Sewa Kos atau Apartemen? DJP Update Aturan PPh buat Kamu!
Halo Sobat Pajak! Ada kabar terbaru nih dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mungkin banget relevan buat kamu yang statusnya Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP). Melalui peraturan terbarunya, PER-11/PJ/2025, DJP melakukan penyesuaian penting terkait siapa saja WPOP yang punya kewajiban memotong Pajak Penghasilan (PPh) saat melakukan pembayaran sewa.
Perubahan aturan ini cukup signifikan karena memperluas cakupan WPOP yang bisa menjadi pemotong pajak. Sebelumnya, mungkin kamu hanya mengenal kewajiban ini melekat pada badan usaha atau WPOP dengan profesi tertentu. Nah, sekarang DJP menetapkan kriteria yang lebih umum namun tetap spesifik pada kondisi tertentu dari WPOP itu sendiri. Tujuannya tentu untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan merata serta mengoptimalkan potensi penerimaan negara dari berbagai transaksi ekonomi.
Siapa Saja yang Kena Aturan Baru Ini?¶
Menurut Pasal 16 ayat (2) di PER-11/2025, Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang kini ditunjuk sebagai pemotong PPh meliputi dua kategori utama. Pertama adalah orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas, dan kedua adalah orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha. Ini adalah perluasan dibandingkan aturan lama yang lebih menyasar profesi spesifik.
Namun, perlu digarisbawahi ada syarat krusial agar kewajiban pemotongan ini berlaku. Kewajiban memotong PPh sewa hanya mengikat WPOP tersebut jika mereka telah menyelenggarakan pembukuan. Jadi, kalau kamu adalah WPOP yang melakukan pekerjaan bebas atau punya kegiatan usaha tapi masih menggunakan metode pencatatan dan menghitung penghasilan neto menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), maka kewajiban memotong PPh sewa ini belum berlaku bagimu.
Pembukuan di sini menjadi semacam indikator bahwa WPOP tersebut dianggap sudah memiliki sistem administrasi keuangan yang cukup mapan. Dengan sistem pembukuan yang rapi, diharapkan WPOP tersebut mampu melaksanakan kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak dengan tertib dan akurat. Ini membedakannya dengan WPOP skala kecil yang mungkin hanya melakukan pencatatan sederhana.
Pekerjaan Bebas dan Kegiatan Usaha Itu Apa Saja Sih?¶
Biar enggak bingung, yuk kita bedah sedikit apa yang dimaksud dengan pekerjaan bebas dan kegiatan usaha dalam konteks perpajakan. Pekerjaan bebas merujuk pada aktivitas profesional yang dilakukan oleh individu yang mengandalkan keahlian atau keterampilan khusus mereka, tanpa terikat hubungan kerja sebagai karyawan. Contohnya termasuk, tapi tidak terbatas pada, dokter, notaris, akuntan, pengacara, arsitek, konsultan (baik manajemen, IT, pajak, dll.), seniman, olahragawan profesional, penceramah, dan sejenisnya.
Sementara itu, kegiatan usaha mencakup segala bentuk aktivitas bisnis yang dilakukan oleh individu dalam rangka mendapatkan penghasilan. Ini bisa berupa usaha dagang (toko kelontong, warung, online shop skala besar), usaha jasa (bengkel, laundry, salon, biro perjalanan), usaha industri rumahan, pertanian, perikanan, atau sektor usaha lainnya. Intinya, ini adalah kegiatan komersial yang dijalankan secara mandiri oleh WPOP untuk mencari keuntungan.
Pembedaan antara keduanya terkadang tipis dan tergantung pada karakteristik aktivitasnya. Namun, intinya, aturan baru ini menyasar WPOP yang penghasilannya berasal dari salah satu atau kedua sumber ini dan sudah dalam skala yang mewajibkan mereka menyelenggarakan pembukuan. Skala tersebut biasanya ditentukan oleh batas peredaran bruto tahunan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
Kenapa Pembukuan Jadi Kunci Wajib Pajak Pemotong?¶
Dalam sistem perpajakan di Indonesia, WPOP memiliki dua pilihan metode dalam menghitung penghasilan netonya untuk tujuan perpajakan: pembukuan atau pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Pembukuan adalah proses akuntansi yang lebih komprehensif, mencatat seluruh transaksi keuangan, aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan, dan biaya, serta menghasilkan laporan keuangan seperti neraca dan laporan laba rugi. WPOP yang wajib pembukuan adalah mereka yang omzetnya di atas batas tertentu (saat ini Rp 4,8 miliar per tahun).
Di sisi lain, pencatatan adalah metode yang lebih sederhana, hanya mencatat peredaran bruto atau penghasilan bruto, yang kemudian dihitung penghasilan netonya dengan menggunakan persentase tertentu yang ditetapkan DJP (NPPN) berdasarkan jenis usahanya. Metode ini opsional bagi WPOP dengan omzet di bawah batas wajib pembukuan.
DJP menetapkan bahwa kewajiban memotong PPh sewa hanya berlaku bagi WPOP yang menyelenggarakan pembukuan. Alasannya logis; WPOP yang sudah melakukan pembukuan dianggap memiliki sistem administrasi dan pencatatan yang lebih mumpuni untuk menangani tugas tambahan sebagai pemotong pajak. Mereka sudah terbiasa mengelola data keuangan secara detail, yang diperlukan untuk menghitung, membuat bukti potong, menyetor, dan melaporkan PPh yang dipotong. Jadi, pembukuan menjadi filter untuk menentukan WPOP mana yang dianggap siap dan mampu menjalankan peran sebagai pemotong pajak.
PPh Apa Saja yang Wajib Dipotong?¶
Jika kamu masuk dalam kategori WPOP yang wajib memotong PPh berdasarkan PER-11/2025 (melakukan pekerjaan bebas/kegiatan usaha dan menyelenggarakan pembukuan), maka ada dua jenis Pajak Penghasilan yang terkait dengan pembayaran sewa yang harus kamu perhatikan.
Yang pertama adalah PPh Pasal 23 atas sewa harta lainnya. Harta lainnya di sini maksudnya adalah harta selain tanah dan/atau bangunan. Contohnya bisa berupa sewa kendaraan operasional untuk bisnismu, sewa peralatan atau mesin, sewa furniture kantor, sewa inventaris toko, atau sewa harta bergerak lainnya yang kamu gunakan untuk menunjang kegiatan usaha atau pekerjaan bebasmu. Tarif PPh Pasal 23 atas sewa harta ini adalah 2% dari jumlah bruto nilai sewa yang kamu bayarkan. PPh Pasal 23 ini bersifat tidak final, artinya bagi pihak yang menerima penghasilan sewa (pemberi sewa), jumlah pajak yang sudah dipotong ini bisa mereka perhitungkan sebagai kredit pajak saat menghitung PPh terutang di akhir tahun.
Jenis kedua, dan ini yang paling relevan dengan judul “Sewa Kos atau Apartemen”, adalah PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan. Pajak ini dikenakan khusus untuk penghasilan dari penyewaan properti berupa tanah dan/atau bangunan. Kalau kamu menyewa tempat untuk kantormu, studio, gudang, toko, ruko, bahkan kos atau apartemen yang digunakan untuk keperluan pekerjaan bebas atau kegiatan usahamu, maka pembayaran sewa tersebut termasuk objek PPh Final 4(2). Tarifnya adalah 10% dari jumlah bruto nilai sewa. Pajak ini bersifat final, artinya setelah dipotong atau disetor, kewajiban pajak atas penghasilan sewa tersebut dianggap lunas bagi penerima penghasilan.
Ringkasan Tarif PPh atas Sewa oleh WPOP (Wajib Pembukuan)¶
Berikut tabel sederhana untuk meringkas jenis PPh dan tarifnya terkait sewa yang wajib dipotong oleh WPOP yang menyelenggarakan pembukuan:
| Objek Sewa | Tarif PPh | Sifat Pajak | Keterangan Relevan |
|---|---|---|---|
| Tanah dan/atau Bangunan | 10% | Final | Contoh: Kos/Apartemen/Ruko/Kantor (jika untuk usaha/profesi) |
| Harta Lain (selain tanah/bang.) | 2% | Tidak Final | Contoh: Kendaraan, peralatan, mesin, inventaris |
Sumber: Diolah dari PER-11/PJ/2025
Penting untuk diingat, kewajiban memotong ini timbul saat kamu sebagai penyewa melakukan pembayaran atau terutang pembayaran sewa kepada pemberi sewa.
Cakupan Aturan Baru Lebih Luas Dibanding Aturan Lama¶
PER-11/2025 ini tidak muncul begitu saja; ia hadir untuk menggantikan dan menyempurnakan aturan sebelumnya. Aturan lama yang dicabut adalah KEP-50/PJ/1994 dan KEP-50/PJ/1996. Perbedaan mendasar terletak pada siapa WPOP yang ditunjuk sebagai pemotong PPh atas sewa.
Di aturan lama, daftar WPOP yang ditunjuk sebagai pemotong PPh atas sewa sangat spesifik. Mereka adalah WPOP yang berprofesi sebagai akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT - kecuali yang berprofesi camat), pengacara, dan konsultan, ditambah WPOP lainnya yang menjalankan usaha dan menyelenggarakan pembukuan. Daftar profesi ini sifatnya eksklusif.
Nah, di aturan baru PER-11/2025, daftar profesi spesifik itu dihilangkan. Kriteria WPOP yang ditunjuk sebagai pemotong PPh disederhanakan dan diperluas menjadi semua WPOP yang melakukan pekerjaan bebas atau menjalankan kegiatan usaha, dengan syarat mereka menyelenggarakan pembukuan.
Ini berarti, misalnya, seorang developer aplikasi freelance yang omzetnya sudah di atas Rp 4,8 Miliar per tahun dan wajib pembukuan, kini memiliki kewajiban memotong PPh sewa jika menyewa ruangan kerja atau peralatan. Atau pemilik start-up digital berbentuk WPOP yang sudah melakukan pembukuan, juga kini wajib memotong PPh atas sewa kantor atau fasilitas yang mereka gunakan. Cakupannya menjadi lebih luas dan inklusif terhadap berbagai jenis pekerjaan bebas dan kegiatan usaha yang berkembang di era modern, asalkan kriteria pembukuannya terpenuhi.
Gimana Cara Melaksanakannya? Wajib Buat Bukti Potong Unifikasi!¶
Jika kamu termasuk WPOP yang terkena aturan baru ini dan melakukan pembayaran sewa yang menjadi objek PPh 23 atau PPh Final 4(2) terkait bisnis/profesimu, ada langkah-langkah administratif yang harus kamu jalankan. Langkah paling penting adalah membuat Bukti Potong Unifikasi.
Bukti Potong Unifikasi adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh DJP yang berfungsi sebagai bukti bahwa kamu (sebagai penyewa dan pemotong pajak) telah memotong sejumlah PPh dari pembayaran sewa yang kamu berikan kepada pemberi sewa. Bukti potong ini sangat penting bagi pemberi sewa karena menjadi bukti pembayaran pajak mereka, yang bisa digunakan sebagai kredit pajak (untuk PPh 23) atau bukti pelunasan (untuk PPh Final 4(2)).
Proses pembuatan Bukti Potong Unifikasi ini saat ini dilakukan secara elektronik melalui aplikasi e-bupot unifikasi yang disediakan oleh DJP. Setelah memotong PPh dari jumlah sewa yang seharusnya dibayarkan kepada pemberi sewa, kamu harus segera membuat Bukti Potong Unifikasi melalui aplikasi tersebut. Bukti potong ini nantinya wajib kamu serahkan kepada pihak pemberi sewa.
Selain membuat bukti potong, kamu juga punya kewajiban lain. Pertama, menyetorkan jumlah PPh yang sudah kamu potong tersebut ke kas negara. Penyetoran dilakukan menggunakan kode billing yang bisa kamu buat melalui berbagai kanal pembayaran pajak. Penyetoran ini harus dilakukan tepat waktu, biasanya paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir (saat pembayaran sewa dilakukan). Kedua, melaporkan PPh yang sudah kamu potong dan setorkan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Unifikasi. Pelaporan ini juga ada batas waktunya, umumnya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Kepatuhan dalam pembuatan bukti potong, penyetoran, dan pelaporan ini sangat penting untuk menghindari sanksi.
Contoh Kasus dalam Kehidupan Sehari-hari¶
Mari kita lihat beberapa contoh konkret agar aturan ini lebih mudah dipahami.
Skenario 1: Freelancer Menemukan Studio
* Anggap saja kamu adalah seorang graphic designer freelance yang sudah cukup sukses dan omzetmu setahun sudah di atas Rp 4,8 miliar, sehingga kamu wajib menyelenggarakan pembukuan.
* Kamu memutuskan menyewa sebuah studio kecil di pusat kota untuk dijadikan tempat kerjamu, bukan di rumah. Sewa studio ini adalah sewa tanah dan/atau bangunan.
* Sesuai aturan baru (PER-11/2025), karena kamu WPOP yang menyelenggarakan pembukuan dan menyewa properti untuk keperluan pekerjaan bebasmu, kamu wajib memotong PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 10% dari jumlah bruto sewa yang kamu bayarkan kepada pemilik studio.
* Selain memotong, kamu juga wajib membuat Bukti Potong Unifikasi, menyetorkan jumlah potongan PPh tersebut ke kas negara, dan melaporkannya dalam SPT Masa Unifikasi.
Skenario 2: Pengusaha Online Menyewa Gudang
* Misalkan kamu punya usaha online shop produk fashion yang sudah berkembang pesat, omzetmu sudah di atas Rp 4,8 miliar setahun, dan kamu menjalankan pembukuan perusahaanmu (meskipun berbentuk WPOP).
* Untuk menyimpan stok barang, kamu menyewa sebuah gudang di pinggiran kota. Gudang ini termasuk objek sewa tanah dan/atau bangunan.
* Sebagai WPOP yang menyelenggarakan pembukuan dan menyewa properti untuk kegiatan usahamu, kamu wajib memotong PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 10% dari biaya sewa gudang tersebut.
* Lagi-lagi, proses membuat bukti potong, menyetor pajak yang dipotong, dan melaporkannya melalui SPT Masa Unifikasi wajib kamu lakukan.
Skenario 3: Konsultan Sewa Apartemen untuk Bisnis?
* Kamu adalah konsultan manajemen yang sering bepergian ke luar kota untuk proyek. Kamu sudah punya nama dan omzetmu sudah mengharuskanmu pembukuan.
* Untuk proyek jangka panjang di kota X, kamu memutuskan menyewa sebuah apartemen selama beberapa bulan dan biaya sewanya ditanggung perusahaan klienmu, tapi kamu yang membayar sewa langsung ke pemilik apartemen kemudian reimburse ke klien. Atau, biaya sewa ini memang menjadi beban operasional bisnismu saat penugasan di luar kota.
* Karena apartemen adalah tanah dan/atau bangunan, dan sewa ini terkait langsung dengan pekerjaan bebasmu (konsultasi proyek) serta kamu wajib pembukuan, kamu berpotensi memiliki kewajiban memotong PPh Final 4(2) sebesar 10% atas sewa apartemen tersebut.
* Namun, perlu dicermati lagi detailnya. Apakah sewa ini murni untuk tempat tinggal sementara saat dinas atau bisa dianggap sebagai biaya operasional yang terkait langsung dengan lokasi proyek? Konsultasi dengan ahli pajak bisa membantu memperjelas posisi ini.
Skenario 4: Sewa Kos/Apartemen untuk Tinggal Pribadi
* Kamu adalah seorang karyawan yang juga punya pekerjaan sampingan freelance desain grafis dengan omzet lumayan, tapi belum sampai batas wajib pembukuan (masih menggunakan NPPN). Kamu menyewa apartemen untuk tempat tinggalmu sehari-hari.
* Dalam kasus ini, meskipun kamu punya penghasilan dari pekerjaan bebas, karena kamu tidak menyelenggarakan pembukuan, kewajiban memotong PPh atas sewa apartemen tempat tinggalmu itu tidak berlaku. Kewajiban ini hanya muncul jika WPOP tersebut wajib pembukuan.
Intinya, kewajiban memotong PPh sewa ini melekat pada WPOP yang menyewa jika dan hanya jika WPOP tersebut menyelenggarakan pembukuan dan sewa tersebut terkait dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebasnya. Sewa untuk keperluan pribadi murni tidak masuk dalam cakupan ini, bahkan jika kamu adalah WPOP yang wajib pembukuan.
Apa Artinya Ini Buat Kamu?¶
Bagi WPOP yang sudah terbiasa menyelenggarakan pembukuan, aturan baru ini menambah satu lagi jenis kewajiban administrasi perpajakan yang harus dikelola. Kamu tidak hanya menghitung, menyetor, dan melaporkan PPh atas penghasilanmu sendiri (PPh Pasal 25/29), tetapi juga berperan sebagai ‘perpanjangan tangan’ DJP untuk memotong dan menyetorkan PPh atas pembayaran sewa yang kamu lakukan terkait bisnismu.
Ini menuntut ketelitian lebih dalam pencatatan setiap pengeluaran sewa. Kamu harus bisa membedakan mana sewa yang objek PPh 23 dan mana yang PPh Final 4(2), menghitung jumlah PPh yang tepat, membuat bukti potong secara elektronik, dan memastikan penyetoran serta pelaporannya dilakukan sesuai jadwal yang ditentukan DJP. Jika ada kelalaian, sanksi administrasi berupa denda atau bunga bisa menanti lho.
Bagi pemberi sewa, aturan ini seharusnya tidak mengubah kewajiban perpajakan mereka secara fundamental, namun mengubah cara PPh mereka dipungut. Jika sebelumnya mereka mungkin menyetor sendiri PPh Final 4(2) atas penghasilan sewanya, kini (jika penyewanya adalah WPOP yang wajib memotong sesuai kriteria PER-11/2025 atau badan), PPh tersebut akan dipotong di muka oleh penyewa. Mereka hanya perlu memastikan menerima Bukti Potong Unifikasi sebagai bukti pelunasan pajak.
Mengapa DJP Melakukan Perubahan Ini?¶
Perubahan aturan ini merupakan bagian dari upaya DJP untuk terus menyempurnakan sistem perpajakan dan menyesuaikannya dengan dinamika ekonomi. Dengan memperluas cakupan WPOP yang bisa menjadi pemotong pajak, DJP berusaha mengoptimalkan pengumpulan PPh dari sektor sewa, terutama dari transaksi yang melibatkan pihak-pihak yang secara administratif dianggap sudah mapan (karena menyelenggarakan pembukuan).
Selain itu, penyederhanaan kriteria dari daftar profesi spesifik menjadi kategori yang lebih umum (pekerjaan bebas/kegiatan usaha) mencerminkan pengakuan DJP terhadap ragam profesi dan model bisnis baru yang terus bermunculan. Aturan baru ini berusaha mencakup mereka semua, sepanjang mereka telah mencapai skala ekonomi tertentu yang diindikasikan dengan kewajiban pembukuan. Langkah ini juga mendukung prinsip keadilan, di mana WPOP dengan skala usaha yang setara dengan badan usaha dalam hal kompleksitas administrasi, juga diharapkan mampu menjalankan peran pemotongan pajak.
Perubahan ini mungkin butuh sedikit adaptasi dalam proses administrasi keuangan dan perpajakanmu. Pastikan kamu memahami kewajiban barumu jika kamu termasuk dalam kriteria WPOP yang menyelenggarakan pembukuan dan melakukan transaksi sewa terkait pekerjaan bebas atau kegiatan usahamu. Jangan ragu untuk mencari informasi lebih lanjut atau berkonsultasi dengan ahli pajak jika ada hal yang kurang jelas.
Punya pengalaman atau pertanyaan seputar aturan baru ini? Yuk, kita diskusikan di kolom komentar di bawah ini! Berbagi informasi dan pandangan bisa sangat membantu sesama Sobat Pajak lho.
Posting Komentar