Soeharto: Kisah Anak Desa Jadi Presiden 32 Tahun (Lahir 1921)
Tanggal 8 Juni selalu jadi tanggal penting dalam kalender sejarah Indonesia. Hari itu menandai kelahiran Soeharto, sosok yang kemudian menjadi salah satu tokoh paling sentral dan paling lama memimpin negeri ini. Presiden kedua Republik Indonesia ini lahir jauh dari keramaian kota, tepatnya di sebuah desa bernama Kemusuk, Yogyakarta. Kelahiran pada tanggal 8 Juni 1921 itu menjadi awal dari perjalanan panjang yang membawanya dari kehidupan sederhana di desa hingga puncak kekuasaan selama lebih dari tiga dekade.
Perjalanan hidup Soeharto adalah cerminan dari era yang penuh gejolak dan perubahan di Indonesia. Dari masa kecil yang diwarnai perpisahan orang tua, meniti karier militer di tengah perjuangan kemerdekaan, hingga memimpin Indonesia dalam periode yang dikenal sebagai Orde Baru. Sosoknya tak bisa dilepaskan dari lembaran sejarah modern Indonesia. Artikel ini akan mengupas sedikit kisah hidup beliau, dari Kemusuk hingga Istana Negara.
Masa Kecil yang Penuh Dinamika di Desa¶
Kehidupan awal Soeharto bisa dibilang tidak mudah dan berpindah-pindah. Ia lahir dari pasangan Kertosudiro, yang berprofesi sebagai petani dan juga pembantu lurah, dan Sukirah. Sayangnya, kebersamaan orang tuanya tidak berlangsung lama. Mereka bercerai saat Soeharto masih sangat kecil, bahkan usianya belum genap setahun.
Setelah perceraian orang tuanya, Soeharto kecil sempat diasuh oleh neneknya. Ia juga pernah tinggal bersama Mbah Kromodiryo, seorang dukun bayi yang punya peran penting di desanya. Beberapa tahun kemudian, ibunya, Sukirah, menikah lagi dengan Purnama (atau Atmopawiro). Soeharto pun kembali tinggal bersama ibunya dan ayah tirinya.
Dari pernikahan kedua sang ibu, Soeharto memiliki beberapa saudara tiri, salah satunya yang cukup dikenal adalah Probosutedjo. Pengalaman berpindah-pindah dan tinggal di berbagai lingkungan keluarga di masa kecilnya ini konon membentuk karakternya. Rumah di Desa Kemusuk tempat ia dilahirkan kini telah dijadikan Museum Soeharto, menjadi saksi bisu awal kehidupannya. Bahkan kamar tempat ia dilahirkan, yang disebut sentong, masih dipertahankan fondasinya sebagai bagian dari upaya melestarikan jejak sejarah ini.
Jejak Pendidikan Awal Sang Jenderal¶
Meski hidup di desa dan mengalami perpisahan orang tua, Soeharto tetap mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan. Ia memulai pendidikan dasarnya di berbagai tempat, mencerminkan lagi kehidupan yang berpindah-pindah di masa kecilnya. Antara tahun 1929 hingga 1934, ia bersekolah di Tiwir, kemudian Wuryantoro, dan juga di Solo.
Setelah lulus dari pendidikan dasar, Soeharto melanjutkan ke jenjang yang setara SMP. Ia belajar di Wonogiri, lalu pindah ke Yogyakarta. Selain sekolah umum, ia juga sempat mengenyam pendidikan agama. Latar belakang pendidikan yang memadukan ilmu umum dan agama ini memberikan bekal baginya di masa depan.
Pendidikan di berbagai kota ini memberinya pandangan yang lebih luas dibanding hanya tinggal di satu tempat. Pengalaman beradaptasi dengan lingkungan baru sejak kecil menjadi pelajaran berharga. Disiplin dan nilai-nilai yang ditanamkan dalam pendidikan awal ini, baik di sekolah umum maupun agama, membentuk dasar karakternya sebelum memasuki dunia yang sama sekali berbeda: militer.
Meniti Karier di Dunia Militer¶
Panggilan untuk mengabdi lewat jalur militer datang pada tahun 1940. Saat itu, Hindia Belanda masih di bawah kekuasaan Belanda, dan Soeharto memutuskan untuk bergabung dengan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger), tentara Kerajaan Hindia Belanda. Ia mengikuti pelatihan militer dasar di Gombong, Jawa Tengah. Ini adalah langkah awal yang sangat menentukan jalan hidupnya.
Pelatihan di KNIL memberinya dasar-dasar kemiliteran yang kuat: disiplin, strategi, dan kepemimpinan. Namun, sejarah berputar cepat. Dua tahun setelah bergabung dengan KNIL, Jepang menduduki Indonesia. Soeharto sempat mengikuti pendidikan kader yang diselenggarakan Jepang dan bahkan sempat bergabung dengan Kepolisian Jepang (Keibuho) selama masa pendudukan. Pengalaman di masa Jepang ini memberinya pemahaman tentang organisasi dan taktik yang berbeda.
Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berkumandang pada 17 Agustus 1945, Soeharto yang saat itu berada di Yogyakarta, langsung menyatakan kesetiaannya kepada Republik Indonesia. Ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kariernya di TNI terbilang gemilang. Ia dengan cepat menanjak, memegang berbagai posisi penting seperti Komandan Resimen dan Komandan Batalyon.
Salah satu penugasan militer paling signifikan dalam karier awalnya adalah sebagai Panglima Mandala dalam operasi pembebasan Irian Barat (sekarang Papua) pada tahun 1962, yang dikenal sebagai Operasi Trikora. Keberhasilannya dalam operasi ini semakin mengukuhkan posisinya sebagai jenderal yang cakap dan strategis. Reputasinya terus meningkat di kalangan militer.
Jalan Berliku Menuju Kursi Presiden¶
Puncak karier militer Soeharto membawanya ke panggung politik nasional pada pertengahan 1960-an. Indonesia saat itu berada dalam situasi politik yang sangat tegang di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, dengan persaingan kuat antara berbagai kekuatan politik, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan Darat. Peristiwa tragis Gerakan 30 September 1965 (G30S) menjadi titik balik krusial.
Sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Soeharto mengambil peran penting dalam menumpas gerakan tersebut dan mengamankan situasi. Otoritas dan pengaruhnya meningkat drastis setelah peristiwa ini. Suasana politik yang kacau dan desakan dari berbagai pihak membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar). Supersemar ini secara efektif melimpahkan wewenang kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna memulihkan keamanan dan ketertiban.
Dengan wewenang Supersemar, Soeharto membubarkan PKI dan organisasi massanya, serta melakukan penangkapan terhadap sejumlah menteri dan pejabat yang dianggap terlibat dalam G30S atau berafiliasi dengan PKI. Langkah-langkah ini semakin memperkuat kedudukannya. Pada Maret 1967, MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) mencabut mandat Soekarno sebagai presiden dan menunjuk Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Setahun kemudian, pada Maret 1968, MPRS secara resmi mengangkat Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua.
Sejak saat itu, dimulailah era kepemimpinan Soeharto yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru. Era ini ditandai dengan fokus pada stabilitas politik, keamanan, dan pembangunan ekonomi. Soeharto yang berasal dari keluarga petani sederhana di desa, kini memegang kendali penuh atas negara kepulauan terbesar di dunia.
Memimpin Selama 32 Tahun: Era Orde Baru¶
Era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto berlangsung sangat lama, yaitu 32 tahun. Periode ini merupakan salah satu yang paling stabil secara politik dalam sejarah Indonesia modern, meskipun diwarnai dengan kontrol ketat terhadap kebebasan sipil dan politik. Pemerintahan Orde Baru memiliki misi utama: mewujudkan stabilitas dan melaksanakan pembangunan nasional.
Salah satu program unggulan Orde Baru adalah Pembangunan Lima Tahun (Pelita), yang dimulai pada tahun 1969. Setiap Pelita memiliki fokus pembangunan tertentu, mulai dari sektor pertanian, industri, hingga infrastruktur. Berbagai pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, sekolah, dan puskesmas dibangun di seluruh penjuru negeri. Ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan pada periode ini, terutama berkat ekspor migas dan masuknya investasi asing.
Pemerintahan Soeharto juga menerapkan program-program sosial berskala besar, seperti Keluarga Berencana untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dan program Transmigrasi untuk pemerataan penduduk dari pulau padat ke pulau yang jarang penduduknya. Stabilitas politik dijaga melalui konsep Dwi Fungsi ABRI, yang memberikan peran sosial-politik kepada militer selain fungsi pertahanan.
Namun, kepemimpinan yang sangat lama ini juga menuai banyak kritik. Kontrol ketat terhadap media dan organisasi masyarakat sipil membatasi kebebasan berekspresi. Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi sorotan, terutama pada dekade-dekade akhir kekuasaannya. Meskipun pertumbuhan ekonomi dicapai, jurang kesenjangan sosial dan ekonomi masih menjadi masalah.
Berikut gambaran umum program pembangunan di era Orde Baru:
| Program Utama | Tujuan Utama | Contoh Implementasi |
|---|---|---|
| Pelita (I-VI) | Pembangunan ekonomi terencana | Pembangunan infrastruktur, industrialisasi, pertanian |
| Keluarga Berencana | Mengendalikan pertumbuhan penduduk | Penyuluhan KB, penyediaan alat kontrasepsi |
| Transmigrasi | Pemerataan penduduk | Pemindahan penduduk dari Jawa/Bali ke luar Jawa |
| Pendidikan Dasar | Peningkatan akses pendidikan | Pembangunan SD Inpres di seluruh desa |
| Puskesmas | Peningkatan layanan kesehatan masyarakat | Pembangunan pusat kesehatan di tingkat kecamatan |
Selama memimpin, Soeharto dikenal sebagai sosok yang pendiam dan hati-hati dalam bertindak. Ia sangat mengutamakan stabilitas dan keamanan di atas segalanya. Gaya kepemimpinannya yang sentralistik dan kuat membuatnya dijuluki “Bapak Pembangunan” oleh para pendukungnya.
Berikut adalah cuplikan video singkat yang menggambarkan era kepemimpinan Soeharto dan pembangunan di Indonesia:
(Catatan: Silakan ganti VIDEO_ID_YANG_RELEVAN dengan ID video YouTube yang relevan tentang Sejarah Orde Baru atau Biografi Soeharto untuk menampilkan video)
Akhir Kekuasaan dan Warisan Sejarah¶
Masa kepresidenan Soeharto berakhir pada tahun 1998. Krisis moneter Asia yang melanda Indonesia sejak akhir 1997 memicu krisis ekonomi, sosial, dan politik yang parah. Harga-harga kebutuhan pokok melambung, banyak perusahaan bangkrut, dan angka pengangguran meningkat drastis. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi ekonomi dan tuntutan reformasi politik semakin menguat.
Gelombang demonstrasi besar-besaran yang dimotori mahasiswa terjadi di berbagai kota. Puncaknya adalah pendudukan Gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa dan kerusuhan yang pecah di Jakarta pada Mei 1998. Di bawah tekanan yang luar biasa dari dalam dan luar negeri, Soeharto akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Peristiwa ini menandai berakhirnya Orde Baru dan dimulainya era Reformasi.
Setelah mundur dari jabatannya, Soeharto lebih banyak menghabiskan waktu di kediamannya dan jarang tampil di publik karena kondisi kesehatannya yang semakin menurun. Ia wafat pada tanggal 27 Januari 2008 pada usia 86 tahun dan dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah, kompleks pemakaman keluarga.
Warisan Soeharto bagi Indonesia sangat kompleks dan menjadi perdebatan hingga kini. Di satu sisi, pendukungnya menunjuk pada stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur yang dicapai selama pemerintahannya. Program-program pembangunan Orde Baru berhasil meningkatkan taraf hidup sebagian besar rakyat Indonesia dan menjadikan negara ini berswasembada beras pada era 1980-an.
Di sisi lain, kritikus menyoroti sisi gelap Orde Baru, seperti praktik otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan masalah korupsi yang meluas. Kontrol politik yang kuat membungkam oposisi dan membatasi kebebasan sipil. Era Soeharto adalah babak penting dalam sejarah Indonesia yang meninggalkan jejak mendalam, baik positif maupun negatif, yang masih terus dipelajari dan direfleksikan oleh generasi penerus. Kisah anak desa Kemusuk yang menjadi jenderal dan presiden selama 32 tahun ini tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi bangsa Indonesia.
Bagaimana pendapat Anda tentang sosok Soeharto dan era kepemimpinannya? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar!
Posting Komentar