Join Credit Mechanism: Apa Itu dan Gimana Aturannya? Yuk, Simak!
Pernah denger soal Joint Crediting Mechanism (JCM)? Mungkin istilah ini terdengar agak teknis, tapi sebenarnya ini soal kerja sama keren antara Indonesia dan Jepang buat ngelawan perubahan iklim. Singkatnya, JCM ini adalah mekanisme kredit bersama yang tujuannya mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui proyek-proyek ramah lingkungan.
Jadi, intinya Jepang ngasih dukungan seabrek ke Indonesia. Dukungan ini bukan cuma duit, lho, tapi juga transfer teknologi canggih, pendanaan proyek, subsidi, bahkan peningkatan kapasitas buat kita. Tujuannya jelas, biar kita sama-sama bisa menekan emisi GRK, baik di Indonesia sendiri maupun secara global. JCM ini nggak cuma ada di Indonesia, Jepang juga udah jalanin skema serupa di 16 negara lain di berbagai benua.
Gimana Sih Awal Mula Kerja Sama JCM Indonesia-Jepang?¶
Kerja sama JCM antara Indonesia dan Jepang ini diresmikan lewat penandatanganan dokumen penting. Momen bersejarah itu terjadi dua kali. Pertama, penandatanganan di Tokyo pada 7 Agustus 2013. Kedua, penandatanganan lagi di Jakarta pada 26 Agustus 2013.
Sejak itu, Indonesia jadi salah satu negara pelopor dalam penerapan skema JCM ini bareng Jepang. Ini menunjukkan komitmen kedua negara untuk bergerak nyata mengatasi isu lingkungan global. Kerja sama ini juga jadi bukti bahwa kolaborasi internasional itu penting banget buat mencapai target pengurangan emisi yang ambisius.
JCM itu Dasar Hukumnya Apa Ya?¶
Nah, JCM ini sebenarnya implementasi dari Pasal 6 Paris Agreement. Apa itu Paris Agreement? Itu perjanjian internasional tentang perubahan iklim yang disepakati banyak negara, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri udah meratifikasi Paris Agreement lewat UU Nomor 16 Tahun 2016. Jadi, JCM ini sah dan sejalan sama komitmen iklim kita di tingkat global.
Paris Agreement itu ngasih lampu hijau buat negara-negara buat kerja sama secara sukarela. Tujuannya biar mereka bisa lebih ngebut dalam mitigasi (mengurangi emisi) dan adaptasi (menyesuaikan diri) terhadap perubahan iklim. Selain itu, kerja sama ini juga diharapkan bisa mendorong pembangunan yang berkelanjutan sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Di level nasional, dasar hukum JCM di Indonesia nyantol sama Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Perpres ini jadi payung hukum utama buat berbagai mekanisme terkait karbon di Indonesia. JCM ini nangkring di dalam salah satu mekanisme NEK yang diatur dalam Perpres tersebut.
Mekanisme NEK Berdasarkan Perpres 98/2021¶
Perpres 98/2021 menyebutkan ada empat mekanisme utama dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia. Mekanisme-mekanisme inilah yang bisa jadi dasar buat kerja sama internasional seperti JCM. Apa aja mekanismenya?
- Perdagangan karbon: Ini mekanisme berbasis pasar, di mana ada jual beli unit karbon (Kayak trading tapi yang diperdagangkan itu izin emisi atau kredit dari pengurangan emisi).
- Pembayaran Berbasis Kinerja (Result-Based Payment): Negara atau pihak yang berhasil mencapai target pengurangan emisi akan mendapatkan reward atau pembayaran.
- Pungutan Atas Karbon (Carbon Levy): Ini semacam pajak atau biaya yang dikenakan atas aktivitas yang menghasilkan emisi GRK.
- Mekanisme Lain: Nah, ini payung buat mekanisme lain yang mungkin muncul seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. JCM bisa fit di sini atau di mekanisme perdagangan karbon, tergantung detail skema kreditnya.
Pasal 48 ayat (1) Perpres 98/2021 secara spesifik menyebutkan bahwa perdagangan karbon ini bisa dilakukan baik di dalam negeri maupun luar negeri, dan bisa lintas sektor. Mekanisme ini bisa berupa perdagangan emisi (antar-pelaku usaha yang diatur kuotanya) atau offset emisi GRK (membeli kredit dari proyek yang mengurangi emisi di luar cakupan operasionalnya). JCM ini lebih mengarah pada skema offset emisi, di mana kredit dari proyek pengurangan emisi di Indonesia dibagi dan diakui oleh kedua negara.
Siapa Aja yang Terlibat dalam Proyek JCM?¶
Meskipun kerja sama JCM ini ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Jepang, pelaksana di lapangan itu justru sektor swasta. Jadi, setiap proyek JCM itu wajib melibatkan minimal dua pihak: perusahaan dari Indonesia dan perusahaan dari Jepang. Mereka ini yang bahu-membahu ngerjain proyek yang tujuannya nurunin emisi GRK.
Pemerintah dari kedua negara punya peran penting dalam mengawasi dan memfasilitasi. Pemerintah yang menandatangani perjanjian kerja sama, mengambil keputusan strategis lewat Komite Bersama (yang dibentuk oleh kedua negara), dan menerbitkan kredit karbon yang dihasilkan dari proyek-proyek JCM yang berhasil. Sementara itu, perusahaan swasta Jepang dan mitranya di Indonesia yang eksekusi proyeknya di lapangan.
Kenapa pemerintah ngelibatin swasta? Gini, sektor swasta itu biasanya punya skill teknis dan pengalaman lapangan yang lebih mumpuni. Mereka juga lebih fleksibel dan bisa gerak cepat dalam implementasi proyek. Makanya, kolaborasi antara pemerintah (yang bikin regulasi dan pengawasan) dan swasta (yang eksekusi proyek) ini dianggap formula yang pas buat mencapai target pengurangan emisi.
Tapi, penting diingat, keterlibatan swasta ini tetap harus diatur ketat dalam perjanjian. Perjanjian ini harus jelas banget ngatur peran masing-masing, tanggung jawabnya, gimana pembagian insentif atau kredit karbonnya, risiko apa aja yang mungkin muncul, dan gimana keuntungannya dibagi. Tujuannya biar semua fair dan akuntabel.
Potensi dan Keuntungan JCM buat Perusahaan Swasta di Indonesia¶
Buat perusahaan swasta di Indonesia, JCM ini buka pintu lebar banget. Ada beberapa potensi dan keuntungan yang bisa didapat:
- Akses Pendanaan dan Teknologi: Lewat JCM, perusahaan Indonesia bisa dapet akses ke pendanaan tambahan (lewat subsidi pemerintah Jepang ke perusahaan mitranya) dan teknologi ramah lingkungan yang mungkin belum tersedia atau mahal di Indonesia. Teknologi ini bisa macam-macam, mulai dari sistem penghematan energi, pembangkit listrik tenaga surya atau angin, sampai teknologi pengelolaan limbah.
- Peningkatan Kapasitas Teknis: Kerja sama langsung dengan perusahaan Jepang yang punya teknologi dan pengalaman, bikin perusahaan Indonesia jadi kebagian ilmunya. Ini namanya transfer pengetahuan dan peningkatan kapasitas, yang penting buat kemajuan industri dalam negeri.
- Potensi Insentif Ekonomi (Kredit Karbon): Proyek JCM yang berhasil menurunkan emisi akan menghasilkan kredit karbon. Kredit ini nantinya bisa dibagi antara perusahaan Indonesia dan Jepang, sesuai kesepakatan. Kredit karbon ini punya nilai ekonomi, bisa dijual di pasar karbon atau dipakai sendiri buat memenuhi target emisi perusahaan.
- Kontribusi pada Target Iklim Nasional: Dengan ikut proyek JCM, perusahaan swasta ikut berkontribusi langsung pada upaya Indonesia mencapai target pengurangan emisi yang udah ditetapkan di Paris Agreement. Ini nggak cuma bagus buat lingkungan, tapi juga ningkatin citra perusahaan (corporate social responsibility).
- Peluang Bisnis Baru: Proyek rendah karbon ini kan bidang yang lagi berkembang. Ikut JCM bisa jadi awal buat perusahaan Indonesia masuk ke pasar hijau atau mengembangkan bisnis baru di sektor energi terbarukan, efisiensi energi, atau teknologi lingkungan lainnya.
Proses Proyek JCM: Dari Ide Sampai Jadi Kredit¶
Biar lebih kebayang, kira-kira gini alur umum proyek JCM:
- Identifikasi Proyek: Perusahaan Indonesia dan Jepang bareng-bareng nyari ide proyek yang bisa nurunin emisi GRK. Contohnya: ganti mesin lama di pabrik biar lebih hemat energi, pasang panel surya di gedung, atau bikin sistem pengelolaan sampah yang ngasilin energi.
- Pengembangan Proposal: Kalau udah ada ide, mereka bikin proposal proyek yang detail. Proposal ini jelasin kegiatannya apa, gimana cara nurunin emisinya, metodologi perhitungannya gimana, dan berapa estimasi penurunan emisinya.
- Validasi: Proposal proyek ini divalidasi oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh Komite Bersama. Tujuannya buat ngecek apakah proyeknya beneran bisa nurunin emisi sesuai metodologi yang disepakati dan memenuhi syarat JCM.
- Registrasi: Kalau proposalnya udah oke, proyeknya didaftarkan ke Komite Bersama. Kalau disetujui, proyek ini resmi jadi proyek JCM yang terdaftar.
- Implementasi: Perusahaan Indonesia dan Jepang mulai ngejalanin proyeknya di lapangan. Di sinilah teknologi Jepang diterapin, pendanaan dipakai, dan kegiatan fisik dilakuin.
- Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi (MPV): Selama proyek berjalan, mereka pantau berapa emisi GRK yang berhasil diturunin, laporkan hasilnya secara rutin, dan diverifikasi lagi oleh lembaga independen. Proses MPV ini penting banget biar kredit karbon yang didapet itu sah dan akurat.
- Penerbitan Kredit: Kalau hasil verifikasi valid, Komite Bersama akan menerbitkan kredit karbon sejumlah emisi GRK yang berhasil diturunin. Kredit ini kemudian dibagi antara perusahaan Indonesia dan Jepang sesuai perjanjian di awal.
Setiap tahapan ini melibatkan koordinasi yang erat antara perusahaan pelaksana dan pengawasan dari pemerintah lewat Komite Bersama. Ini memastikan bahwa proyek JCM berjalan sesuai aturan, transparan, dan beneran ngasih dampak positif buat lingkungan.
Tantangan dan Prospek ke Depan¶
Meskipun punya banyak potensi, pelaksanaan JCM juga pasti ada tantangannya. Salah satunya adalah memastikan bahwa proyek-proyek yang dijalankan itu sungguh-sungguh menghasilkan pengurangan emisi yang tambahan (additional), artinya pengurangan emisi yang nggak akan terjadi kalau nggak ada skema JCM ini. Proses MPV yang ketat jadi kunci buat memastikan integritas kredit karbon yang diterbitkan.
Tantangan lain bisa datang dari koordinasi antar pihak, penyesuaian regulasi di kedua negara, dan memastikan keberlanjutan proyek setelah masa kerja sama JCM berakhir.
Namun, prospek JCM ke depan cerah banget. Bentuk kerja sama bilateral ini, ditambah partisipasi aktif sektor swasta, membuat JCM jadi mekanisme yang agile dan bisa beradaptasi dengan cepat. JCM juga bisa jadi model buat kerja sama serupa dengan negara lain, memperluas jangkauan upaya mitigasi iklim global.
Pemerintah Indonesia terus mendorong partisipasi swasta dalam program NEK, termasuk lewat JCM. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan ekosistem bisnis yang kondusif, JCM bisa jadi salah satu driver utama pembangunan rendah karbon di Indonesia, sekaligus ngasih win-win solution buat perusahaan, pemerintah, dan lingkungan.
Gimana? Sekarang udah lebih paham kan soal JCM? Mekanisme ini bukan cuma soal teknis perkarbonan, tapi juga simbol kolaborasi internasional dan peran penting sektor swasta dalam memerangi perubahan iklim. Jadi, buat perusahaan swasta di Indonesia, JCM ini patut dilirik sebagai peluang strategis.
Ada pendapat atau pertanyaan lain soal Joint Credit Mechanism? Yuk, kita diskusi di kolom komentar!
Posting Komentar