Salah Tempatkan 'Jika': Akibatnya Bisa Gawat!

Table of Contents

Salah Tempatkan 'Jika': Akibatnya Bisa Gawat!

Saat menulis berita atau artikel, kadang kita tanpa sadar terbawa gaya bahasa lisan. Padahal, gaya lisan ini kalau diterapkan mentah-mentah di tulisan bisa bikin kalimat jadi rancu. Struktur kalimatnya goyang, maknanya pun jadi nggak jelas. Dalam dunia jurnalistik atau tulisan formal lainnya, kesalahan begini sebisa mungkin harus kita hindari biar pembaca nggak bingung.

Salah satu kata yang sering jadi korban “salah tempat” ini adalah kata hubung jika. Kata ini sering banget muncul di tempat yang seharusnya nggak ada, bikin kalimatnya jadi aneh atau maknanya nggak pas. Padahal, di bahasa lisan, pemakaian begini mungkin dianggap biasa saja. Tapi, di tulisan, beda cerita!

Mari kita lihat beberapa contoh kalimat yang sering kita jumpai dan punya masalah dengan penggunaan kata jika ini. Contoh pertama yang dibahas dalam artikel asli adalah: “Direktur Sogo Indonesia Handaka Santoso mengatakan jika Sogo mengedarkan sekitar 500 merek, baik lokal maupun impor.” Coba baca kalimat ini baik-baik. Ada yang terasa janggal, kan?

Contoh kedua yang juga serupa: “Dari data tersebut diketahui jika NPI dan feronikel menjadi produk turunan yang paling dominan di Indonesia meskipun sudah ada juga beberapa perusahaan yang memproduksi hingga produk baja nirkarat.” Di sini juga, kata jika muncul setelah kata kerja yang menyatakan ‘mengetahui’. Lagi-lagi, terasa ada yang nggak pas di telinga atau mata saat membacanya dalam konteks tulisan.

Fungsi Sebenarnya Kata ‘Jika’

Sebenarnya, kata jika itu punya fungsi khusus dalam bahasa Indonesia. Menurut kaidah kebahasaan, jika adalah kata hubung syarat. Fungsinya adalah untuk menghubungkan dua klausa (anak kalimat dan induk kalimat) di mana klausa yang diawali jika menyatakan syarat yang harus dipenuhi agar kejadian di klausa lain (induk kalimat) bisa terjadi. Gampangnya, jika itu sama dengan ‘kalau’ atau ‘apabila’.

Contoh penggunaan jika yang benar misalnya: “Jika hari ini tidak hujan, kita bisa pergi bermain di taman.” Di sini, syarat untuk pergi bermain di taman adalah tidak hujan. Contoh lain: “Jika kamu belajar dengan giat, kamu pasti akan lulus ujian.” Syarat lulus ujian adalah belajar dengan giat. Maknanya jelas, kan? Ada syarat dan ada akibat.

Nah, kembali ke dua contoh kalimat yang salah tadi: “Direktur Sogo Indonesia Handaka Santoso mengatakan jika Sogo mengedarkan…” atau “Dari data tersebut diketahui jika NPI dan feronikel menjadi produk turunan…”. Apakah klausa setelah kata jika itu merupakan syarat dari klausa sebelumnya? Tentu tidak. Direktur Sogo mengatakan sesuatu. Data memberitahu sesuatu. Apa yang dikatakan atau diketahui itu bukanlah syarat, melainkan pernyataan atau fakta (dalam konteks informasi yang disampaikan).

Penggunaan jika di sana membuat kalimat terasa menggantung, nggak tuntas, karena seolah menunggu kelanjutan syaratnya. Padahal, nggak ada syarat yang dimaksud. Ini seperti membuat kalimat tanya tanpa tanda tanya, atau kalimat perintah tanpa subjek yang jelas. Rasanya ada elemen penting yang hilang atau tertukar.

Mengganti ‘Jika’ dengan ‘Bahwa’

Untuk memperbaiki kalimat-kalimat yang salah tempat tadi, kata jika perlu diganti. Pengganti yang tepat dalam konteks ini adalah kata hubung bahwa. Kenapa bahwa? Karena bahwa adalah kata hubung yang digunakan untuk memperkenalkan klausa yang berfungsi sebagai objek dari verba transitif (kata kerja yang butuh objek), seringkali verba yang menyatakan ‘mengatakan’, ‘mengetahui’, ‘melaporkan’, ‘menyatakan’, ‘menjelaskan’, dan sejenisnya. Klausa yang diawali bahwa ini biasanya berisi pernyataan atau fakta yang disampaikan.

Mari kita perbaiki dua contoh kalimat tadi dengan mengganti jika menjadi bahwa:

  1. Direktur Sogo Indonesia Handaka Santoso mengatakan bahwa Sogo mengedarkan sekitar 500 merek, baik lokal maupun impor.
  2. Dari data tersebut diketahui bahwa NPI dan feronikel menjadi produk turunan yang paling dominan di Indonesia meskipun sudah ada juga beberapa perusahaan yang memproduksi hingga produk baja nirkarat.

Lihat perbedaannya? Dengan menggunakan bahwa, kalimatnya jadi sempurna. Klausa “bahwa Sogo mengedarkan sekitar 500 merek, baik lokal maupun impor” adalah objek dari kata kerja “mengatakan”. Klausa “bahwa NPI dan feronikel menjadi produk turunan yang paling dominan di Indonesia…” adalah objek dari kata kerja “diketahui”. Maknanya jadi jelas: apa yang dikatakan atau apa yang diketahui. Tidak ada syarat di sana. Ini adalah penggunaan bahwa yang tepat untuk menyatakan isi atau subjek dari sebuah pernyataan atau informasi.

Kesalahan penggunaan jika untuk menggantikan bahwa ini sangat umum terjadi. Mungkin karena dalam bahasa lisan sering disingkat atau dipakai campur aduk. Tapi, dalam tulisan, apalagi tulisan yang butuh ketepatan seperti berita, beda sedikit saja pemilihan kata hubungnya bisa mengubah makna atau membuat kalimatnya jadi nggak gramatikal. Ini menunjukkan pentingnya kecermatan dalam memilih kata, sekecil apapun itu.

‘Jika’ yang Tertukar dengan ‘Setelah’

Selain tertukar dengan bahwa, kata jika juga sering menyalahi kodrat dengan menggantikan kata keterangan waktu, khususnya kata setelah. Ini pola kesalahan yang sedikit berbeda dari kasus bahwa, tapi sama-sama bikin kalimat jadi aneh atau nggak jelas maknanya.

Perhatikan dua contoh kalimat berikut:

  1. Jika pada Januari lalu harganya Rp 11.500 per liter, pada bulan Februari ini harga minyak goreng naik menjadi Rp 14.000 per liter.
  2. Jika sebelumnya berada di kisaran Rp 16.367 per dollar AS, pada pembukaan perdagangan hari ini rupiah melemah hingga 38 poin atau 0,23 persen menjadi Rp 16.405 per dollar AS.

Sekilas, kalimat ini mungkin terlihat baik-baik saja, apalagi kalau dibaca cepat. Strukturnya mirip kalimat majemuk bertingkat yang diawali anak kalimat di depan. Tapi, kalau kita cermati lagi maknanya, ada kejanggalan.

Ambil contoh kalimat pertama: “Jika pada Januari lalu harganya Rp 11.500 per liter, pada bulan Februari ini harga minyak goreng naik menjadi Rp 14.000 per liter.” Apakah naiknya harga minyak goreng di bulan Februari itu syarat dari harga di bulan Januari? Tentu tidak. Hubungan antara harga di Januari dan di Februari bukanlah hubungan sebab-akibat bersyarat. Hubungannya adalah urutan waktu. Harga di Februari adalah kondisi yang terjadi setelah harga di Januari.

Peran Adverbia Waktu

Di sinilah kata setelah seharusnya berperan. Kata setelah adalah adverbia atau kata keterangan yang menyatakan waktu atau urutan kejadian. Ia menghubungkan dua kejadian yang berurutan secara waktu. Kejadian yang satu terjadi setelah kejadian yang lain.

Jadi, fungsi kata jika dalam kalimat-kalimat contoh tadi sudah diselewengkan dari fungsi aslinya sebagai kata hubung syarat menjadi seolah-olah kata keterangan waktu. Padahal, dalam konteks ini, yang dibutuhkan adalah kata yang menyatakan urutan waktu.

Untuk “mengembalikan ke jalur yang benar”, kata jika pada contoh kalimat kedua ini harus diganti dengan setelah.

Berikut perbaikannya:

  1. Setelah pada Januari lalu harganya Rp 11.500 per liter, pada bulan Februari ini harga minyak goreng naik menjadi Rp 14.000 per liter.
  2. Setelah sebelumnya berada di kisaran Rp 16.367 per dollar AS, pada pembukaan perdagangan hari ini rupiah melemah hingga 38 poin atau 0,23 persen menjadi Rp 16.405 per dollar AS.

Baca kembali kalimat perbaikannya. Jauh lebih enak dibaca, kan? Maknanya juga jadi sangat jelas. Kalimat pertama menyatakan bahwa harga minyak goreng naik di Februari, dan ini terjadi setelah harga di Januari sekian. Kalimat kedua menyatakan rupiah melemah hari ini, dan ini terjadi setelah sebelumnya berada di kisaran sekian. Tidak ada kerancuan makna lagi.

Dalam sebuah kalimat majemuk bersyarat, kata hubung ”jika” dalam anak kalimat akan menandai syarat dari induk kalimatnya.

Uji Coba dengan Membalik Struktur Kalimat

Salah satu cara untuk meyakinkan diri apakah penggunaan kata hubungnya sudah tepat, terutama antara jika dan setelah dalam kasus waktu, adalah dengan mencoba membalik struktur kalimatnya. Kalimat majemuk bertingkat bisa diawali anak kalimat (kalimat inti + jika anak kalimat) atau diawali induk kalimat (induk kalimat + jika anak kalimat).

Ambil kalimat perbaikan pertama tadi: “Setelah pada Januari lalu harganya Rp 11.500 per liter, pada bulan Februari ini harga minyak goreng naik menjadi Rp 14.000 per liter.”

Jika dibalik, strukturnya menjadi: “Pada bulan Februari ini harga minyak goreng naik menjadi Rp 14.000 per liter setelah pada Januari lalu harganya Rp 11.500 per liter.”

Kalimat ini sangat jelas. Bagian “Pada bulan Februari ini harga minyak goreng naik menjadi Rp 14.000 per liter” adalah induk kalimat, sementara “setelah pada Januari lalu harganya Rp 11.500 per liter” adalah anak kalimat yang berfungsi sebagai keterangan waktu bagi induk kalimatnya. Makna urutan waktunya sangat kentara.

Sekarang, bandingkan dengan kalimat aslinya yang salah, kalau dibalik: “Pada bulan Februari ini harga minyak goreng naik menjadi Rp 14.000 per liter jika pada Januari lalu harganya Rp 11.500 per liter.”

Secara struktur, kalimat ini terlihat seperti kalimat majemuk bersyarat yang sah. Namun, maknanya jadi aneh. Apakah naiknya harga di Februari hanya akan terjadi kalau harganya di Januari segitu? Kan tidak. Naiknya harga di Februari itu adalah kejadian yang terjadi setelah harga di Januari segitu. Makna syarat di sini jadi nggak nyambung sama sekali dengan konteks waktu. Ini membuktikan bahwa penggunaan jika di sana memang keliru.

Langkah pembalikan struktur ini juga bisa diterapkan pada kalimat kedua yang menggunakan rupiah:

Kalimat perbaikan: “Setelah sebelumnya berada di kisaran Rp 16.367 per dollar AS, pada pembukaan perdagangan hari ini rupiah melemah hingga 38 poin atau 0,23 persen menjadi Rp 16.405 per dollar AS.”

Jika dibalik: “Pada pembukaan perdagangan hari ini rupiah melemah hingga 38 poin atau 0,23 persen menjadi Rp 16.405 per dollar AS setelah sebelumnya berada di kisaran Rp 16.367 per dollar AS.”

Jelas banget, kan? Pelemahan rupiah hari ini terjadi setelah sebelumnya harganya sekian. Ini menunjukkan urutan waktu, bukan syarat.

Mengapa Kesalahan Ini Terjadi?

Kesalahan penempatan kata hubung seperti jika yang menggantikan bahwa atau setelah ini umumnya terjadi karena beberapa hal:

  1. Pengaruh Bahasa Lisan: Seperti disebutkan di awal, dalam percakapan sehari-hari, kita cenderung lebih santai dan sering mempersingkat atau mencampuradukkan fungsi kata. Kata “jika” bisa saja dipakai secara longgar untuk menggantikan “bahwa” atau bahkan penanda awal klausa yang menunjukkan perubahan kondisi dari waktu ke waktu. Kebiasaan ini terbawa ke dalam tulisan tanpa disaring.
  2. Kurang Cermat dalam Memilih Kata: Mungkin penulis tahu perbedaan fungsi kata-kata tersebut, tetapi kurang teliti saat menulis atau mengedit. Proses berpikir saat menulis cepat, fokus pada gagasan, terkadang membuat pemilihan kata hubung jadi luput dari perhatian.
  3. Minimnya Pemahaman Struktur Kalimat: Memahami struktur kalimat majemuk (bertambah atau bertingkat) dan fungsi masing-masing klausa (induk kalimat, anak kalimat, fungsi kata hubung) adalah kunci menghindari kesalahan ini. Jika tidak paham bahwa klausa setelah “jika” itu harus berupa syarat, bukan pernyataan atau keterangan waktu, maka kesalahan penempatan akan mudah terjadi.
  4. Kurangnya Proses Penyuntingan: Dalam dunia jurnalistik, ada peran penting penyunting atau editor bahasa. Salah satu tugas mereka adalah memastikan kalimat yang ditulis sudah tepat secara struktur dan makna. Jika proses penyuntingan kurang ketat, kesalahan-kesalahan kecil seperti ini bisa lolos.

Dampak dari Salah Tempatkan Kata

Meskipun terlihat sepele, salah menempatkan kata hubung bisa punya dampak, apalagi dalam tulisan yang punya audiens luas seperti berita. Dampak tersebut antara lain:

  • Kerancuan Makna: Ini dampak yang paling utama. Pembaca bisa salah paham atau bingung dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan penulis. Kalimat yang maknanya ambigu bisa merusak kredibilitas tulisan.
  • Gaya Bahasa yang Buruk: Tulisan yang penuh dengan kalimat rancu atau tidak gramatikal terasa tidak profesional. Ini bisa mengurangi minat pembaca dan membuat tulisan jadi kurang efektif.
  • Kesulitan Memahami Gagasan Utama: Jika kalimat-kalimatnya saja sudah bermasalah, bagaimana pembaca bisa menangkap gagasan utama yang ingin disampaikan oleh keseluruhan artikel?

Bagaimana Cara Menghindarinya?

Untuk menghindari kesalahan ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

  1. Pahami Fungsi Kata Hubung: Luangkan waktu untuk mempelajari fungsi dasar kata hubung seperti jika, bahwa, setelah, karena, sehingga, dan lain-lain. Masing-masing punya peran spesifik dalam membangun hubungan antar-klausa.
  2. Baca Ulang dan Cermati: Setelah selesai menulis, jangan langsung puas. Baca kembali tulisan Anda dengan teliti. Berhenti sejenak di setiap kalimat yang menggunakan kata hubung. Tanyakan pada diri sendiri: “Apakah kata hubung ini sudah tepat di sini? Apakah klausa setelahnya memang berfungsi sesuai makna kata hubungnya?”
  3. Latihan Menulis Kalimat Variatif: Latih diri membuat kalimat majemuk dengan berbagai jenis kata hubung. Coba buat kalimat bersyarat pakai jika, kalimat pernyataan pakai bahwa, kalimat keterangan waktu pakai setelah, dan bandingkan strukturnya.
  4. Minta Masukan: Jika memungkinkan, minta teman atau rekan yang paham bahasa untuk membaca dan memberikan masukan pada tulisan Anda. Perspektif orang lain seringkali bisa menemukan kesalahan yang luput dari perhatian kita sendiri.
  5. Manfaatkan Sumber Rujukan: Jangan ragu membuka kamus atau buku tata bahasa Indonesia jika ragu dengan penggunaan suatu kata atau struktur kalimat.

Tabel Perbandingan Singkat

Untuk memudahkan, mari kita lihat perbandingan fungsi utama dari tiga kata yang sering tertukar ini dalam konteks artikel tadi:

Kata Hubung Fungsi Utama dalam Konteks Ini Contoh Penggunaan Tepat Contoh Penggunaan Keliru (dari artikel) Perbaikan (dari artikel)
Jika Menyatakan syarat Jika hujan, saya tidak pergi. Mengatakan jika Sogo mengedarkan… Mengatakan bahwa Sogo mengedarkan…
Bahwa Menyatakan isi/pernyataan (objek verba) Dia mengatakan bahwa dia setuju. Diketahui jika NPI dan feronikel… Diketahui bahwa NPI dan feronikel…
Setelah Menyatakan urutan waktu Setelah makan, saya tidur. Jika pada Januari harganya Rp 11.500… Setelah pada Januari harganya Rp 11.500…

Tabel ini menunjukkan dengan jelas bagaimana fungsi masing-masing kata dan mengapa salah menempatkannya bisa menimbulkan kerancuan.

Pentingnya Ketelitian dalam Tulisan

Di era digital seperti sekarang, informasi menyebar begitu cepat. Teks tertulis, baik di media cetak maupun daring, menjadi sumber utama informasi. Oleh karena itu, kecermatan dalam berbahasa tulisan sangat penting dijaga. Satu kata yang salah tempat bisa mengubah makna, menimbulkan kesalahpahaman, bahkan menurunkan tingkat kepercayaan pembaca terhadap sumber informasinya.

Kasus salah tempatnya kata jika ini hanyalah satu contoh kecil dari berbagai kerancuan berbahasa yang sering terjadi. Masih banyak kata lain atau struktur kalimat lain yang juga rentan terhadap kesalahan akibat pengaruh bahasa lisan atau kurangnya ketelitian.

Sebagai penulis, menjaga kualitas tulisan adalah tanggung jawab kita. Bahasa adalah alat utama kita. Menguasai alat ini dengan baik, termasuk memahami fungsi setiap kata dan struktur kalimat, akan membantu kita menyampaikan gagasan dengan lebih efektif, jelas, dan profesional. Jangan biarkan kebiasaan berbahasa lisan yang santai merusak kualitas tulisan formal atau jurnalistik kita. Kecermatan adalah kunci.

Apa pengalamanmu menemukan kalimat yang rancu karena salah menempatkan kata? Atau, kamu punya tips lain untuk menghindari kesalahan serupa saat menulis? Bagikan pengalamanmu di kolom komentar ya!

Posting Komentar