Lulusan S1 SUSAH Cari Kerja? Banyak yang Pilih Jadi Pasukan Oranye!
Lowongan kerja makin hari makin terbatas, rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Di sisi lain, kebutuhan hidup terus meroket, nggak bisa ditunda barang sedetik pun. Akhirnya, para sarjana pun nggak punya pilihan lain selain ikut berebut tempat sebagai Petugas Penanganan Prasarana Sarana Umum, atau yang lebih akrab disapa Pasukan Oranye di Jakarta. Fenomena ini menunjukkan betapa ketatnya persaingan di dunia kerja kita sekarang.
Apa yang terjadi di lapangan ini, bagi mereka, bukan lagi tentang gengsi atau status sosial. Ini murni soal bagaimana perut bisa terisi setiap hari dan keluarga bisa tetap bertahan. Peribahasa lama, “tak ada rotan, akar pun jadi,” sepertinya sangat pas menggambarkan situasi sulit yang sedang mereka hadapi. Mereka mengambil kesempatan apa pun yang ada di depan mata demi bisa survive.
Seperti Nuraini (31), ibu dua anak yang sudah berdiri di halaman Kantor Kelurahan Jati Pulo, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat. Pagi itu, Rabu (9/7/2025), ia sudah siap sedia sebelum pukul 08.00 WIB. Penampilannya rapi, kemeja putih, celana bahan hitam, dan sepatu, siap untuk menghadapi proses seleksi.
Dia bergabung dengan 69 warga lain yang juga punya harapan yang sama. Total ada 141 pelamar yang datang hari itu, semuanya mengincar posisi sebagai petugas PPSU. Sayangnya, di kelurahan ini hanya tersedia empat lowongan saja. Bayangkan betapa ketatnya persaingan untuk mendapatkan satu tempat.
Nuraini sendiri bukanlah tamatan SMA biasa, lho. Ia adalah sarjana pendidikan agama lulusan tahun 2017. Kedatangannya ke sini bukan sekadar iseng atau mencoba peruntungan tanpa tujuan jelas. Ia datang dengan misi penting: membantu ekonomi keluarga di tengah kondisi yang semakin mencekik.
“Ngelamar PPSU ini buat nambah penghasilan mas/mbak,” katanya dengan jujur setelah selesai wawancara. “Soalnya kan sekarang biaya hidup udah mahal banget.” Pernyataan Nuraini ini mewakili jeritan hati banyak kepala keluarga atau individu yang merasakan beratnya beban ekonomi saat ini. Mencari tambahan rezeki sudah menjadi sebuah keharusan, bukan lagi pilihan.
Saat wawancara, Nuraini ditanya macam-macam, mulai dari pemahaman tugas PPSU, tanggung jawab kalau nanti diterima di lapangan, sampai cara menghadapi berbagai macam dinamika dan keluhan dari warga sekitar. Ia sangat berharap bisa lolos seleksi kali ini. Dengan begitu, ia tidak hanya bergantung pada gaji suami yang besarnya setara Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta, yaitu Rp 5,39 juta per bulan, yang dirasa pas-pasan untuk hidup di ibu kota.
Selama ini, Nuraini memang fokus mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Sesekali, ia juga aktif mengajar bimbingan belajar gratis untuk anak-anak yatim piatu di lingkungan tempat tinggalnya. Kegiatan sosial ini dilakukannya tanpa mengharapkan imbalan materi.
Namun, seiring waktu, pengeluaran keluarga terus membengkak. Anak sulungnya sebentar lagi akan masuk Sekolah Dasar (SD), yang pastinya memerlukan biaya pendidikan tidak sedikit. Selain itu, ada juga beban sewa rumah kontrakan sebesar Rp 1,3 juta per bulan yang rutin harus dilunasi.
Dia benar-benar merasa khawatir jika harus menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta. Biaya yang dikeluarkan pasti akan jauh lebih besar dibandingkan sekolah negeri. Kebutuhan-kebutuhan inilah yang mendorongnya untuk mencari peluang kerja, bahkan di bidang yang mungkin tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Begitu pengumuman lowongan PPSU Kelurahan Jati Pulo dibuka pada 23 Juni 2025, Nuraini langsung bergerak cepat mendaftar. Ia tahu betul, kesempatan seperti ini tidak datang setiap saat. Saingannya pun datang dari berbagai latar belakang pendidikan, mulai dari lulusan SD, SMP, hingga SMA/SMK dan sederajat. Lulusan perguruan tinggi seperti dirinya juga ternyata cukup banyak.
Proses seleksi untuk menjadi Pasukan Oranye ini ternyata tidak main-main dan terbilang cukup ketat. Dimulai dari seleksi administrasi yang memeriksa kelengkapan berkas para pelamar, kemudian dilanjutkan dengan tahapan praktik teknis di lapangan. Dalam praktik ini, mereka diminta menunjukkan kemampuan dasar seperti menyapu jalan dan membersihkan saluran air. Terakhir, ada tahapan wawancara yang mendalam untuk melihat kesiapan mental dan pemahaman tugas.
Perebutan Posisi Idaman¶
Fenomena sarjana berebut posisi PPSU ternyata tidak hanya terjadi di satu kelurahan tempat Nuraini melamar saja. Ini adalah gambaran umum yang terjadi di berbagai wilayah di Jakarta. Pada April 2025 lalu, kejadian yang lebih masif sempat menarik perhatian publik. Ribuan warga rela mengantre panjang di Balai Kota Jakarta hanya demi bisa memasukkan berkas lamaran sebagai petugas PPSU.
Mereka sudah datang sejak pagi buta, bahkan sebelum jam operasional kantor dimulai. Ironisnya, sebagian besar dari mereka adalah lulusan perguruan tinggi atau sarjana, padahal saat itu lowongan pekerjaan untuk PPSU secara resmi belum dibuka. Mereka ternyata hanya termakan informasi yang tidak akurat atau pesan berantai yang beredar cepat di grup-grup percakapan Whatsapp. Informasi palsu ini menciptakan harapan semu dan memicu kerumunan massal.
Meskipun demikian, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta tetap berusaha melayani warga yang sudah terlanjur datang dengan membawa berkas lamaran mereka. Ini menunjukkan respons pemerintah terhadap tingginya animo masyarakat terhadap lowongan ini, bahkan ketika informasinya belum resmi. Lowongan kerja sebagai petugas PPSU, yang secara persyaratan pendidikan hanya membutuhkan lulusan SD, memang menjadi salah satu program prioritas yang dicanangkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta saat itu, Pramono Anung dan Rano Karno. Program ini bertujuan untuk memberikan lapangan kerja bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan memastikan kebersihan serta pemeliharaan fasilitas umum di tingkat kelurahan.
Total lowongan yang tersedia di seluruh Jakarta saat itu mencapai 1.023 orang, tersebar di 239 kelurahan. Kebutuhan ini muncul untuk mengisi posisi-posisi kosong karena berbagai alasan, seperti petugas yang mencapai batas usia pensiun, ada yang mengundurkan diri, atau kebutuhan penambahan personel di wilayah tertentu. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun ribuan orang melamar, jumlah posisi yang tersedia tetaplah terbatas, menjadikan persaingan semakin sengit.
Warga yang sudah telanjur memasukkan lamaran di Balai Kota Jakarta tetap diproses datanya. Petugas kelurahan sesuai domisili mereka kemudian akan menghubungi para pelamar untuk melakukan pembaruan berkas dan mengikuti prosedur seleksi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini adalah upaya pemerintah untuk tetap mengakomodasi pelamar yang sudah terlanjur datang karena misinformasi.
Contoh lain yang menggambarkan ketatnya persaingan ini terlihat di Kelurahan Serdang, Jakarta Pusat. Dari total 127 pelamar yang mendaftar sebagai petugas PPSU, ada tujuh orang di antaranya yang berlatar belakang pendidikan sarjana. Mereka semua memperebutkan hanya satu posisi PPSU yang tersedia di kelurahan tersebut. Ini menunjukkan rasio pelamar sarjana vs lowongan yang sangat jomplang.
Dua di antara pelamar sarjana tersebut adalah Nabila (27) dan Febrina Nuranisa (32). Keduanya merupakan lulusan jurusan akuntansi. Memilih melamar sebagai PPSU jelas bukan cita-cita mereka saat kuliah, namun kenyataan di lapangan membuat mereka mengambil keputusan ini. Mereka mengaku kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka.
“Selagi ada peluang di depan mata, ambil saja dulu,” ujar Nabila pasrah namun penuh tekad. Pernyataan ini menggambarkan mentalitas adaptif yang harus dimiliki banyak pencari kerja saat ini. Tidak bisa lagi terpaku pada bidang studi, yang penting ada pekerjaan dan penghasilan yang stabil.
Hal serupa juga diamini oleh Febrina. Dia merasa tidak ada masalah jika harus bekerja sebagai PPSU. “Kami merasa mampu kok jadi petugas kebersihan, kan di rumah juga terbiasa ngurusin kebersihan,” tambahnya. Ini adalah contoh bagaimana pengalaman sehari-hari dalam mengurus rumah tangga bisa menjadi bekal dasar untuk pekerjaan seperti PPSU, terlepas dari gelar sarjana yang dimiliki. Mereka melihat tugas-tugas PPSU seperti menyapu atau membersihkan saluran air sebagai sesuatu yang bisa mereka kerjakan.
Bom Waktu Pengangguran¶
Isu sulitnya mendapatkan pekerjaan, terutama bagi lulusan perguruan tinggi, memang semakin sering terdengar dan menjadi perhatian serius. Suara-suara keprihatinan ini diperkuat oleh data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Laporan BPS per Februari 2025 mencatat bahwa angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang. Dari jumlah yang sangat besar ini, yang lebih mengkhawatirkan adalah 1,01 juta orang di antaranya berstatus sarjana atau diploma. Ini menandakan bahwa gelar pendidikan tinggi tidak lagi menjadi jaminan mudahnya mendapatkan pekerjaan.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andy Ahmad Zaelany, melihat fenomena ini sebagai indikasi serius. Kekisruhan yang sempat terjadi saat bursa kerja atau job fair di Bekasi, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, menurutnya, adalah bukti nyata betapa sulitnya masyarakat, termasuk sarjana, mendapatkan pekerjaan layak saat ini. Antrean panjang, desak-desakan, bahkan insiden kecil yang terjadi di job fair tersebut adalah cerminan dari keputusasaan para pencari kerja. Andy menyebut fenomena ini sebagai “alarm sosial” yang membutuhkan solusi cepat dan tepat dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat.
“Ini bom waktu,” ujar Andy dengan nada prihatin dalam sebuah kesempatan terpisah. “Pemerintah harus segera bergerak cepat dan mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi lonjakan angka pengangguran dan kemiskinan yang terus meningkat.” Analogi ‘bom waktu’ ini digunakan untuk menekankan bahwa jika masalah ini tidak segera ditangani, dampaknya bisa sangat merusak stabilitas sosial dan ekonomi negara.
Andy menjelaskan lebih lanjut, jumlah angkatan kerja di Indonesia terus bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah lulusan sekolah dan perguruan tinggi. Di sisi lain, dunia usaha sedang dihadapkan pada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor akibat perlambatan ekonomi atau efisiensi perusahaan. Kondisi ini diperparah oleh penciptaan lapangan kerja yang berjalan sangat lambat. Bahkan, proses pencarian kerja seringkali terganjal oleh praktik pembatasan usia maksimal dalam banyak lowongan kerja, yang merugikan pencari kerja berusia di atas 30-an atau 40-an.
Semua faktor ini, menurut Andy, adalah social upheavel atau pergolakan sosial yang bisa meletus kapan saja. Gejala-gejala awalnya sudah terlihat, seperti kekisruhan dalam acara bursa kerja, meningkatnya kasus tawuran antarwarga atau kelompok, dan frekuensi tindak kriminal yang cenderung meroket. Ini semua adalah indikator bahwa ada tekanan besar di masyarakat akibat kesulitan ekonomi dan terbatasnya peluang.
Andy juga melayangkan kritik terhadap minimnya investasi yang benar-benar menciptakan lapangan kerja bagi warga lokal. Bahkan, beberapa investasi besar, misalnya dari China, seringkali justru membawa serta pekerja dari negara mereka sendiri. Hal ini membuat warga lokal kesulitan bersaing atau mendapatkan peluang kerja di proyek-proyek tersebut. Selain itu, praktik korupsi yang masih merajalela juga menjadi penghambat utama. Dana atau sumber daya yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja justru dikorupsi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.
Maka, tidak mengherankan jika pekerjaan yang tersedia di sektor formal sangat terbatas jumlahnya. Andy menambahkan, bahkan sektor informal pun ikut tertekan. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang selama ini menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja dengan angka fantastis hingga 97 persen, juga banyak yang gulung tikar atau kesulitan bertahan di tengah persaingan dan tantangan ekonomi. Ini membuat peluang di sektor informal pun semakin sempit.
“Banyak orang yang melamar jadi petugas PPSU atau petugas kebersihan, termasuk sarjana,” kata Andy yang juga merupakan anggota Dewan Pengupahan Jakarta. “Ini mengindikasikan bahwa masyarakat sudah berada dalam kondisi depresi dan putus asa dengan situasi ketenagakerjaan yang ada.” Menerima pekerjaan yang secara kualifikasi jauh di bawah gelar pendidikan mereka adalah tanda keputusasaan dan keinginan untuk sekadar mendapatkan penghasilan tetap.
Pekerjaan sebagai PPSU atau petugas kebersihan selama ini seringkali dipandang sebelah mata dan digolongkan sebagai pekerjaan yang tidak sesuai dengan status pendidikan sarjana. Ketika orang-orang dengan gelar S1 rela bersaing ketat untuk mendapatkan posisi ini, itu adalah bukti nyata bahwa pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka sangat sulit ditemukan. Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah dinilai sangat lamban dalam menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi warganya, terutama bagi lulusan perguruan tinggi.
Selain itu, fenomena ini juga mencerminkan adanya disfungsi sosial yang serius. Ada ketidakselarasan atau missmatch antara output dari sektor pendidikan dengan kebutuhan dan permintaan dari sektor ketenagakerjaan. Lulusan perguruan tinggi tidak memiliki keterampilan atau kompetensi yang dibutuhkan oleh pasar kerja, atau lapangan kerja yang membutuhkan kualifikasi mereka memang sangat sedikit jumlahnya.
Menurut Andy, keputusan sarjana melamar sebagai PPSU bukan semata karena tidak ada pilihan, tetapi juga menunjukkan adanya perubahan cara pandang atau perspektif dalam diri masyarakat. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan ancaman PHK yang terus mengintai di sektor formal, banyak pencari kerja, termasuk sarjana, mulai mencari pekerjaan yang menawarkan stabilitas dan jaminan sosial. Mereka menginginkan pekerjaan yang relatif aman dari ancaman pemecatan, memperoleh jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, mendapatkan seragam kerja yang layak, serta pekerjaan dengan rutinitas jelas yang tidak memerlukan kemampuan atau skill spesifik yang sulit didapatkan dalam waktu singkat.
Perspektif baru ini membuat orang menjadi lebih realistis dalam memilih pekerjaan. Mereka tidak lagi terlalu memikirkan gengsi, yang penting adalah keamanan dan pendapatan yang terjamin. Apalagi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian pekerjaan di sektor formal yang masih bisa diperebutkan ternyata menawarkan gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan gaji petugas kebersihan atau PPSU di Jakarta yang setara UMP. Ini membuat pekerjaan-pekerjaan tersebut menjadi kurang menarik.
Orang juga cenderung menghindari pekerjaan dengan perjanjian kontrak atau outsourcing meskipun mungkin gajinya terlihat besar di awal. Alasan utamanya adalah tingginya risiko kehilangan pekerjaan kapan saja akibat masa kontrak yang pendek atau kebijakan perusahaan alih daya. Stabilitas dan keamanan kerja menjadi prioritas utama.
*Video ini ilustrasi umum situasi lapangan kerja dan isu pengangguran di Indonesia.*
*(Catatan: Video di atas adalah placeholder. Ganti 'contoh_video_terkait' dengan ID video YouTube yang relevan jika ada.)*
Situasi darurat pengangguran ini, khususnya di kalangan sarjana, membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. “Semua unsur pemerintah, tidak hanya Kementerian Ketenagakerjaan, harus fokus pada penciptaan lapangan kerja,” tegas Andy. Ini bukan hanya tugas satu kementerian, melainkan tugas bersama yang melibatkan kementerian ekonomi, pendidikan, investasi, dan pemerintah daerah. Diperlukan koordinasi yang kuat dan kebijakan yang pro-lapangan kerja, seperti mempermudah izin usaha, memberikan insentif bagi industri padat karya, mereformasi sistem pendidikan vokasi agar lebih relevan dengan kebutuhan industri, dan memberantas korupsi yang menghambat investasi.
Masalah pengangguran sarjana yang melamar sebagai Pasukan Oranye ini hanyalah puncak gunung es dari krisis ketenagakerjaan yang lebih besar. Ini adalah panggilan darurat bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk segera bertindak nyata menciptakan lebih banyak peluang kerja yang layak dan stabil bagi seluruh masyarakat, termasuk para lulusan perguruan tinggi yang telah menghabiskan waktu dan biaya untuk mendapatkan pendidikan.
Bagaimana pendapat kalian tentang fenomena sarjana yang melamar pekerjaan di luar bidang studinya, bahkan di posisi yang secara kualifikasi jauh di bawah gelar mereka? Apakah ini murni masalah kurangnya lapangan kerja, ketidaksesuaian antara lulusan dan kebutuhan industri, atau ada faktor lain? Yuk, diskusikan di kolom komentar!
Posting Komentar