PPN Naik? Gini Lho Cara Hitung PPN 12% dan 11% Biar Nggak Bingung!
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah salah satu jenis pajak yang paling sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari belanja kebutuhan pokok di supermarket, beli gadget baru, sampai bayar tagihan listrik, PPN selalu ada di sana. Pajak ini dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri. Nah, belakangan ini ada kabar yang cukup menyita perhatian terkait penyesuaian tarif PPN di Indonesia. Pemerintah lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131 Tahun 2024 meresmikan kebijakan terbaru PPN yang berlaku efektif.
Dalam peraturan baru ini, muncul angka 12% dan 11% yang bikin sebagian orang bingung. Kok ada dua tarif PPN? Padahal, sebelumnya kita kenal tarif PPN yang naik secara bertahap dari 10% ke 11%, dan rencananya akan jadi 12%. Nah, PMK 131/2024 ini seolah memperkenalkan dua angka yang berbeda untuk PPN. Sebenarnya, gimana sih cara kerjanya dan kenapa bisa begitu? Mari kita bedah bareng-bareng biar nggak salah paham.
Dua Angka PPN: 12% dan 11%¶
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131 Tahun 2024 yang ditandatangani dan diundangkan pada 31 Desember 2024 memang mengatur pengenaan PPN yang berbeda untuk jenis barang tertentu. Pasal 2 beleid ini dengan jelas menyebutkan bahwa tarif PPN 12% diberlakukan untuk barang-barang yang tergolong mewah. Sementara itu, Pasal 3 mengatur bahwa PPN 11% dikenakan untuk barang atau jasa lainnya yang tidak termasuk kategori mewah.
Pembagian ini sekilas terlihat seperti Indonesia punya dua tarif PPN yang berbeda, yaitu 12% dan 11%. Namun, para ahli perpajakan menjelaskan bahwa skema yang dipakai pemerintah tidak sesederhana itu. Ini bukan berarti sistem perpajakan kita berubah menjadi multi-tarif PPN, di mana tarifnya bervariasi tergantung jenis barang atau jasa.
Skema Tarif Tunggal ala Indonesia¶
Menurut penjelasan Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Bapak Prianto Budi Saptono, sistem PPN di Indonesia sejatinya masih menganut skema tarif tunggal. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN (UU PPN) yang hingga kini masih menjadi dasar hukum utama PPN, meskipun ada beberapa penyesuaian lewat undang-undang lain seperti UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP inilah yang salah satunya mengamanatkan kenaikan tarif PPN secara bertahap, termasuk menuju angka 12%.
Nah, untuk menyiasati adanya perbedaan pengenaan PPN antara barang mewah dan barang biasa, pemerintah menggunakan pengaturan pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Jadi, tarif PPN-nya tetap satu, yaitu 12% sesuai amanat UU HPP, tetapi nilai DPP-nya lah yang dibedakan. DPP ini adalah nilai yang menjadi dasar untuk menghitung besarnya PPN terutang.
Ada dua jenis perhitungan DPP dalam PMK 131/2024 ini: satu untuk barang mewah dan satu lagi untuk barang/jasa lainnya. Untuk barang mewah, DPP-nya adalah 12/12 dari harga jual atau nilai impor. Sedangkan untuk barang/jasa lain yang tidak mewah, DPP-nya menggunakan ‘nilai lain’ sebesar 11/12 dari harga jual, nilai penggantian, atau nilai impor. Inilah kunci mengapa angkanya jadi seolah berbeda.
Intinya: Tarif PPN resmi itu 12%, tapi cara menghitung DPP-nya dibuat berbeda.
Gimana Cara Hitung PPN-nya?¶
Karena skemanya melibatkan perbedaan DPP, maka cara menghitung PPN terutangnya juga mengikuti pengaturan DPP tersebut. Seperti dijelaskan oleh Bapak Prianto, rumusnya menjadi:
- Untuk barang mewah: PPN Terutang = Tarif PPN (12%) x DPP (12/12 x Nilai Transaksi)
- Untuk barang/jasa lainnya: PPN Terutang = Tarif PPN (12%) x DPP (11/12 x Nilai Transaksi)
Mungkin masih terdengar agak rumit ya? Biar lebih gampang dipahami, yuk kita coba simulasikan dengan angka.
Misalnya, ada transaksi pembelian barang atau jasa dengan nilai Rp 1.000.000.
Simulasi Perhitungan PPN¶
Kasus 1: Pembelian Barang Mewah
Anda membeli sebuah barang yang termasuk kategori mewah (nanti kita bahas contohnya). Nilai transaksinya Rp 1.000.000.
* Tarif PPN: 12%
* DPP: 12/12 dari nilai transaksi = 12/12 * Rp 1.000.000 = Rp 1.000.000
* PPN Terutang: 12% x Rp 1.000.000 = Rp 120.000
Jadi, total uang yang harus Anda bayar untuk barang mewah senilai Rp 1.000.000 itu adalah Rp 1.000.000 + Rp 120.000 = Rp 1.120.000. Angka PPN Rp 120.000 ini setara dengan 12% dari Rp 1.000.000.
Kasus 2: Pembelian Barang/Jasa Biasa (Tidak Mewah)
Anda membeli barang atau menggunakan jasa yang tidak termasuk kategori mewah. Nilai transaksinya juga Rp 1.000.000.
* Tarif PPN: 12%
* DPP: 11/12 dari nilai transaksi = 11/12 * Rp 1.000.000 = Rp 916.666,67 (ini nilai DPP-nya)
* PPN Terutang: 12% x Rp 916.666,67 = Rp 110.000
Jadi, total uang yang harus Anda bayar untuk barang/jasa biasa senilai Rp 1.000.000 itu adalah Rp 1.000.000 + Rp 110.000 = Rp 1.110.000. Angka PPN Rp 110.000 ini setara dengan 11% dari Rp 1.000.000.
Nah, sekarang kelihatan kan kenapa disebut ada PPN 12% dan 11%? Meskipun tarifnya secara hukum 12%, perhitungan DPP yang berbeda menghasilkan nilai PPN yang setara dengan 12% (untuk barang mewah) dan 11% (untuk barang biasa) dari nilai transaksi sebenarnya. Ini cara pemerintah mempertahankan skema tarif tunggal sambil menciptakan perbedaan beban pajak untuk barang mewah dan non-mewah.
Ringkasan Perhitungan dalam Tabel¶
Biar makin jelas, mari kita bandingkan kedua simulasi tersebut dalam sebuah tabel sederhana.
| Item | Nilai Transaksi | Kategori Barang | Tarif PPN | Rumus DPP | Nilai DPP | PPN Terutang (Tarif x DPP) | PPN Terutang (% dari Nilai Transaksi) |
|---|---|---|---|---|---|---|---|
| Contoh Barang Mewah | Rp 1.000.000 | Barang Mewah | 12% | 12/12 * Nilai Tx | Rp 1.000.000 | 12% * Rp 1.000.000 | 12% |
| Contoh Barang/Jasa Biasa | Rp 1.000.000 | Barang/Jasa Biasa | 12% | 11/12 * Nilai Tx | Rp 916.666,67 | 12% * Rp 916.666,67 | 11% |
Ini adalah inti dari pengaturan baru di PMK 131/2024. Skema ini memastikan bahwa barang-barang yang dianggap mewah dikenakan beban PPN yang lebih tinggi, sementara barang dan jasa kebutuhan umum dikenakan beban PPN yang sedikit lebih rendah (setara 11%).
Kenapa Pakai Skema DPP?¶
Pertanyaan menarik, kenapa pemerintah tidak langsung saja menetapkan tarif PPN 12% untuk barang mewah dan 11% untuk barang/jasa biasa? Kenapa harus memanipulasi DPP? Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sistem PPN di Indonesia berdasarkan UU PPN yang berlaku masih menganut prinsip tarif tunggal. Mengubahnya menjadi sistem multi-tarif akan membutuhkan perubahan yang lebih mendasar pada undang-undang, yang mungkin prosesnya lebih panjang dan kompleks.
Dengan mengatur DPP melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), pemerintah bisa lebih cepat mengimplementasikan perbedaan beban pajak ini sesuai dengan kebijakan yang diinginkan, tanpa mengubah struktur tarif dasar di level undang-undang. Ini adalah langkah teknis yang memungkinkan implementasi kebijakan substansi (membedakan beban PPN untuk barang mewah) dalam kerangka hukum yang ada.
Ilustrasi Alur Penentuan PPN¶
Biar lebih kebayang alurnya, coba lihat ilustrasi sederhana ini:
mermaid
graph TD
A[Transaksi Pembelian Barang/Jasa] --> B{Termasuk Barang Mewah?};
B -- Ya --> C[Gunakan DPP = 12/12 * Nilai Transaksi];
B -- Tidak --> D[Gunakan DPP = 11/12 * Nilai Transaksi];
C --> E[Hitung PPN = 12% * DPP];
D --> E;
E --> F[Hasil: PPN Terutang];
Diagram ini menunjukkan bagaimana keputusan apakah suatu barang itu mewah atau tidak akan menentukan perhitungan DPP-nya, meskipun tarif PPN yang dikalikan ke DPP-nya tetap sama yaitu 12%. Hasil akhirnya adalah nilai PPN terutang yang berbeda, seolah-olah tarifnya 12% atau 11%.
Barang Apa Saja yang Kena PPN 12% (Lewat Skema DPP 12/12)?¶
Barang-barang yang dikenai PPN dengan skema DPP 12/12 (yang hasilnya setara PPN 12%) adalah barang-barang yang dikategorikan mewah. Kategori barang mewah ini umumnya sama dengan barang-barang yang selama ini menjadi objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). PPnBM sendiri adalah pajak lain yang dikenakan selain PPN untuk barang-barang mewah tertentu.
Daftar lengkap barang yang termasuk objek PPnBM diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141 Tahun 2021 dan PMK No. 15 Tahun 2023. Contoh barang mewah yang sering masuk dalam kategori ini antara lain:
- Kendaraan bermotor tertentu (seperti mobil mewah, motor gede/moge). Kategori dan tarif PPnBM-nya sangat bervariasi tergantung jenis, isi silinder, penggerak, dan fitur lainnya.
- Properti mewah, seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, atau town house dengan harga atau luas tertentu yang melebihi batasan yang ditetapkan.
- Pesawat udara pribadi dan helikopter pribadi.
- Kapal pesiar mewah dan perahu layar mewah.
- Senjata api dan amunisi.
- Beberapa jenis barang elektronika atau barang konsumsi lain yang dianggap super mewah.
Jadi, jika Anda membeli salah satu barang yang masuk dalam daftar objek PPnBM berdasarkan PMK yang disebutkan tadi, maka perhitungan PPN-nya akan menggunakan skema DPP 12/12, yang menghasilkan PPN sebesar 12% dari harga jual barang tersebut (selain PPnBM itu sendiri yang juga dikenakan).
Barang/Jasa Apa Saja yang Kena PPN 11% (Lewat Skema DPP 11/12)?¶
Sebaliknya, barang atau jasa yang dikenai PPN dengan skema DPP 11/12 (yang hasilnya setara PPN 11%) adalah semua barang dan jasa kena pajak lainnya yang tidak termasuk dalam kategori barang mewah yang dikenai skema DPP 12/12. Ini mencakup sebagian besar transaksi jual beli barang dan jasa yang kita lakukan sehari-hari.
Mulai dari makanan olahan, minuman dalam kemasan, pakaian, elektronik rumah tangga biasa, jasa telekomunikasi, jasa perbaikan, jasa konsultasi (kecuali yang dikecualikan), dan lain sebagainya. Semua transaksi barang atau jasa yang merupakan objek PPN namun tidak tergolong mewah akan menggunakan perhitungan DPP 11/12 ini.
Dengan kata lain, sebagian besar pengeluaran konsumsi masyarakat akan dikenakan PPN dengan beban setara 11%. Kenaikan dari tarif 10% ke 11% ini sudah berlaku sebelumnya, dan skema DPP 11/12 ini memastikan tarif efektif 11% tetap berlaku untuk mayoritas transaksi.
Barang/Jasa yang Tetap Bebas PPN (PPN 0%)¶
Meskipun ada pengaturan PPN 12% dan 11% lewat perbedaan DPP, penting untuk diingat bahwa ada juga barang dan jasa tertentu yang tetap dibebaskan dari pengenaan PPN atau dikenakan PPN dengan tarif 0%. Ini adalah jenis barang/jasa yang dianggap sangat esensial bagi masyarakat atau yang terkait dengan ekspor. Rujukan aturannya ada di Pasal 16B UU PPN dan rinciannya ada di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022.
Beberapa contoh barang/jasa yang tetap bebas PPN atau dikenakan tarif 0% antara lain:
- Barang Kebutuhan Pokok Masyarakat: Ini mencakup bahan makanan pokok seperti beras, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, dan gula konsumsi. Namun, yang bebas PPN adalah yang masih dalam bentuk mentah atau segar, tidak diolah lebih lanjut. PP 49/2022 merinci jenis-jenisnya, seperti daging segar, ikan segar, beras, jagung, sagu, kedelai, garam, telur ayam ras segar, bawang, cabai, gula pasir, dan lain-lain.
- Jasa Pendidikan: Termasuk jasa penyelenggaraan pendidikan formal dan non-formal.
- Jasa Pelayanan Kesehatan Medis: Layanan dokter umum, spesialis, dokter gigi, bidan, perawat, sampai pelayanan di rumah sakit, puskesmas, dan klinik kesehatan.
- Jasa Pelayanan Sosial: Jasa panti asuhan, panti jompo, dan layanan sosial lainnya.
- Jasa Angkutan Umum: Angkutan umum di darat, laut, udara, dan kereta api yang sesuai ketentuan.
- Jasa Keuangan: Jasa perbankan, asuransi, pembiayaan, dan jasa keuangan lainnya.
- Jasa Persewaan Rumah Susun Sederhana dan Umum: Penyewaan hunian dengan kriteria tertentu yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
- Air Bersih: Jasa penyediaan air bersih, termasuk yang melalui saluran.
Daftar ini cukup panjang dan detail di PP 49/2022, tapi intinya adalah barang dan jasa yang krusial bagi hajat hidup orang banyak atau yang berkaitan dengan fungsi sosial dan pelayanan publik tetap tidak dikenakan PPN. PPN 0% sendiri dikenakan untuk ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan ekspor Jasa Kena Pajak.
Dampak Kebijakan Ini¶
Kebijakan ini punya beberapa dampak penting. Bagi konsumen, harga barang mewah akan sedikit lebih tinggi karena PPN-nya dihitung berdasarkan nilai penuh transaksi (setara 12%), dibandingkan barang non-mewah yang PPN-nya dihitung berdasarkan nilai yang sedikit dikurangi (setara 11%). Ini sejalan dengan prinsip keadilan horizontal, di mana masyarakat dengan kemampuan ekonomi lebih tinggi yang membeli barang mewah akan menanggung beban pajak yang lebih besar.
Bagi pelaku usaha yang menjual barang mewah, mereka perlu menyesuaikan sistem faktur pajak dan perhitungan PPN mereka agar sesuai dengan skema DPP 12/12. Sementara bagi pelaku usaha yang menjual barang/jasa biasa, mereka akan menggunakan skema DPP 11/12. Secara teknis, ini mungkin menambah sedikit kompleksitas administrasi, tetapi prinsip dasarnya tetap mengalikan tarif 12% dengan DPP yang sesuai.
Kebijakan ini juga menunjukkan komitmen pemerintah untuk membedakan perlakuan pajak antara barang konsumsi umum dan barang konsumsi mewah, sekaligus tetap menjaga struktur tarif PPN sesuai amanat undang-undang.
Penutup¶
Jadi, kalau ditanya apakah PPN naik jadi 12% atau 11%? Jawabannya, tarif resmi PPN itu 12%, tetapi berkat pengaturan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) di PMK 131/2024, beban PPN yang dikenakan ke masyarakat akan setara 12% untuk barang mewah dan setara 11% untuk barang/jasa lainnya. Skema ini adalah cara cerdas pemerintah untuk mencapai tujuan kebijakan perpajakan tanpa mengubah dasar hukum tarif PPN di undang-undang.
Semoga penjelasan ini bisa bikin kamu nggak bingung lagi ya kalau lihat angka PPN 12% atau 11% di kwitansi atau faktur!
Kalau ada pertanyaan atau pengalaman menarik terkait PPN ini, jangan ragu share di kolom komentar ya! Atau mungkin ada yang punya info terbaru terkait daftar barang mewah atau barang bebas PPN yang lain? Yuk, diskusi biar makin paham!
Posting Komentar