Kampus Makin Otonom: Beban Biaya Kuliah Bakal Naik?

Daftar Isi

Kampus-kampus negeri kita di Indonesia kini punya status yang beda-beda, mulai dari Satuan Kerja (Satker), Badan Layanan Umum (BLU), sampai yang paling otonom, Badan Hukum (PTN-BH). Tingkat otonominya juga beda-beda, baik dalam hal akademik maupun non-akademik. Semakin otonom sebuah kampus, semakin besar juga tantangan yang dihadapi, terutama soal gimana caranya bisa mandiri secara finansial. Ini nih, yang sering bikin kita mikir, jangan-jangan otonomi ini bikin biaya kuliah makin melambung tinggi.

universitas otonom biaya kuliah

Perjalanan Panjang Menuju Otonomi

Ide memberikan otonomi ke perguruan tinggi negeri sebenarnya sudah ada sejak lama. Langkah awalnya ditandai dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999. PP ini mengatur soal penetapan beberapa Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara (PTN-BHMN). Di zaman itu, ada empat kampus top yang jadi pionir PTN-BHMN, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka ini bisa dibilang generasi pertama kampus negeri yang punya kebebasan lebih dalam mengelola diri.

Perjalanan PTN-BHMN ini sempat agak goyah waktu Undang-Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan Nomor 9 Tahun 2009 yang seharusnya memperkuat legalitas mereka malah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Keputusan ini sempat menimbulkan pertanyaan besar soal status hukum PTN-BHMN. Namun, pemerintah nggak tinggal diam. Legalitas otonomi kampus kemudian diperkuat lagi dengan disahkannya UU Pendidikan Tinggi pada tahun 2012. UU ini memberikan landasan yang lebih kokoh bagi perguruan tinggi negeri untuk bertransformasi, secara bertahap, dari Satker menjadi BLU, lalu diarahkan menjadi PTN Badan Hukum atau PTN-BH.

Bahkan, saking seriusnya pemerintah mendorong otonomi ini, dulu sempat ada wacana dalam Rancangan UU Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 bahwa semua PTN milik pemerintah akan sepenuhnya berstatus PTN-BH. Ini menunjukkan betapa kuatnya keinginan untuk membuat kampus negeri lebih gesit dan mandiri dalam pengelolaannya. Perubahan status ini bukan cuma soal nama, tapi benar-benar mengubah cara kampus beroperasi, terutama dalam hal tata kelola dan pendanaan.

Status Satker (Satuan Kerja) itu level paling dasar, di mana semua anggaran dan pengeluaran kampus sangat terikat dengan aturan APBN, persis seperti instansi pemerintah biasa. Kebebasan untuk mengelola dana atau aset masih sangat terbatas. Naik ke status BLU (Badan Layanan Umum), kampus mulai diberi fleksibilitas lebih dalam mengelola pendapatan non-APBN, seperti dari hasil kerja sama atau usaha lain. Mereka bisa menggunakan pendapatan ini langsung tanpa harus disetor penuh ke kas negara dulu, tapi masih ada batasan dan kontrol ketat dari pemerintah. Nah, PTN-BH ini level tertinggi otonominya. Mereka punya badan hukum sendiri, Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ tertinggi, dan kebebasan yang jauh lebih luas dalam mengelola aset, keuangan, dan bahkan SDM. Tujuannya ya itu tadi, biar kampus makin lincah dan bisa bersaing di kancah global.

Mengejar Kelas Dunia Lewat Otonomi

Salah satu alasan utama pemerintah memberikan otonomi yang lebih luas kepada PTN, terutama yang berstatus PTN-BH, adalah agar mereka bisa bersaing di tingkat global. Di era yang serba terhubung ini, peringkat universitas dunia menjadi salah satu indikator penting kualitas pendidikan sebuah negara. Pemerintah punya target ambisius: melihat PTN Indonesia masuk dalam jajaran 500 universitas terbaik di dunia.

Untuk bisa mencapai target ini, kampus butuh banyak hal: fasilitas riset canggih, dosen berkualitas internasional, kurikulum yang relevan dengan perkembangan global, dan kemampuan menarik mahasiswa terbaik dari dalam maupun luar negeri. Semua ini butuh biaya, dan mengandalkan APBN saja dirasa kurang mencukupi atau terlalu kaku. Di sinilah kemandirian keuangan dari sumber non-APBN jadi kunci utama. PTN-BH diharapkan bisa kreatif mencari sumber pendanaan lain, seperti dari hasil riset yang dikomersialkan, kerja sama dengan industri, donasi, hingga pengelolaan aset yang lebih fleksibel.

Target masuk 500 besar dunia ini bukan isapan jempol. Di tahun 2022, beberapa PTN-BH berhasil menembus peringkat bergengsi Quacquarelli Symonds World University Rankings (QS WUR). UGM di peringkat 231, ITB 235, UI 248, Universitas Airlangga (Unair) 369, dan IPB University 449. Ini bukti bahwa dengan otonomi dan upaya mandiri, PTN kita punya potensi besar.

Tren positif ini terus berlanjut. Berdasarkan pengumuman QS WUR 2026 pada Kamis, 19 Juni 2025, peringkat PTN-BH Indonesia makin kinclong. UI berhasil menembus kelompok top 200, naik ke peringkat 189. UGM di 224, ITB di 255, IPB University di 399, dan Unair di 287. Pencapaian ini tentu membanggakan dan sejalan dengan visi menjadikan PTN Indonesia diakui dunia.

Hingga tahun 2024, pemerintah telah menetapkan 24 PTN berstatus Badan Hukum. Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memperluas model tata kelola yang lebih otonom ini. Daftar PTN-BH ini terus bertambah, termasuk Universitas Terbuka (UT) yang juga kini berstatus badan hukum. Semakin banyak PTN yang berstatus BH, semakin besar harapan (dan juga tantangan) untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi nasional secara keseluruhan.

Sisi Lain Otonomi: Isu Komersialisasi Pendidikan

Meskipun otonomi kampus punya tujuan mulia untuk meningkatkan kualitas dan daya saing, kebijakan ini nggak lepas dari kritik. Sejak awal munculnya PTN-BHMN, banyak pihak khawatir bahwa pemberian otonomi ini sebenarnya adalah cara pemerintah untuk melepas tanggung jawab pendanaan dan mendorong PTN untuk mengomersialkan pendidikan.

Menteri Pendidikan Nasional saat itu, Abdul Malik Fadjar, di tahun 2002 pernah menyebutkan bahwa model manajemen BHMN itu lebih demokratis karena melibatkan berbagai unsur masyarakat. Keberadaan PTN yang berbadan hukum memang membuka pintu bagi berbagai kalangan, mulai dari pengusaha, pejabat publik, hingga tokoh masyarakat, untuk ikut berperan dalam pengembangan universitas melalui keanggotaan di Majelis Wali Amanat (MWA). Contohnya, di awal era PTN-BHMN, Ketua MWA UI (2002-2007) dijabat oleh Mochtar Riady, pengusaha kenamaan Indonesia. Keterlibatan tokoh-tokoh non-akademik ini diharapkan bisa membawa perspektif dan jaringan baru untuk pengembangan kampus, termasuk dalam hal pendanaan.

Namun, di sinilah letak kekhawatiran utamanya.

Status PTN berbadan hukum membawa konsekuensi biaya kuliah yang bertambah naik.

Laporan dari berbagai sumber, termasuk Kompas, konsisten menunjukkan bahwa status PTN berbadan hukum seringkali berujung pada kenaikan biaya kuliah. Mengapa? Karena saat dituntut mandiri secara finansial, sumber pendapatan yang paling gampang dan paling besar adalah dari mahasiswa itu sendiri.

Awalnya, sistem pembayaran uang kuliah di PTN distandardisasi menjadi Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT ini besarannya ditentukan berdasarkan kondisi ekonomi keluarga calon mahasiswa, dibagi ke dalam beberapa golongan atau band. Tujuannya mulia, agar biaya kuliah lebih adil dan terjangkau bagi semua kalangan. Namun, dalam praktiknya, banyak mahasiswa mengeluh bahwa UKT yang ditetapkan seringkali tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka, dan golongan UKT tertinggi bisa sangat mahal.

Selain UKT, PTN-BH juga diberi keleluasaan untuk membuka jalur penerimaan mahasiswa secara mandiri, di luar jalur nasional seperti SNBP dan SNBT. Kuota jalur mandiri di PTN-BH bahkan bisa mencapai 50 persen dari total daya tampung. Nah, di jalur mandiri inilah kampus diizinkan memungut biaya lain, seperti Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau uang pangkal. Besaran IPI ini tidak diatur seketat UKT dan seringkali nilainya fantastis, bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah, tergantung program studi dan kebijakan kampus.

Akibatnya, kombinasi UKT yang mahal di golongan atas dan adanya IPI di jalur mandiri membuat biaya kuliah di PTN-BH, terutama di prodi-prodi favorit, jadi nggak ada bedanya sama biaya kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS) elit, bahkan bisa lebih mahal. Ini tentu jadi pukulan berat bagi calon mahasiswa dari keluarga menengah ke bawah yang awalnya berharap bisa kuliah di PTN dengan biaya yang lebih terjangkau.

Dampak Sosial: Pendidikan Tinggi yang Makin Sulit Diakses?

Kenaikan biaya kuliah di PTN-BH ini punya dampak sosial yang serius. Liputan Jurnalisme Data Kompas tahun 2022 pernah menyoroti bahwa orang tua di Indonesia di masa depan akan semakin kesulitan membiayai kuliah anak-anak mereka. Mengapa? Karena rata-rata kenaikan biaya kuliah jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata kenaikan gaji atau pendapatan masyarakat Indonesia.

Survei yang dilakukan dalam liputan tersebut menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat, yaitu 62,4 persen dari 508 responden, menilai biaya kuliah di PTN itu cukup mahal. Angka ini bahkan lebih tinggi untuk PTS, di mana tiga perempat responden menganggapnya mahal. Tingginya biaya kuliah ini menjadi ironi besar di tengah fakta bahwa akses anak muda Indonesia ke pendidikan tinggi masih sangat terbatas.

Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi (APK PT) di Indonesia pada tahun 2022 tercatat baru 39,37 persen (data Kemendikbudristek). Angka ini masih di bawah rata-rata global yang sudah mencapai 40 persen (UNESCO, 2020). Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, APK PT Indonesia tergolong rendah. Malaysia sudah di angka 43 persen, Thailand 49,29 persen, dan Singapura melesat jauh di 91,09 persen.

Ini menunjukkan bahwa ada gap besar antara keinginan untuk meningkatkan kualitas PTN melalui otonomi dan tantangan untuk memastikan pendidikan tinggi tetap bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Jika biaya terus naik, risiko pendidikan tinggi hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang dari keluarga mampu akan semakin besar. Ini bisa memperlebar jurang ketidaksetaraan sosial dan ekonomi.

Esensi Otonomi: Bukan Cuma Soal Duit

Isu biaya kuliah yang melambung ini seringkali membayangi tujuan hakiki dari otonomi perguruan tinggi. Menurut para ahli, otonomi itu bukan semata-mata soal kebebasan finansial, apalagi sampai komersialisasi.

Mantan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, dalam sebuah seminar pertengahan Juni 2025, sempat mengingatkan bahwa pemahaman tentang otonomi perguruan tinggi saat ini masih kurang tepat, baik oleh pemerintah maupun kampusnya sendiri. Menurutnya, otonomi yang ideal itu adalah tata kelola perguruan tinggi, di mana kampus punya kebebasan dan kelincahan dalam membuat kebijakan dan keputusan internal secara mandiri, tapi tetap bertanggung jawab.

Satryo menegaskan bahwa pemerintah tetap diharapkan berkontribusi memberikan bantuan dana yang cukup untuk pendidikan tinggi. Dana dari pemerintah ini krusial untuk memastikan mutu pendidikan tidak menurun, riset tetap berjalan (terutama di bidang sains dan teknologi yang butuh biaya besar), dan mencegah disparitas sosial serta ekonomi antardaerah akibat biaya pendidikan yang tidak merata. Ini sejalan dengan amanat konstitusi bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara.

Senada dengan itu, Guru Besar Antropologi Hukum UI, Sulistyowati Irianto, yang juga aktif memperjuangkan otonomi kampus, menekankan perlunya reformasi mendasar. Menurutnya, universitas yang benar-benar otonom harus didukung penuh oleh negara. Para ilmuwannya juga harus memiliki kebebasan ilmiah (academic freedom) untuk memproduksi ilmu pengetahuan tanpa tekanan. Lingkungan seperti ini akan melahirkan pengetahuan mutakhir yang berdampak signifikan bagi kemajuan bangsa.

Sulistyowati menambahkan bahwa untuk mengembalikan esensi otonomi universitas, perlu ada tinjauan ulang terhadap berbagai peraturan dan kebijakan, baik dari kementerian maupun internal kampus, yang justru bertentangan dengan prinsip otonomi universitas. Misalnya, aturan yang terlalu birokratis atau intervensi yang membatasi kebebasan akademik dan riset. Dengan reformasi ini, diharapkan universitas di Indonesia bisa mencapai potensi maksimalnya, bukan malah terbebani oleh urusan mencari uang.

Mencari Titik Temu: Tanggung Jawab Pemerintah dan Kemandirian Kampus

Menanggapi kekhawatiran ini, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendiktisaintek, Khairul Munadi, secara terpisah menyatakan bahwa kementerian sedang mengkaji peraturan-peraturan untuk menciptakan tata kelola perguruan tinggi yang lebih lincah dan bebas, termasuk dalam pengembangan akademik. Namun, dia menegaskan bahwa otonomi ini tidak diartikan meniadakan peran pemerintah dalam konteks pembiayaan pendidikan.

Pernyataan ini penting, karena intinya otonomi kampus seharusnya bukan alasan bagi pemerintah untuk lepas tangan sepenuhnya soal pendanaan dasar. Pemerintah tetap punya peran vital dalam memastikan keberlangsungan dan kualitas pendidikan tinggi, terutama untuk fungsi-fungsi yang tidak bisa atau sulit dikomersialkan, seperti riset fundamental, pengabdian masyarakat, dan penyediaan akses bagi mahasiswa dari latar belakang ekonomi kurang mampu.

Tantangan besar saat ini adalah menemukan keseimbangan yang pas. Di satu sisi, PTN-BH butuh fleksibilitas dan sumber daya tambahan untuk bersaing global dan berinovasi. Di sisi lain, pendidikan tinggi adalah hak setiap warga negara dan harus tetap terjangkau. Model pendanaan yang ideal mungkin adalah campuran: alokasi APBN yang memadai untuk operasional inti dan riset strategis, ditambah kemampuan kampus mencari sumber pendanaan lain secara kreatif dan transparan, tanpa menjadikan mahasiswa sebagai ‘sapi perah’ utama.

Mungkin perlu ada kejelasan lebih lanjut soal porsi ideal pendanaan dari pemerintah vs. non-APBN di PTN-BH, serta mekanisme kontrol yang kuat agar kebijakan UKT dan IPI benar-benar berpihak pada aksesibilitas dan keadilan. Transparansi dalam pengelolaan keuangan kampus juga jadi kunci agar kepercayaan publik terjaga.

Berikut ilustrasi sederhana status PTN:

```mermaid
graph LR
A[PTN Satker] → B[PTN BLU];
B → C[PTN BH];
A – Anggaran Terikat APBN → SatkerC(Kontrol Ketat Pemerintah);
B – Fleksibilitas Dana Non-APBN → BLUC(Kontrol Relatif);
C – Otonomi Luas → BHC(Kemandirian & Tanggung Jawab);

C -- Potensi Pendanaan Mandiri --> DanaMandiri;
C -- Punya MWA --> MWA;
DanaMandiri -- Bisa dari UKT Tinggi/IPI --> UKT_IPI;
UKT_IPI -- Risiko Beban Mahasiswa --> Beban;

Pemerintah(Pemerintah) -- Beri Otonomi & APBN --> A;
Pemerintah -- Dukungan Bertahap --> B;
Pemerintah -- Harap Daya Saing Global --> C;
Pemerintah -- Pentingnya Kontribusi Dana --> Ahli;
Ahli(Pandangan Ahli);

```

Diagram ini menunjukkan alur perubahan status PTN dan implikasinya, termasuk potensi beban pada mahasiswa sebagai salah satu sumber pendanaan mandiri PTN-BH.

Isu biaya kuliah di PTN-BH ini memang kompleks dan menyentuh berbagai aspek, mulai dari sejarah kebijakan pendidikan, tujuan pembangunan nasional, tata kelola universitas, hingga keadilan sosial. Mencari solusi yang tepat membutuhkan dialog berkelanjutan dan komitmen dari semua pihak: pemerintah, kampus, masyarakat, dan tentu saja, mahasiswa.

Gimana menurut kalian? Setujukah kalau otonomi kampus berujung pada biaya kuliah yang mahal? Atau ada cara lain biar kampus bisa mandiri tapi tetap terjangkau? Yuk, share pendapat dan pengalaman kalian di kolom komentar di bawah!

Posting Komentar