Ayam Goreng Widuran Solo Tutup: Dari Kuliner Nonhalal Legendaris Hingga Akhir Sementara

Table of Contents

Pengakuan status nonhalal pada Ayam Goreng Widuran di Solo, Jawa Tengah, mencuri banyak perhatian publik belakangan ini. Warung makan legendaris yang sudah berdiri selama 52 tahun ini tiba-tiba mengumumkan status nonhalalnya di semua gerai dan platform resminya pada Jumat, 23 Mei 2025. Langkah ini diambil setelah isu tersebut ramai diperbincangkan di media sosial.

Pihak manajemen Ayam Goreng Widuran menyadari bahwa pengumuman mendadak ini menimbulkan beragam reaksi dan keresahan di masyarakat, terutama di kalangan pelanggan setia mereka. Sebagai langkah awal untuk menunjukkan transparansi, mereka segera mencantumkan keterangan “nonhalal” secara jelas di seluruh outlet mereka, termasuk di media sosial resmi seperti Instagram. Selain di Solo, Ayam Goreng Widuran juga diketahui memiliki cabang di Bali, yang berlokasi di Jalan Imam Bonjol Nomor 371, Denpasar.

Ayam Goreng Widuran Tutup Nonhalal

Awal Mula Isu Nonhalal yang Menjadi Viral

Keriuhan mengenai status nonhalal Ayam Goreng Widuran ini bermula dari sebuah unggahan di media sosial, tepatnya di platform Thread, yang ditulis oleh akun @pedalranger. Akun tersebut menyinggung penggunaan minyak babi dalam proses pembuatan kremes di sebuah warung ayam goreng ternama di Solo. Postingan tersebut tidak secara eksplisit menyebut nama warungnya, namun ciri-ciri yang disebutkan mengarah pada Ayam Goreng Widuran.

Unggahan yang diposting pada Senin, 19 Mei 2025, ini langsung memicu ratusan komentar dan spekulasi dari warganet. Banyak yang menduga warung yang dimaksud adalah Ayam Goreng Widuran. Keberadaan isu penggunaan minyak babi dalam kremes ini menjadi sangat sensitif, mengingat warung tersebut sudah lama beroperasi dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat, termasuk yang mungkin beragama Islam dan tidak menyadari penggunaan bahan nonhalal tersebut. Hal ini menimbulkan diskusi luas mengenai transparansi dan hak konsumen atas informasi terkait kehalalan produk pangan.

Mayoritas Pelanggan Bukan Muslim

Salah seorang karyawan Ayam Goreng Widuran, Nanang, turut memberikan sedikit gambaran mengenai situasi yang terjadi di warung tempatnya bekerja. Ia menjelaskan bahwa setelah isu ini menjadi ramai di media sosial, pihak manajemen segera memberikan klarifikasi resmi melalui akun Instagram mereka untuk menjelaskan status nonhalal tersebut. Karyawan sendiri mengaku tidak memiliki wewenang untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kebijakan internal penggunaan bahan baku.

Nanang, yang sudah bekerja di Ayam Goreng Widuran selama sekitar 10 tahun, mengungkapkan bahwa selama ini pelanggan warung berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya dari Solo. Ia juga menambahkan bahwa berdasarkan pengamatannya, mayoritas pelanggan yang datang ke Ayam Goreng Widuran adalah nonmuslim. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa warung ini juga memiliki pelanggan dari kalangan muslim yang mungkin tidak mengetahui status bahan yang digunakan. Menu favorit pelanggan selama ini, menurut Nanang, adalah ayam goreng kremes yang memang menjadi ciri khas warung ini. Popularitasnya tidak hanya terbatas di Solo, tetapi juga dikenal hingga kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.

Keputusan Penutupan Sementara oleh Pemerintah Kota Solo

Merespons isu yang berkembang dan menimbulkan keresahan di masyarakat, Wali Kota Solo, Respati Ardi, mengambil langkah tegas. Ia menyatakan bahwa Pemerintah Kota Solo memutuskan untuk menutup sementara operasional rumah makan Ayam Goreng Widuran. Penutupan ini dilakukan untuk memberikan waktu bagi pihak terkait melakukan asesmen mendalam mengenai status kehalalan makanan yang disajikan.

Respati Ardi mengimbau pemilik warung untuk kooperatif selama proses asesmen berlangsung. Ia menekankan pentingnya pemilik usaha untuk segera mengajukan sertifikasi, baik itu sertifikasi halal jika memang ingin mengklaim produknya halal, atau sertifikasi nonhalal jika memang menggunakan bahan yang tidak memenuhi kriteria halal. Proses asesmen ini akan melibatkan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait di Solo, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Agama (Kemenag). Hasil asesmen dan proses sertifikasi ini akan menjadi dasar apakah Ayam Goreng Widuran diperbolehkan kembali beroperasi dan dengan status apa.

Penutupan sementara ini, meskipun berdampak pada operasional bisnis dan karyawan, dianggap perlu untuk melindungi hak konsumen dan memastikan transparansi dalam penyajian makanan, terutama terkait dengan isu kehalalan yang sangat krusial bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Ini menjadi preseden penting bagi pelaku usaha lain untuk lebih proaktif dalam memberikan informasi yang jelas mengenai produk mereka kepada konsumen.

Respons dari Kementerian Agama dan Dinas Perdagangan

Kementerian Agama (Kemenag) Kota Surakarta juga memberikan tanggapan terkait kasus Ayam Goreng Widuran. Kepala Kemenag Kota Surakarta, Ahmad Ulin Nur Hafsun, menegaskan pentingnya transparansi bagi pelaku usaha kuliner, terutama dalam hal pencantuman keterangan status kehalalan atau ketidakhalalan produk. Ia mengimbau agar restoran atau warung makan yang menggunakan bahan nonhalal secara jelas mencantumkan keterangan tersebut di tempat yang mudah dilihat oleh konsumen, misalnya di menu, spanduk, atau bahkan mencantumkan spesifik bahan yang digunakan seperti “mengandung babi” jika memang demikian. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahpahaman di kalangan pelanggan yang mungkin mengira produk tersebut halal.

Menurut Ulin, setiap konsumen memiliki hak atas perlindungan dan informasi yang jelas mengenai produk yang mereka konsumsi. Jaminan produk halal, khususnya, diatur dalam regulasi yang berlaku di Indonesia. Ia menyebutkan setidaknya ada dua regulasi utama yang relevan dalam kasus ini, yaitu undang-undang yang berkaitan dengan Jaminan Produk Halal dan undang-undang tentang Perlindungan Konsumen. Kemenag berkomitmen untuk melakukan pembinaan kepada pelaku usaha agar mereka patuh terhadap aturan ini dan lebih transparan kepada konsumen.

Sementara itu, Kepala Dinas Perdagangan Kota Solo, Agus Santoso, menyatakan bahwa pihaknya akan segera menindaklanjuti masalah ini dengan melakukan pengecekan langsung ke lokasi Ayam Goreng Widuran. Agus menjelaskan bahwa ranah Dinas Perdagangan lebih fokus pada aspek bahan mentah yang digunakan dalam usaha tersebut, sementara untuk produk makanan matang yang sudah diproses, kewenangan pengawasan berada di tangan Balai POM. Koordinasi antara Dinas Perdagangan, Balai POM, dan Kemenag menjadi kunci dalam menyelesaikan kasus ini dan memastikan kepatuhan pelaku usaha terhadap regulasi yang berlaku demi kenyamanan dan keamanan konsumen.

Pencantuman Label Nonhalal di Berbagai Platform

Setelah kontroversi merebak, manajemen Ayam Goreng Widuran dengan cepat mengambil langkah untuk mencantumkan keterangan nonhalal di berbagai platform mereka. Berdasarkan pantauan per 27 Mei 2025, status “nonhalal” sudah terlihat jelas di berbagai kanal informasi resmi Ayam Goreng Widuran.

Di akun Instagram resmi mereka, baik @ayamwiduranbali maupun @ayamgorengwiduransolo, keterangan “NON HALAL” kini sudah ditambahkan di bagian bio profil. Hal yang sama juga terlihat di platform Google Maps. Ketika mencari Ayam Goreng Widuran Solo, nama warung tersebut kini tampil sebagai “Ayam Goreng Widuran (NON HALAL)”. Keterangan serupa juga ditambahkan pada nama warung Ayam Goreng Widuran Bali di Google Maps, yang tertera sebagai “Widuran Bali (NON HALAL)”.

Selain itu, manajemen juga memasang spanduk atau pengumuman fisik di depan warung Ayam Goreng Widuran untuk memberi tahu pelanggan mengenai status nonhalal produk mereka. Langkah cepat dalam memberikan informasi yang transparan ini patut diapresiasi sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik dan upaya untuk mengembalikan kepercayaan konsumen, meskipun warung tersebut saat ini masih dalam status penutupan sementara untuk menjalani asesmen lebih lanjut dari pihak berwenang. Upaya ini menunjukkan keseriusan pihak warung dalam menanggapi isu yang beredar dan mematuhi imbauan dari pemerintah daerah.

Kasus Ayam Goreng Widuran ini menjadi pengingat penting bagi semua pelaku usaha kuliner di Indonesia tentang betapa krusialnya transparansi dan kejujuran dalam memberikan informasi kepada konsumen, terutama terkait dengan isu kehalalan. Status nonhalal bukanlah sesuatu yang buruk, asalkan diinformasikan dengan jelas sehingga konsumen dapat membuat pilihan yang sesuai dengan keyakinan dan preferensi mereka. Semoga proses asesmen berjalan lancar dan Ayam Goreng Widuran dapat kembali beroperasi dengan status yang jelas dan terinformasi dengan baik.

Bagaimana pendapat Anda mengenai kasus Ayam Goreng Widuran ini? Apakah transparansi label nonhalal penting bagi Anda saat memilih tempat makan? Bagikan pikiran Anda di kolom komentar di bawah!

Posting Komentar