Malam 1 Suro vs Muharram: Bedanya Apa Sih? Cari Tahu di Sini!

Daftar Isi

Malam 1 Suro vs Muharram

Tidak lama lagi, kalender kita akan menunjukkan momen pergantian tahun baru. Bagi umat Islam, ini berarti menyambut bulan Muharram, bulan pertama dalam penanggalan Hijriah. Di sisi lain, banyak masyarakat Jawa juga bersiap menyambut Malam 1 Suro, malam pertama dalam kalender Jawa. Menariknya, kedua momen ini selalu bertepatan di hari yang sama.

Kebetulan tanggal ini seringkali memunculkan pertanyaan: apakah 1 Suro itu sama dengan 1 Muharram? Meski jatuh di tanggal yang sama, keduanya memiliki akar, makna, dan tradisi yang berbeda, lho. Yuk, kita bedah satu per satu supaya lebih paham!

Muharram: Lebih dari Sekadar Tahun Baru Islam

Bagi umat Islam di seluruh dunia, 1 Muharram adalah penanda dimulainya Tahun Baru Hijriah. Ini adalah awal dari siklus baru dalam kalender yang didasarkan pada pergerakan bulan (qamariah), yang digunakan untuk menentukan tanggal-tanggal penting dalam ibadah seperti puasa Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, dan pelaksanaan ibadah haji. Kalender ini mulai dihitung dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah, sebuah momen krusial dalam sejarah Islam.

Lebih dari sekadar pergantian tahun, Muharram adalah bulan yang istimewa. Dalam ajaran Islam, Muharram termasuk dalam empat bulan suci atau Asyhurul Hurum. Tiga bulan suci lainnya adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Kesucian bulan-bulan ini dijelaskan dalam Al-Quran Surah At-Taubah ayat 36, yang menekankan pentingnya menjaga diri dari perbuatan dosa dan meningkatkan amal saleh di dalamnya.

Bulan Muharram sangat dianjurkan untuk diisi dengan berbagai amalan baik. Salah satu yang paling ditekankan adalah puasa sunnah. Rasulullah SAW menyebut puasa di bulan Muharram sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan. Secara khusus, ada puasa Tasua (tanggal 9 Muharram) dan puasa Ashura (tanggal 10 Muharram), di mana puasa Ashura memiliki keutamaan dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.

Selain puasa, umat Islam juga dianjurkan untuk memperbanyak ibadah lainnya di bulan Muharram, seperti shalat sunnah, membaca Al-Quran, berdzikir, bersedekah, dan berdoa. Ini adalah momen untuk introspeksi, bertaubat, dan memohon ampunan serta keberkahan dari Allah SWT di awal tahun yang baru. Fokusnya adalah pada peningkatan kualitas spiritual dan hubungan dengan Sang Pencipta, serta refleksi atas perjalanan hidup yang telah dilalui.

Makna 1 Muharram bagi umat Islam bersifat universal, dirayakan dan dihayati oleh umat Muslim di seluruh dunia, meskipun mungkin dengan tradisi lokal yang berbeda-beda dalam menyambutnya. Esensinya tetap pada penghayatan nilai-nilai keislaman, peningkatan ibadah, dan harapan akan kebaikan di tahun yang akan datang sesuai ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Ini adalah penanda waktu yang murni bersumber dari ajaran agama, menandai sebuah era baru dalam peradaban Islam.

Muharram mengajarkan tentang pentingnya ketertiban waktu dalam beribadah dan bermuamalah. Penanggalan Hijriah, yang diawali Muharram, menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan seluruh syariat agamanya. Keistimewaannya sebagai bulan suci juga menjadi pengingat bagi setiap Muslim untuk senantiasa menjaga perilaku dan meningkatkan ketakwaan, tidak hanya di bulan ini, tetapi sebagai momentum awal untuk perbaikan diri sepanjang tahun.

1 Suro: Malam Keramat dalam Kalender Jawa

Beralih ke Malam 1 Suro, ini adalah momen penting dalam penanggalan Jawa. Sistem kalender Jawa, yang kita kenal sekarang, memiliki sejarah panjang dan unik. Konon, penyatuan dan penetapan kalender Jawa modern dilakukan oleh Sultan Agung Adi Prabu Anyakrakusuma, penguasa Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-17. Beliau menggabungkan sistem penanggalan Saka (yang berbasis matahari) dengan sistem penanggalan Hijriah (yang berbasis bulan).

Langkah Sultan Agung ini bukan tanpa alasan. Pada masa itu, masyarakat Jawa masih terpecah belah dalam penggunaan kalender, yang salah satunya berdampak pada keseragaman dalam pelaksanaan ibadah agama Islam, seperti perayaan hari raya. Dengan menyelaraskan kalender Jawa dengan kalender Hijriah yang berbasis bulan, Sultan Agung berhasil menciptakan kesatuan penanggalan yang memudahkan masyarakatnya, baik dalam urusan pemerintahan maupun keagamaan. Kata “Suro” sendiri diyakini berasal dari kata “Asyura”, yang merujuk pada hari ke-10 di bulan Muharram, namun kemudian digunakan untuk menyebut bulan pertama secara keseluruhan dalam konteks Jawa.

Penanggalan Jawa, seperti kalender Hijriah, memulai pergantian hari setelah matahari terbenam (saat waktu Magrib). Oleh karena itu, penyambutan 1 Suro dimulai pada malam hari sebelumnya, yang disebut Malam 1 Suro. Malam ini dianggap sangat sakral oleh masyarakat Jawa, terutama mereka yang masih memegang teguh tradisi dan kearifan lokal Kejawen. Kesakralan ini terkadang dikaitkan dengan unsur mistis atau spiritual yang kental.

Berbagai tradisi dan ritual khas Jawa kerap dilakukan saat Malam 1 Suro dan sepanjang bulan Suro. Contoh yang paling terkenal adalah Kirab Pusaka, di mana benda-benda pusaka keraton atau milik pribadi diarak atau dibersihkan (dijamas) dengan ritual khusus. Ada juga tradisi Tapa Bisu atau Mubeng Beteng di beberapa keraton, yaitu berjalan mengelilingi benteng keraton tanpa berbicara sepatah kata pun sebagai bentuk introspeksi dan doa. Selain itu, masyarakat sering mengadakan tirakatan (berjaga dan berdoa semalam suntuk), selametan (kenduri atau syukuran), dan pantangan-pantangan tertentu seperti larangan bepergian jauh atau mengadakan acara hajatan (pernikahan, khitanan).

Bulan Suro secara umum dipandang sebagai bulan yang hening dan penuh refleksi. Tradisi yang dilakukan lebih banyak bertujuan untuk mencari keselamatan, menolak bala (musibah), serta memohon berkah dan ketenangan batin. Ada kepercayaan bahwa pada bulan ini, pintu alam gaib terbuka lebih lebar, sehingga diperlukan kehati-hatian dan laku prihatin. Namun, penting untuk diingat bahwa pandangan dan praktik terkait Suro ini sangat beragam di berbagai daerah dan lapisan masyarakat Jawa, mencerminkan kekayaan budaya dan spiritualitas lokal.

Intinya, Malam 1 Suro adalah perayaan budaya dan spiritualitas khas Jawa dalam menyambut tahun baru pada penanggalan mereka. Meskipun nama bulannya berasal dari bahasa Arab (“Asyura”), makna dan tradisinya telah menyatu dengan kearifan lokal Jawa yang kaya, membentuk identitas budaya yang unik. Ini adalah momen untuk menghormati leluhur, merenungkan perjalanan hidup, dan memelihara keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan supranatural dalam pandangan Jawa.

Titik Pertemuan: Mengapa Berbarengan?

Sekarang kita tahu bahwa Muharram adalah bulan pertama kalender Hijriah, dan Suro adalah bulan pertama kalender Jawa. Pertanyaan selanjutnya, kenapa tanggal 1 Muharram selalu bertepatan dengan 1 Suro? Jawabannya terletak pada sejarah penyusunan kalender Jawa oleh Sultan Agung.

Seperti yang sudah disinggung, Sultan Agung memutuskan untuk menyelaraskan penanggalan Jawa yang sebelumnya menggunakan sistem Saka (dengan tahun yang kurang lebih sama dengan Masehi, berbasis matahari) dengan penanggalan Hijriah (berbasis bulan). Beliau mengadopsi sistem penomoran tahun Hijriah (tahun 1 dimulai saat hijrah Nabi) tetapi melanjutkan penomoran tahun Saka (tahun saat itu sekitar 1555 Saka, yang setara dengan 1633 Masehi). Hasilnya adalah kalender Jawa yang menggunakan perhitungan bulan (qamariah) layaknya Hijriah, tetapi dengan nomor tahun yang berbeda.

Karena kalender Jawa buatan Sultan Agung sepenuhnya mengadopsi perhitungan bulan dari kalender Hijriah, maka awal setiap bulan dalam kalender Jawa (termasuk bulan Suro sebagai bulan pertama) akan selalu jatuh bersamaan dengan awal bulan yang sesuai dalam kalender Hijriah (yaitu bulan Muharram). Keduanya memulai hitungan dari fase bulan baru yang sama. Oleh karena itu, Malam 1 Suro (malam pertama bulan Suro) akan selalu bertepatan dengan Malam 1 Muharram (malam pertama bulan Muharram) dalam sistem penanggalan yang berlaku. Ini adalah hasil dari keputusan historis untuk menyinkronkan kedua sistem kalender demi persatuan dan kemudahan masyarakat.

Perbedaan yang Esensial

Meskipun berbarengan secara tanggal, perbedaan mendasar antara Malam 1 Suro dan 1 Muharram sangatlah jelas jika dilihat dari akar dan maknanya:

  1. Dasar:

    • Muharram: Berbasis agama Islam murni. Penanggalannya (Hijriah) ditetapkan berdasarkan peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW dan digunakan sebagai pedoman universal bagi seluruh umat Islam dalam menjalankan ibadah.
    • 1 Suro: Berbasis kebudayaan Jawa. Penanggalannya (Jawa) merupakan hasil sinkretisme atau penggabungan budaya lokal dengan prinsip kalender Islam, yang diinisiasi oleh penguasa Jawa untuk tujuan praktis dan budaya.
  2. Tujuan dan Makna:

    • Muharram: Maknanya fokus pada nilai-nilai religius: peringatan tahun baru Islam, momentum untuk meningkatkan ibadah, bertaubat, dan mencari keberkahan dari Allah SWT. Ini adalah bulan suci di mana amal baik dilipatgandakan dan dosa dihindari.
    • 1 Suro: Maknanya fokus pada nilai-nilai budaya dan spiritualitas lokal Jawa: peringatan tahun baru Jawa, momen refleksi diri (laku prihatin, tirakatan), penghormatan terhadap leluhur dan benda pusaka, serta upaya mencari keselamatan dan keseimbangan hidup sesuai kearifan lokal.
  3. Amalan dan Tradisi:

    • Muharram: Amalan utamanya bersifat ibadah universal dalam Islam, seperti puasa sunnah (Tasua, Ashura), shalat, doa, dzikir, sedekah, dan membaca Al-Quran.
    • 1 Suro: Tradisinya bersifat khas budaya Jawa, seperti Kirab Pusaka, Jamasan (membersihkan pusaka), Tapa Bisu, Tirakatan, Selametan, dan berbagai pantangan atau kehati-hatian dalam berperilaku dan bepergian.
  4. Lingkup:

    • Muharram: Universal bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia.
    • 1 Suro: Khas bagi masyarakat Jawa dan mereka yang memegang tradisi Kejawen.

Jadi, bisa dibilang Malam 1 Suro adalah “versi budaya Jawa” dari perayaan tahun baru yang bertepatan dengan 1 Muharram, yang merupakan “versi agama Islam” dari tahun baru dalam kalender Hijriah. Keduanya berjalan berdampingan, masing-masing dengan kekayaan makna dan tradisinya sendiri.

Merajut Makna di Balik Perbedaan

Di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, banyak masyarakat yang memeluk agama Islam sekaligus masih memegang teguh tradisi Jawa. Bagi mereka, Malam 1 Suro dan 1 Muharram bisa jadi dipandang dalam konteks yang saling melengkapi, meskipun sumber ajarannya berbeda. Seorang Muslim Jawa mungkin akan merayakan 1 Muharram dengan puasa sunnah, berdoa, dan memperbanyak amal ibadah sesuai ajaran Islam, sekaligus ikut menjaga tradisi Malam 1 Suro seperti tidak bepergian jauh, membersihkan rumah atau benda pusaka, atau mengikuti tirakatan sebagai bentuk penghormatan pada budaya dan kearifan lokal.

Ini menunjukkan kekayaan dan kompleksitas budaya Indonesia, di mana unsur agama dan budaya bisa berjalan beriringan, bahkan terkadang terjadi percampuran (sinkretisme) dalam praktiknya. Memahami perbedaan dasar antara Muharram dan 1 Suro memungkinkan kita untuk menghargai kedua sisi ini: pentingnya menjalankan ajaran agama sesuai tuntunan (dalam hal ini Islam dengan Muharram-nya) dan kekayaan tradisi lokal yang diwariskan turun-temurun (dalam hal ini budaya Jawa dengan Suro-nya). Keduanya menawarkan pelajaran tentang awal yang baru, pentingnya refleksi, dan harapan akan masa depan yang lebih baik, meskipun dengan cara dan sudut pandang yang berbeda.

Pada akhirnya, baik Muharram maupun 1 Suro, keduanya adalah momen pergantian tahun yang mengajak kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan mempersiapkan diri menghadapi hari-hari di depan. Muharram mengingatkan kita pada pentingnya spiritualitas, ibadah, dan ketaatan pada ajaran agama. Sementara itu, 1 Suro mengingatkan kita pada akar budaya, pentingnya menjaga tradisi, dan kearifan lokal dalam menjalani hidup. Keduanya adalah kekayaan yang patut dipelajari dan dihormati dalam konteks masing-masing.

Bagaimana menurutmu? Apakah kamu punya pengalaman atau tradisi unik terkait Malam 1 Suro atau Muharram di daerahmu? Bagikan ceritamu di kolom komentar ya!

Posting Komentar