Kode Keras Jokowi ke PSI? NasDem Sentil SBY: Mending Santai Aja, Bro!

Table of Contents

Kode Keras Jokowi ke PSI? NasDem Sentil SBY: Mending Santai Aja, Bro!

Lagi ramai nih obrolan soal langkah politik Presiden Joko Widodo setelah nanti lengser dari Istana. Belakangan, nama beliau sempat disebut-sebut masuk bursa calon ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tapi, Pak Jokowi malah nyeletuk pengennya gabung Partai Solidaritas Indonesia (PSI) aja. Pernyataan ini langsung bikin heboh, terutama di kalangan partai politik. Salah satunya datang dari Partai NasDem.

Partai NasDem melalui Bendahara Umumnya, Ahmad Sahroni, ikut menanggapi santai pilihan politik Pak Jokowi ini. Menurut Sahroni, sah-sah saja kalau Pak Jokowi mau berlabuh ke partai manapun setelah masa jabatannya habis. Sebagai warga negara, setiap orang punya hak untuk menentukan pilihan politiknya sendiri, termasuk seorang mantan presiden sekalipun. Apalagi, kiprah Pak Jokowi di dunia politik sudah sangat panjang dan penuh warna, dimulai dari Wali Kota, Gubernur, hingga dua periode jadi Presiden.

Tanggapan Santai dari NasDem

Sahroni bilang, “Beliau (Jokowi) mau ke mana aja boleh kok.” Pernyataan ini terkesan casual namun sarat makna. Seolah menegaskan bahwa panggung politik tetap terbuka lebar bagi siapa saja, termasuk figur sekaliber Pak Jokowi. Pilihan untuk bergabung dengan partai tertentu setelah tidak lagi menjabat presiden adalah hak pribadi yang dilindungi konstitusi. Tidak ada larangan atau aturan baku yang membatasi seorang mantan kepala negara untuk tetap aktif di kancah politik kepartaian.

Pernyataan Sahroni ini juga bisa diartikan sebagai bentuk penghormatan terhadap pilihan politik seseorang. Dalam demokrasi, perbedaan pilihan adalah hal biasa. Sikap NasDem yang terkesan tidak mempermasalahkan ini menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik, meskipun NasDem dan Jokowi sempat memiliki dinamika hubungan pasca Pilpres 2024. Apalagi, PSI adalah partai yang identik dengan dukungan kuat terhadap Jokowi dan belakangan dipimpin oleh putranya, Kaesang Pangarep.

Saran “Adik” untuk Menikmati Hidup

Tapi, ada tapinya nih dari Sahroni. Meski membolehkan Pak Jokowi berlabuh ke mana saja, Sahroni punya saran khusus yang disampaikan layaknya seorang adik kepada kakaknya. Dia menyarankan agar Pak Jokowi lebih fokus menikmati masa pensiun setelah tidak lagi jadi presiden. Menurutnya, akan lebih baik jika Pak Jokowi mencontoh gaya Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang terlihat lebih santai dan menikmati hidup pasca menjabat.

“Tapi saran saya sebagai adik, kiranya Pak Jokowi lihat contoh kaya Pak SBY, hidup tenang dan menikmati hidup setelah tidak lagi jadi presiden. Saya bangga lihatnya,” ujar Sahroni. Saran ini cukup menggelitik karena membandingkan dua gaya mantan presiden yang berbeda era. SBY memang dikenal memilih untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga, menulis buku, melukis, dan sesekali tampil di publik untuk kegiatan sosial atau acara penting, namun tidak terlalu intens dalam hiruk pikuk politik praktis sehari-hari.

Masa pensiun seorang presiden tentu berbeda dengan warga biasa. Ada banyak fasilitas dan protokoler yang melekat. Namun, pilihan untuk tetap aktif di gelanggang politik atau menarik diri dan menikmati ketenangan adalah hak pribadi. Sahroni tampaknya melihat ketenangan hidup SBY sebagai role model yang pas untuk Pak Jokowi setelah melewati delapan tahun lebih memimpin negara dengan segala dinamikanya yang luar biasa padat. Mengelola negara sebesar Indonesia dengan segala problematikanya tentu menguras energi, pikiran, dan waktu.

Setelah meletakkan jabatan, akan ada fase baru dalam kehidupan seorang mantan presiden. Ada yang memilih terus berkontribusi dalam kapasitas lain, ada juga yang memilih rehat total dari ingar bingar politik. Saran Sahroni ini seolah mengingatkan bahwa ada waktu untuk bekerja keras memimpin, dan ada waktu untuk menikmati hasil kerja keras itu dengan lebih tenang dan santai. Mungkin, Sahroni melihat bahwa Pak Jokowi sudah saatnya menikmati buah perjuangan dan mendedikasikan waktu lebih banyak untuk hal-hal personal di luar urusan kenegaraan yang super sibuk.

Estafet Politik ke Anak dan Menantu

Selain saran untuk mencontoh SBY, Sahroni juga punya pandangan soal kelanjutan kiprah politik keluarga Jokowi. Dia menyarankan agar urusan politik praktis diserahkan saja kepada anak dan menantunya yang saat ini sedang aktif menjalankan tugas publik. Seperti diketahui, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden terpilih, sementara menantunya, Bobby Nasution, menjabat sebagai Wali Kota Medan. Keduanya bisa dibilang sedang berada di garda depan panggung politik nasional dan daerah.

“Iya sebagai saran dan masukan berilah urusan politik bagi anak dan mantu yang saat ini sedang bertugas,” kata Sahroni. “Pak Jokowi sebagai ayah harus selalu ngawasin anak dan mantunya yang lagi bekerja untuk rakyat. Insya Allah mereka akan jadi penerus Pak Jokowi ke depan,” imbuh Sahroni. Pandangan ini secara tidak langsung menyinggung isu regenerasi dan suksesi politik di kalangan keluarga Jokowi. Sahroni tampaknya melihat bahwa masa depan politik keluarga sudah ada di tangan generasi penerusnya.

Menyerahkan urusan politik praktis kepada Gibran dan Bobby dianggap sebagai langkah natural dalam konteks keberlanjutan. Pak Jokowi, dengan pengalaman segudang dan jaringan yang luas, bisa berperan sebagai mentor atau penasihat dari balik layar, mengawasi dan memberikan arahan strategis tanpa harus terjun langsung ke dalam dinamika partai sehari-hari. Ini bisa dilihat sebagai bentuk transisi kepemimpinan dalam keluarga, di mana generasi tua memberikan kepercayaan kepada generasi muda untuk mengambil peran utama.

Narasi tentang “penerus Pak Jokowi” juga menguatkan persepsi publik tentang potensi dinasti politik. Gibran dan Bobby memang tengah menapaki karier politik yang cukup pesat. Dukungan dan pengaruh dari Pak Jokowi tentu tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu faktor penting dalam perjalanan mereka. Dengan menyerahkan urusan politik kepada keduanya, Pak Jokowi bisa dikatakan memberikan panggung penuh bagi anak dan menantunya untuk membuktikan kapasitas dan kapabilitas mereka dalam memimpin dan bekerja untuk rakyat. Ini juga bisa mengurangi sorotan dan tekanan terhadap Pak Jokowi pribadi, sekaligus memberikan ruang bagi Gibran dan Bobby untuk membangun identitas politik mereka sendiri.

Kode Keras Jokowi ke PSI?

Sekarang mari kita bedah pernyataan asli Pak Jokowi yang jadi pemicu ramainya obrolan ini. Awalnya, Pak Jokowi ditanya soal kemungkinan dirinya masuk bursa calon ketua umum PPP. Pertanyaan ini muncul di tengah isu perpecahan dan dinamika internal di PPP pasca-Pemilu 2024 yang hasilnya kurang memuaskan bagi partai berlambang Ka’bah itu. Secara mengejutkan, alih-alih menanggapi serius kemungkinan masuk PPP, Pak Jokowi malah melempar jawaban santai tapi langsung mengarah ke partai lain.

“Yang di PPP, saya kira banyak caketum yang jauh lebih baik, yang punya kapasitas, kapabilitas, punya kompetensi. Banyak itu calon yang sudah beredar kan banyak. Saya di PSI saja lah,” kata Jokowi saat ditemui awak media di kediamannya di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo. Pernyataan “Saya di PSI saja lah” ini sontak menjadi sorotan tajam. Mengapa PSI? Mengapa tidak partai lain? Apalagi PPP dan PSI punya sejarah dan basis massa yang berbeda jauh.

Jawaban ini bisa ditafsirkan macam-macam. Pertama, bisa jadi ini hanya guyonan khas Jokowi yang seringkali menjawab pertanyaan serius dengan nada santai dan terkesan apa adanya. Kedua, ini bisa jadi sinyal atau “kode keras” dukungan penuh Pak Jokowi kepada PSI, partai yang selama ini memang sangat loyal mendukung pemerintahannya. Ditambah lagi, putra bungsunya, Kaesang Pangarep, kini menjabat sebagai Ketua Umum PSI. Jadi, pilihan ke PSI terasa sangat personal dan terkait erat dengan keluarga.

Memilih PSI juga bisa dilihat sebagai langkah strategis. PSI dikenal sebagai partai anak muda yang menggunakan pendekatan komunikasi modern dan seringkali vokal di media sosial. Dengan basis massa yang berbeda dari partai-partai “senior”, PSI punya potensi untuk menjangkau segmen pemilih baru. Keberadaan Pak Jokowi, atau setidaknya dukungannya yang kuat, di PSI bisa memberikan dorongan elektoral yang signifikan bagi partai yang baru pertama kali lolos ke Senayan di Pileg 2024 ini. Mungkin ini cara Pak Jokowi untuk memastikan warisan politiknya tetap relevan dan berpengaruh melalui kendaraan politik yang baru dan segar.

Mengurai Benang Merah Pernyataan Politik

Pernyataan Pak Jokowi dan tanggapan Ahmad Sahroni ini saling terkait dan mencerminkan dinamika politik jelang transisi pemerintahan. Jokowi, yang akan segera mengakhiri masa jabatannya, tampaknya sedang menjajaki atau setidaknya memberikan sinyal mengenai posisinya pasca-presiden. Pilihan PSI, yang dipimpin anaknya, tentu bukan pilihan sembarangan. Ini menguatkan dugaan bahwa Jokowi akan tetap memiliki peran sentral dalam konstelasi politik nasional, mungkin tidak lagi sebagai kepala negara, tetapi sebagai figur sentral di belakang layar atau di partai politik yang dekat dengannya.

Di sisi lain, saran dari NasDem melalui Sahroni bisa dilihat sebagai upaya untuk “memagari” pergerakan politik Jokowi pasca-presiden. Dengan menyarankan agar mencontoh SBY yang lebih tenang dan menyerahkan urusan politik ke anak cucu, NasDem seolah berharap agar pengaruh Jokowi tidak terlalu dominan lagi di panggung politik praktis. Hal ini bisa dipahami mengingat NasDem adalah salah satu partai yang sempat berjarak dengan lingkaran kekuasaan Jokowi di akhir masa jabatannya, meski pernah menjadi bagian dari koalisi pendukung. Saran ini juga bisa dibaca sebagai kritik halus terhadap potensi Jokowi untuk terus bermain di politik praktis melalui PSI atau kekuatan lainnya.

Fenomena mantan presiden yang masih aktif atau memiliki pengaruh kuat dalam politik pasca-jabatan bukanlah hal baru di Indonesia. Soekarno tetap menjadi figur sentral meskipun tidak lagi menjabat. Soeharto memiliki pengaruh yang sangat besar hingga akhir hayatnya. Megawati Soekarnoputri tetap aktif dan memimpin partai besar setelah tidak menjadi presiden. SBY pun, meski lebih memilih rehat, sesekali memberikan pandangan politiknya dan tetap memimpin Partai Demokrat. Setiap mantan presiden punya gaya dan pilihan sendiri dalam menjalani “masa purna bakti” politiknya.

Pilihan Jokowi untuk condong ke PSI, ditambah keberadaan Kaesang di pucuk pimpinan partai tersebut, jelas mengindikasikan adanya proyeksi politik jangka panjang. Proyeksi ini bisa jadi meliputi penguatan posisi PSI sebagai kekuatan baru di parlemen, atau bahkan menjadi kendaraan politik utama bagi generasi penerus keluarga Jokowi di masa depan. PSI, yang selama ini identik dengan branding “partai pendukung Jokowi”, kini bertransformasi menjadi “partai keluarga Jokowi” dengan Kaesang sebagai Ketua Umum dan kemungkinan Jokowi sendiri akan bergabung. Ini adalah perkembangan menarik yang patut dicermati dalam peta politik Indonesia ke depan.

Melihat SBY sebagai Cermin

Ketika Sahroni menyarankan agar Jokowi mencontoh SBY yang hidup tenang, ada semacam nostalgia terhadap gaya kepemimpinan setelah berkuasa. SBY memilih gaya yang lebih low profile pasca-presiden. Beliau tidak secara aktif terlibat dalam manuver politik harian, meskipun tetap memegang kendali di Partai Demokrat hingga menyerahkan kepemimpinan kepada putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). SBY lebih banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan yang bersifat intelektual dan seni, seperti menulis buku memoar, membuat lagu, dan melukis.

Gaya SBY ini bisa menjadi alternatif bagi seorang mantan presiden. Setelah sekian lama memikul beban negara, rehat sejenak dari hiruk pikuk politik bisa memberikan ruang untuk refleksi dan melakukan hal-hal lain yang sebelumnya sulit dilakukan karena keterbatasan waktu. Ketenangan yang terpancar dari SBY pasca-presiden mungkin yang ditangkap oleh Sahroni sebagai contoh yang baik. Ini kontras dengan persepsi publik bahwa Jokowi mungkin akan tetap sangat sibuk dan terlibat dalam urusan politik meskipun sudah tidak di Istana.

Perbandingan dengan SBY ini juga bisa dimaknai sebagai sindiran halus. Apakah Sahroni merasa bahwa jika Jokowi terus aktif di politik praktis, ini bisa mengganggu tatanan atau dinamika politik yang baru? Atau apakah ini sekadar nasihat tulus dari seorang “adik” kepada “kakak”nya untuk menikmati hidup? Interpretasi bisa sangat beragam, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Namun, yang jelas, perbandingan ini menarik perhatian publik karena menyoroti dua gaya kepemimpinan dan gaya purna tugas yang berbeda dari dua presiden terakhir.

Berikut adalah video yang mungkin relevan dengan diskusi kita mengenai PSI, Kaesang, dan dinamika politik terkini:



(Mohon maaf, saya tidak bisa menampilkan video langsung dari YouTube. Anda bisa mencari video yang relevan dengan kata kunci seperti “Kaesang PSI Ketum”, “Jokowi PSI”, atau “Dinamika Politik Pasca Pilpres” di YouTube.)

PSI: Kendaraan Politik Masa Depan?

Pilihan Jokowi terhadap PSI ini juga memunculkan pertanyaan besar: seberapa seriuskah ini? Apakah ini hanya pernyataan spontan di tengah pertanyaan yang mendesak, atau memang ada rencana jangka panjang yang telah disusun? Mengingat PSI kini dipimpin oleh Kaesang dan selama ini menjadi pendukung setia Jokowi, sangat logis jika Pak Jokowi memiliki kedekatan emosional dan politik dengan partai ini. PSI bisa menjadi platform yang efektif bagi Pak Jokowi untuk tetap bersuara dan berpengaruh tanpa harus kembali ke partai lamanya (PDIP), yang mana hubungannya belakangan dikabarkan kurang harmonis.

Bergabung dengan PSI juga bisa menjadi cara bagi Jokowi untuk memberikan “berkah” politik kepada partai tersebut. PSI yang baru saja berhasil menembus ambang batas parlemen tentu membutuhkan dukungan dan penguatan. Keberadaan figur sekelas Jokowi, bahkan dalam kapasitas sebagai anggota biasa atau penasihat, bisa memberikan bobot elektoral dan posisi tawar yang lebih kuat bagi PSI dalam negosiasi koalisi atau dalam menyuarakan aspirasinya. Ini adalah win-win solution: Jokowi punya kendaraan politik, PSI dapat amunisi berharga.

Namun, rencana ini tentu tidak datang tanpa tantangan. Bagaimana reaksi partai-partai lain, terutama yang selama ini menjadi rekan koalisi Jokowi atau yang akan menjadi oposisi? Bagaimana pandangan publik terhadap mantan presiden yang langsung bergabung ke partai yang dipimpin anaknya sendiri, di tengah isu dinasti politik? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan mewarnai perdebatan politik ke depan. Yang pasti, pernyataan singkat dari Pak Jokowi ini sudah cukup untuk memanaskan kembali suhu politik dan memunculkan spekulasi liar tentang langkah beliau pasca-presiden.

Bagaimana, seru kan dinamika politik kita? Pernyataan santai bisa jadi kode keras, saran dari “adik” bisa jadi sindiran. Semua mata tertuju pada langkah selanjutnya.

Gimana nih menurut kalian? Setuju nggak sama saran Bang Sahroni buat Pak Jokowi biar santai aja kayak SBY? Atau justru pilihan ke PSI itu memang langkah terbaik buat Pak Jokowi dan PSI ke depannya? Yuk, diskusi di kolom komentar!

Posting Komentar