MBG Dapat BPJS? Kok Asuransi Jadi Gak Penting, Ya?
Pernah denger program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang lagi hangat dibicarakan? Nah, ada satu isu menarik nih seputar program ini, terutama soal asuransi. Jadi gini, ada anggota DPR dari Komisi IX Fraksi Nasdem, namanya Ibu Irma Suryani Chaniago. Beliau tuh punya pandangan sendiri soal rencana pemberian asuransi buat para penerima program MBG. Menurut beliau, kayaknya kok kurang pas gitu lho kalau sampai bikin asuransi baru lagi untuk para penerima manfaat ini.
Kenapa dibilang kurang pas? Simpel aja alasannya menurut Ibu Irma. Negara kita kan udah punya yang namanya BPJS Kesehatan. Nah, mestinya Badan Gizi Nasional (BGN) yang ngurusin program MBG ini, tinggal koordinasi aja sama BPJS Kesehatan. Jadi, nggak perlu tuh buang-buang anggaran negara lagi buat bikin asuransi yang kayaknya redundan atau tumpang tindih. Kecuali, kata beliau, kalau ada kejadian yang bener-bener fatal gitu, mungkin BGN bisa kasih santunan. Tapi kalau cuma asuransi biasa, rasanya kok berlebihan ya?
Mengapa BPJS Kesehatan Dianggap Cukup?¶
Pandangan Ibu Irma ini sebenernya masuk akal lho kalau kita lihat fungsi BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan itu kan jaminan kesehatan nasional yang mencakup hampir semua kebutuhan medis dasar sampai lanjutan. Jadi, kalau ada masalah kesehatan, apalagi yang skalanya nggak fatal kayak cuma keracunan makanan ringan karena makanannya basi (yang mana kata Ibu Irma sering kejadian), kan tinggal dibawa aja ke fasilitas kesehatan terdekat.
Bayangin deh, kalau ada anak yang ikut program MBG terus tiba-tiba sakit perut atau mual-mual setelah makan. Menurut Ibu Irma, cukup bawa aja ke puskesmas atau RSUD terdekat. Mereka kan bisa pakai jaminan BPJS Kesehatan. Gampang, kan? Sistemnya sudah ada, infrastrukturnya sudah dibangun sampai ke daerah-daerah.
Nah, pertanyaannya sekarang, gimana kalau ada anak atau orang tuanya yang belum terdaftar BPJS Kesehatan? Ibu Irma punya solusi juga nih. Kalau keluarganya mampu, ya wajibkan aja mereka daftar BPJS Kesehatan. Kan iurannya juga relatif terjangkau, apalagi kalau ikut yang program mandiri kelas 3 atau PBI. Tapi kalau memang tidak mampu sama sekali, negara juga udah punya solusinya, yaitu BPJS Kesehatan segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI). Premi BPJS PBI ini ditanggung sepenuhnya sama pemerintah, jadi masyarakat tidak mampu bisa dapat layanan kesehatan gratis.
Ini dia poinnya: alih-alih bikin sistem asuransi baru yang belum jelas cakupannya dan potensial bikin boros anggaran, kenapa nggak maksimalkan aja sistem yang sudah ada dan memang dirancang untuk menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia, yaitu BPJS Kesehatan? Logika ini menekankan efisiensi penggunaan sumber daya negara. Anggaran yang harusnya bisa dipakai buat memperluas cakupan BPJS PBI atau meningkatkan kualitas layanan BPJS, malah dipakai buat bikin skema asuransi baru yang mungkin ruang lingkupnya terbatas cuma untuk isu-isu terkait program MBG.
Nasib Pekerja Dapur MBG: Asuransi Itu Wajib!¶
Beda cerita nih soal asuransi untuk para pekerja yang terlibat di dapur umum atau di pengelolaan program MBG. Kalau ini, Ibu Irma setuju banget bahkan bilang itu wajib ditanggung oleh BGN. Kenapa? Karena mereka ini bekerja, dan setiap pekerjaan itu pasti punya risiko, apalagi yang berhubungan dengan pengolahan makanan dalam jumlah besar.
Para pekerja dapur ini bukan cuma wajib jadi anggota BPJS Kesehatan aja, tapi juga harus jadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Minimal, kata Ibu Irma, ikutlah dua program BPJS Ketenagakerjaan yang preminya relatif kecil, sekitar Rp 16.800 per bulan. Dua program ini mencakup Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).
Mari kita lihat sebentar, apa sih bedanya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, khususnya program yang disebut Ibu Irma?
| Program | Dikelola Oleh | Fokus Cakupan | Contoh Manfaat |
|---|---|---|---|
| BPJS Kesehatan | BPJS Kesehatan | Jaminan kesehatan dasar sampai lanjutan | Berobat di puskesmas, rawat inap, operasi, dll. |
| BPJS Ketenagakerjaan | BPJS Ketenagakerjaan | Jaminan sosial terkait aktivitas kerja/pekerjaan | Santunan cacat/meninggal akibat kerja, JHT, JKP, dll. |
| - Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) | BPJS Ketenagakerjaan | Risiko kecelakaan saat bekerja atau terkait kerja | Biaya pengobatan tanpa batas plafon, santunan cacat |
| - Jaminan Kematian (JKM) | BPJS Ketenagakerjaan | Santunan tunai jika peserta meninggal dunia (tidak harus akibat kerja) | Santunan berkala, dana pemakaman, beasiswa anak |
Nah, khusus buat pekerja dapur MBG, risiko kecelakaan kerja itu nyata. Bisa aja kepotong pas iris sayur, jatuh kepeleset, atau bahkan mengalami penyakit akibat kerja (meskipun jarang). JKK ini penting banget karena menanggung semua biaya pengobatan sampai sembuh tanpa batasan, bahkan santunan kalau sampai terjadi cacat. JKM juga memberikan perlindungan finansial bagi keluarga jika pekerja meninggal dunia. Jadi, kalau buat pekerja, asuransi melalui BPJS Ketenagakerjaan itu memang standar perlindungan yang seharusnya diberikan oleh pemberi kerja (dalam hal ini, BGN atau pihak yang bertanggung jawab).
Respon dari Badan Gizi Nasional (BGN)¶
Lalu, gimana tanggapan dari pihak yang mengelola program MBG, yaitu BGN? Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola BGN, Bapak Tigor Pangaribuan, bilang bahwa BGN memang sedang mengkaji soal asuransi ini. Kajiannya mencakup asuransi buat karyawan atau pengelola Satuan Penyelenggara Pemberi Gizi (SPPG) di daerah-daerah, dan juga buat penerima manfaat program MBG itu sendiri.
Menurut Pak Tigor, skema asuransi ini rencananya akan dimasukkan ke dalam biaya operasional program MBG. Ini menunjukkan bahwa BGN memang mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi, misalnya risiko keracunan pada penerima manfaat.
Pak Tigor menjelaskan, kalaupun terjadi insiden seperti keracunan, BGN akan tetap membantu membiayai pengobatannya. Jadi, meskipun belum final skema asuransinya, BGN sudah punya niat baik untuk menanggung biaya medis jika terjadi masalah.
Beliau menekankan, saat ini BGN sedang memikirkan bagaimana cara terbaik untuk memberikan jaminan ini, terutama untuk penerima manfaat. Jika memang nanti skemanya berupa asuransi untuk penerima manfaat, maka itu akan jadi bagian dari biaya operasional program. Ini artinya, biaya premi atau tanggungan klaim asuransinya akan diambil dari anggaran operasional MBG.
Jadi, ada dua pandangan di sini. Dari sisi DPR (melalui Ibu Irma), ada saran untuk memaksimalkan BPJS Kesehatan yang sudah ada untuk penerima manfaat, dan mewajibkan BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja. Dari sisi BGN, mereka sedang mengkaji kemungkinan skema asuransi tambahan yang dimasukkan dalam biaya operasional, baik untuk pekerja maupun penerima manfaat, sebagai bentuk mitigasi risiko dan jaminan pengobatan jika terjadi insiden terkait program.
Mari kita visualisasikan bagaimana dua pandangan ini bisa berinteraksi dalam penanganan insiden kesehatan terkait MBG:
```mermaid
graph TD
A[Penerima MBG Sakit/Keracunan] → B{Apakah Peserta Punya BPJS Kesehatan?};
B – Ya → C[Gunakan BPJS Kesehatan untuk Berobat];
B – Tidak → D{Mampu atau Tidak Mampu?};
D – Mampu → E[Diwajibkan Daftar BPJS Mandiri];
D – Tidak Mampu → F[Didaftarkan Sebagai Peserta PBI BPJS Kesehatan];
F → C;
E → C;
A → G[Pekerja Dapur Mengalami Kecelakaan Kerja];
G → H{Apakah Pekerja Terdaftar BPJS Ketenagakerjaan (JKK)?};
H – Ya → I[Gunakan JKK untuk Biaya Pengobatan & Santunan];
H – Tidak → J[Seharusnya Didaftarkan Sejak Awal!];
J → I;
style A fill:#f9f,stroke:#333,stroke-width:2px
style G fill:#f9f,stroke:#333,stroke-width:2px
style C fill:#ccf,stroke:#333,stroke-width:2px
style I fill:#ccf,stroke:#333,stroke-width:2px
style E fill:#ff9,stroke:#333,stroke-width:2px
style F fill:#ff9,stroke:#333,stroke-width:2px
style J fill:#faa,stroke:#333,stroke-width:2px
```
Diagram di atas menunjukkan alur ideal menurut pandangan yang mengedepankan optimalisasi BPJS. Setiap masalah kesehatan atau kecelakaan kerja ditangani melalui BPJS yang relevan. Ide BGN untuk asuransi tambahan mungkin akan menambah cabang lain, misalnya:
```mermaid
graph TD
A[Penerima MBG Sakit/Keracunan] → K{Apakah Insiden Terkait Langsung MBG?};
K – Ya → L[Gunakan Skema Asuransi MBG (Jika Ada)];
K – Tidak → B{Apakah Peserta Punya BPJS Kesehatan?};
L → M[Dapatkan Pengobatan/Ganti Rugi Lewat Skema MBG];
B – Ya → C[Gunakan BPJS Kesehatan untuk Berobat];
B – Tidak → D{Mampu atau Tidak Mampu?};
D – Mampu → E[Diwajibkan Daftar BPJS Mandiri];
D – Tidak Mampu → F[Didaftarkan Sebagai Peserta PBI BPJS Kesehatan];
F → C;
E → C;
C → N[Dapatkan Pengobatan Lewat BPJS];
style A fill:#f9f,stroke:#333,stroke-width:2px
style K fill:#f9f,stroke:#333,stroke-width:2px
style L fill:#acf,stroke:#333,stroke-width:2px
style M fill:#ccf,stroke:#333,stroke-width:2px
style B fill:#ccc,stroke:#333,stroke-width:2px
style C fill:#ccf,stroke:#333,stroke-width:2px
style N fill:#ccf,stroke:#333,stroke-width:2px
style D fill:#ccc,stroke:#333,stroke-width:2px
style E fill:#ff9,stroke:#333,stroke-width:2px
style F fill:#ff9,stroke:#333,stroke-width:2px
```
Diagram kedua ini mencoba menggambarkan skenario jika ada skema asuransi spesifik MBG. Akan ada pertanyaan apakah sakitnya langsung terkait MBG. Kalau ya, pakai asuransi MBG. Kalau tidak (misalnya sakit flu biasa), baru cek BPJS Kesehatan. Ini yang membuat prosesnya jadi berlapis dan berpotensi menimbulkan kebingungan atau tumpang tindih.
Potensi Tumpang Tindih dan Efisiensi Anggaran¶
Isu utama yang diangkat oleh Ibu Irma adalah potensi tumpang tindih dan pemborosan anggaran. Kalau penerima manfaat MBG sudah punya BPJS Kesehatan, yang notabene menanggung segala jenis penyakit (tidak hanya yang disebabkan oleh makanan MBG), kenapa masih perlu asuransi tambahan? Bukankah lebih baik dana tersebut dialokasikan untuk hal lain dalam program MBG, misalnya meningkatkan kualitas atau kuantitas makanan, atau memperluas jangkauan program ke lebih banyak anak?
Skema asuransi tambahan ini bisa jadi punya manfaat dalam penanganan insiden spesifik terkait makanan MBG (misalnya, proses klaim lebih cepat untuk keracunan massal). Namun, di sisi lain, ini bisa menciptakan birokrasi baru. Siapa yang mengelola asuransi ini? Perusahaan asuransi swasta kah? Atau BGN mengelola sendiri? Bagaimana koordinasinya dengan BPJS Kesehatan jika penerima juga punya BPJS? Apakah nanti jadi ada dua asuransi yang meng-cover hal yang mirip?
Pemerintah sendiri, melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan, sudah berupaya keras mencakup seluruh penduduk Indonesia. Salah satu target besar adalah Universal Health Coverage (UHC), di mana semua warga negara punya akses terhadap layanan kesehatan yang dibutuhkan. Program PBI BPJS Kesehatan adalah salah satu pilar utama untuk mencapai UHC bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.
Mungkin ide BGN soal asuransi penerima manfaat ini muncul dari kekhawatiran akan “gap” atau celah perlindungan. Bagaimana jika ada insiden tapi proses pengobatan via BPJS dianggap lambat atau rumit? Atau bagaimana jika ada biaya-biaya terkait insiden yang tidak sepenuhnya ditanggung BPJS (misalnya biaya transportasi mendadak)? Namun, alih-alih membuat skema baru, bukankah lebih efektif jika BGN berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan untuk mencari solusi penanganan cepat dan efisien untuk peserta MBG jika terjadi insiden? Mungkin dengan membuat jalur cepat penanganan medis khusus peserta MBG yang mengalami gejala terkait makanan, tapi tetap menggunakan sistem BPJS yang sudah ada.
Pentingnya Perlindungan untuk Pekerja¶
Untuk pekerja dapur MBG, seperti yang dibilang Ibu Irma, perlindungan lewat BPJS Ketenagakerjaan itu mutlak diperlukan. Pekerjaan di dapur itu punya risiko kecelakaan. Ada potensi luka bakar, teriris pisau, terpeleset, atau bahkan gangguan pernapasan jika ventilasi tidak baik. JKK BPJS Ketenagakerjaan memberikan jaminan pengobatan tanpa batas biaya sesuai indikasi medis sampai sembuh, santunan sementara jika tidak bisa bekerja, santunan cacat, bahkan santunan kematian jika kecelakaan kerja berakibat fatal. Ini adalah hak dasar pekerja.
Selain JKK, program Jaminan Kematian (JKM) juga penting. Ini memberikan santunan bagi ahli waris jika pekerja meninggal dunia, meskipun bukan akibat kecelakaan kerja. Program ini menunjukkan kehadiran negara dalam memberikan jaminan sosial bagi warganya yang bekerja. Premi Rp 16.800 per bulan untuk dua program ini (JKK dan JKM) sebenarnya relatif terjangkau, dan mestinya menjadi tanggung jawab penuh pemberi kerja (atau BGN/pihak pelaksana program MBG).
Ini berbeda dengan asuransi untuk penerima manfaat yang sifatnya pasif (hanya menerima makanan). Penerima manfaat punya risiko kesehatan yang lebih luas, tidak hanya terkait makanan MBG, dan perlindungan yang menyeluruh sudah disediakan oleh BPJS Kesehatan. Sementara itu, pekerja punya risiko spesifik yang timbul karena mereka melakukan pekerjaan tersebut, dan risiko inilah yang ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Mana yang Lebih Baik?¶
Melihat argumen yang ada, pandangan untuk memaksimalkan BPJS yang sudah ada, baik BPJS Kesehatan untuk penerima manfaat maupun BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja, tampaknya lebih efisien dan menghindari potensi tumpang tindih. Sistem BPJS sudah menjangkau seluruh Indonesia dan dirancang untuk memberikan jaminan sosial yang komprehensif.
Namun, kita juga perlu memahami perspektif BGN yang mungkin ingin memberikan lapisan perlindungan tambahan atau mekanisme penanganan insiden yang lebih cepat dan terfokus untuk hal-hal yang langsung terkait program mereka. Kajian yang sedang dilakukan BGN ini penting untuk menemukan titik temu antara kebutuhan program MBG dan optimalisasi penggunaan sistem jaminan sosial yang sudah ada.
Idealnya, BGN dan BPJS (baik Kesehatan maupun Ketenagakerjaan) bisa duduk bareng dan merancang skema kolaborasi. Misalnya, bagaimana memastikan semua penerima MBG yang tidak mampu otomatis terdaftar PBI BPJS Kesehatan? Bagaimana membuat alur prioritas di faskes BPJS untuk penanganan cepat jika ada peserta MBG yang mengalami gejala keracunan? Dan bagaimana memastikan semua pekerja MBG terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan sesuai regulasi ketenagakerjaan?
Pendekatan kolaboratif ini bisa jadi solusi yang lebih baik daripada membuat sistem asuransi yang sama sekali baru atau terpisah, yang berpotensi rumit dan memakan biaya lebih besar. Dana publik, termasuk anggaran untuk program MBG, harus digunakan seefisien dan seefektif mungkin untuk memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.
Diskusi Bareng Yuk!¶
Nah, itu tadi pandangan dari Ibu Irma Suryani Chaniago dan respon awal dari BGN soal isu asuransi untuk program Makan Bergizi Gratis. Ada yang bilang BPJS aja cukup, ada yang masih mengkaji skema asuransi tambahan.
Menurut kalian gimana nih? Setuju nggak kalau penerima program MBG cukup dicover pakai BPJS Kesehatan aja, dengan catatan yang belum punya harus dibantu daftar? Atau setuju kalau perlu ada asuransi tambahan yang spesifik untuk program MBG, biar lebih cepat penanganannya kalau ada masalah?
Terus, soal pekerja dapur MBG, setuju nggak kalau mereka wajib banget dicover BPJS Ketenagakerjaan buat jaminan keselamatan kerja mereka?
Share yuk pemikiran kalian di kolom komentar! Kita diskusi bareng biar makin paham isu ini dari berbagai sudut pandang.
Posting Komentar