
Jangan sampai program pemutihan pajak ini hanya menjadi agenda ad hoc yang sifatnya tambal sulam dengan tujuan jangka pendek semata, yaitu hanya mengejar target penerimaan di akhir tahun anggaran. Fokus harus bergeser dari sekadar “menarik uang saat ini” menjadi “membangun sistem kepatuhan yang kuat untuk masa depan”.
Yang paling ditakutkan adalah skenario di mana wajib pajak daerah akhirnya menjadi bermalas-malasan membayar pajak secara rutin. Mereka bisa jadi berpikir, 'Ah, santai saja deh, bayar pajaknya nanti kalau sudah ada pemutihan lagi!' Jika pikiran ini meluas di kalangan wajib pajak, maka sistem perpajakan daerah kita akan pincang dan tidak berkelanjutan. Optimalisasi PAD harus dicapai melalui perbaikan mendasar dalam administrasi, pelayanan, dan penegakan hukum pajak, bukan sekadar memberi diskon denda secara berkala.
Apa pendapat Anda tentang program pemutihan pajak daerah ini? Apakah Anda setuju bahwa ini berpotensi menimbulkan moral hazard? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar di bawah!
Posting Komentar