Rahasia Bikin Studio Gubuk Portabel Keren? Cek Tutorialnya, Ada Eufemisme Kocak!
Waktu kecil, saya dan saudara saya punya kesukaan unik tiap akhir pekan: bikin rumah-rumahan. Modalnya gampang banget, cuma susun kursi, selimut, dan bantal jadi sebuah gubuk dadakan yang nyaman. Kami atur semua supaya jadi ruang pas buat duduk, tiduran, atau bahkan merangkak menjelajahi ‘area’ di dalamnya. Seringnya sih, orang tua kami membiarkan kami bermalam di sana sampai pagi, tapi kadang juga kami harus bereskan sendiri sebelum dimarahi. Rasanya seperti punya dunia sendiri, jauh dari aturan orang dewasa, walau cuma sebentar.
Dunia khayalan rumah-rumahan masa kecil itu terlintas lagi di pikiran saya saat melihat video tutorial dari Studio Pancaroba di Instagram. Video tersebut diawali dengan kutipan soal “penertiban”, sebuah kata yang seringkali jadi eufemisme untuk pengusiran, penggusuran, penghancuran, atau bahkan perampasan hak. Di awal video, beberapa gambar gelandangan tidur di teras pertokoan ditampilkan, menunjukkan realitas pahit jalanan. Namun, citra kumuh itu mendadak “dihapus” oleh sebuah ruang putih bersih, seolah disiram pemutih.
Kemudian, muncul seseorang bertopeng misterius membawa sebuah kotak yang tampak seperti kotak ajaib. Orang itu mulai memeragakan bagaimana cara merangkai kotak tersebut, yang ternyata berisi berbagai komponen bangunan, menjadi sebuah gubuk. Melihat prosesnya yang begitu terstruktur dan efisien, saya langsung teringat pada salah satu toko perabot raksasa yang terkenal itu, IKEA! Konsep “DIY” yang mudah dan praktis memang selalu menarik perhatian banyak orang.
Saya lantas membayangkan si orang bertopeng itu sebagai seorang gelandangan, tapi yang versi steril dan klimis. Suatu hari, dia dengan santainya membeli terpal kinclong, pipa paralon baru, modul roda yang mulus, lembaran seng mengkilap, aluminium insulasi, plus beberapa lempeng baja lengkap dengan baut-bautnya. Dengan cekatan, dia memotong semua bahan itu sesuai instruksi dari buku manual bergambar yang bisa diakses via kode QR. Langkah demi langkah, gubuk impiannya pun mulai terbentuk, berdiri kokoh di ruang putih imajiner.
Akhirnya, gubuk portabel itu selesai juga setelah perjuangan merakit yang cukup melelahkan. Setelah capek membangun “rumahnya”, si gelandangan klimis ini tentu saja merasa lapar. Ajaibnya, tiba-tiba saja sebuah gerobak batagor lewat entah dari mana di ruang putih itu, seperti pesanan khusus. Betapa senangnya dia bisa langsung menyantap makan siang dengan begitu mudahnya, tanpa perlu mencari atau berjalan jauh.
Tak hanya lapar, rupanya dia juga merasa haus. Namun, lagi-lagi tak perlu menunggu lama, seorang mamang starling (kopi keliling) menghampiri seolah tahu kebutuhan. “Alhamdulillah,” mungkin gumamnya dalam hati, menikmati kemudahan yang ditawarkan “ruang putih” ini. Dia pun menyeruput kopi hangatnya sambil sesekali menghisap sebatang rokok filter ketengan, memandangi jalan-jalan putih tak beraspal yang membentang di sekelilingnya.
Di ruang imajiner ini, malam tak pernah tiba, tapi entah mengapa dia merasa sudah waktunya untuk mengakhiri pekerjaan hari itu. Lantas, dia masuk ke dalam gubuk buatannya dan langsung terlelap dengan pulas. Tak ada lagi kekhawatiran Satpol-PP akan datang, tak ada lagi gangguan dari pihak mana pun yang bisa merusak mimpi indahnya. Semua aman, semua damai, seolah masalah di dunia nyata tak pernah ada.
Eufemisme: Ketika Kata Bersembunyi dari Realitas
Eufemisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sebuah ungkapan yang lebih halus dan sopan. Istilah ini digunakan sebagai pengganti ungkapan lain yang mungkin dirasakan kasar, tidak menyenangkan, atau dianggap merugikan jika diucapkan secara langsung. Contoh paling umum adalah penggunaan “meninggal dunia” sebagai pengganti kata “mati”. Tujuannya jelas, untuk memperlembut bahasa dan menjaga etika komunikasi.
Saya belum pernah secara khusus mencari tahu kapan dan dari mana kata “tuna” mulai digunakan dalam istilah-istilah seperti tuna wisma, tuna rungu, atau tuna netra. Namun, saya ingat betul saat istilah itu ‘dipaksakan’ kepada saya di sekolah dasar. Guru saya seringkali memperingatkan untuk mengganti penyebutan “orang tuli” atau “gelandangan” dengan “tuna rungu” atau “tuna wisma” demi kesopanan. Mereka menekankan bahwa kata “tuli” atau “gelandangan” memiliki konotasi negatif dan dianggap tidak pantas.
Peringatan dari guru SD ini kembali terngiang di benak saya saat saya mengikuti workshop bahasa isyarat. Workshop ini diselenggarakan oleh teman-teman tuli dari Karya Seni Tuli, sebuah komunitas yang sangat inspiratif. Di sesi pembukaan kursus singkat itu, mereka dengan tegas menyampaikan bahwa mereka tidak suka dengan istilah “tuna”. Kata tersebut, secara harfiah, memiliki arti “cacat” atau “tidak punya”.
Mereka merasa bahwa mereka adalah individu yang berdaya penuh, meskipun cara mereka mendengar atau berkomunikasi mungkin berbeda dari orang pada umumnya. Momen itu sungguh membuka mata saya dan membuat saya menyadari sesuatu yang krusial. Eufemisme, dalam beberapa kasus, justru bisa menghapus makna sebenarnya dari sebuah kondisi, menolak realitas apa adanya, dan memaksakan sebuah makna yang steril.
Tujuannya? Agar kita bisa membahas suatu masalah dengan cara yang ‘santun’ atau ‘lebih enak didengar’, tanpa perlu bersentuhan langsung dengan kekasarannya. Bayangkan saja, bagaimana ‘santunnya’ saat bedeng tempat tinggal digusur atau gerobak yang menjadi penopang hidup seseorang dihancurkan begitu saja. Apakah ada ‘kesantunan’ dalam tindakan tersebut? Saya yakin, Studio Pancaroba sangat paham dengan realitas semacam ini, apalagi jika karya mereka mencoba berbicara tentangnya.
Mengingat semua hal di atas, saya merasa sangat sulit untuk tidak melihat karya Studio Pancaroba yang berjudul “rumah di antara sisa” ini sebagai sebuah karya yang sangat eufemistik. Di awal video tersebut, ada teks yang terang-terangan bertuliskan “ribuan orang tidur di jalan”. Lantas, orang-orang ini “ditertibkan”, sebuah kata yang, seperti sudah dibahas, seringkali jadi topeng untuk penggusuran.
Namun, yang jadi pertanyaan besar adalah: siapa sebenarnya ‘orang-orang’ ini? Apakah mereka pemilik rumah gedongan yang kebetulan sedang tak punya tempat tinggal? Apakah mereka orang yang mengontrak, lalu diusir? Atau mereka penghuni bedeng liar? Mungkin mereka pemilik warung pinggir jalan yang digusur? Atau, jangan-jangan, mereka memang gelandangan? Tanpa menyebutkan identitas sebenarnya, masalah apa yang hendak dikemukakan menjadi kabur dan tidak jelas. Ini bisa membuat pemahaman kita malah tersesat, jauh dari inti permasalahan.
Memanggil Sesuatu dengan Namanya: Si Gelandangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “gelandangan” adalah “orang yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya”. Dengan menyebut mereka dengan nama yang sesuai, kita bisa langsung memahami inti masalahnya tanpa keraguan. Tanpa kejelasan itu, pembahasan mengenai isu sosial ini bisa menjadi tidak fokus, bahkan berpotensi menyesatkan. Ini adalah persoalan fundamental dalam memahami realitas.
Pemotongan adegan dari cuplikan gelandangan yang tidur di emperan gelap pertokoan, lalu disambung ke ruang putih nan klimis dalam video itu, secara efektif menghapus berbagai konteks kehidupan para gelandangan. Ruang imajiner itu seolah dihidupi oleh orang-orang tanpa identitas yang jelas, dan gubuk portabel itu tampil begitu cantik di sana, terpisah dari segala kekotoran dunia. Karung-karung kumal yang biasanya dibawa gelandangan sekejap mata lenyap. Kardus bekas yang biasa jadi bantal mereka pun berubah jadi bantal empuk, dan pakaian lusuh mereka disulap jadi setelan yang sangat modis, penuh hype.
Bayangkan saja, jika saya adalah seorang pejabat tata kota yang punya agenda penggusuran, penghancuran semacam inilah yang rasanya nikmat untuk saya saksikan. Transformasi dari kumuh menjadi steril, dari nyata menjadi abstrak, tentu membuat pekerjaan ‘membersihkan’ masalah sosial jadi terasa lebih mudah. Ini adalah gambaran mengerikan bagaimana realitas bisa dimanipulasi agar sesuai dengan agenda tertentu, menjauhkan kita dari empati yang sebenarnya.
Suatu sore di Bandung, saya pernah mengobrol dengan seorang seniman, membahas bagaimana kita bisa melihat “alamat” atau makna sejati pada sebuah karya seni. Dia lalu merujuk pada sebuah adegan ikonik dari film “Naga Bonar” yang menampilkan patung Jenderal Soedirman. Di adegan tersebut, Naga Bonar dibuat terheran-heran melihat patung sang jenderal yang selalu memasang gestur menghormat. Dengan polosnya, ia bermonolog:
“Jenderal, turunkan tanganmu! Apa yang kau hormati siang dan malam itu? Apa karena mereka yang di depanmu itu memakai roda empat?”
“Wah!!!”
“Tidak semua dari mereka pantas kau hormati. Turunkan tanganmu Jenderal!”
Kemudian, Naga Bonar yang tak terima itu pun nekat memanjat patung tersebut. Dia menarik-narik tali yang menjuntai di tangan jenderal yang sedang menghormat itu, sambil terus berteriak, “Turunkan tanganmu jenderal!” Kawan saya sangat kagum dengan tindakan ( act ) dari Naga Bonar tersebut. “Coba konteksnya bukan film, tapi performance ya,” ujarnya, membayangkan kekuatan simbolis dari aksi itu jika dilakukan di dunia nyata.
Sontak saya membayangkan sebuah adegan yang sama kuatnya: seorang gelandangan datang ke hadapan gubuk portabel yang steril itu, lalu berteriak lantang, “Ini gelandangan!” Apa makna dari teriakan itu? Apa yang ingin disuarakan oleh performance dadakan tersebut? Jenderal Soedirman yang seorang pahlawan, seorang jenderal, sedang memberi hormat. Pertanyaannya, ke mana arah hormat itu? Sejak patung itu pertama kali dipikirkan, dibuat, hingga akhirnya dipajang di tempatnya sekarang, seniman pembuatnya pasti mengerti (bukan begitu?) mengapa semua itu dikerjakan. Figur di patung itu sudah melekat kuat dalam ingatan masyarakat. Penggunaannya dalam sebuah intensi seni tentu akan memiliki pengaruh besar terhadap ingatan kolektif tersebut. Apakah Soedirman dalam patung itu adalah jenderal yang kita kenal dan hormati? Naga Bonar, dengan kecerdasan naluriahnya, jelas tidak setuju dengan interpretasi itu.
Mengingat percakapan kami itu, saya lantas bertanya-tanya, di mana sebenarnya “alamat” dari karya “rumah di antara sisa” Studio Pancaroba ini? Di mana letak ruang imajiner putih yang mereka ciptakan itu? Apakah di luarnya, di sekelilingnya, ada gelandangan yang nyata? Pertanyaan ini bukanlah datang dari seorang gelandangan itu sendiri, melainkan dari saya, seorang yang masih punya privilese untuk mampu menyewa sebuah rumah. Ancaman tidak mampu membayar sewa saja sudah seringkali membuat saya gemetaran, apalagi mereka yang sama sekali tak punya.
Alih-alih membantu saya memahami kehidupan gelandangan, segala hal kompleks tentang keberadaan mereka, hingga kebutuhan mereka akan sebuah “rumah” ( house , bukan sekadar home ) — yaitu struktur konkret tempat hidup bermukim, seperti apa bentuknya, dan di mana seharusnya berada — saya malah dibuat tersesat ke ruang yang sangat steril. Banyak sekali hal yang “dibersihkan” di sana, seperti debu, kotoran, dan bau khas kehidupan jalanan, meskipun karya itu dipajang di lapangan dan digeletakkan di susunan beton untuk menghindari kesan ” white cube ” galeri.
Alih-alih saya jadi tahu bagaimana perasaan dan keinginan sebenarnya para gelandangan, saya justru dikenalkan dengan sosok bertopeng dan kotak ajaibnya. Rasanya seperti dibelokkan dari inti permasalahan ke sebuah fantasi yang bersih dan jauh dari realitas. “Wah!!!” teriak Naga Bonar lagi, seolah ikut merasakan kekesalan akan pengaburan makna dan pengalihan fokus yang terjadi. Ini adalah kritik keras terhadap seni yang mungkin terlalu abstrak hingga kehilangan relevansinya dengan akar masalah yang ingin diangkat.
Tentang Kesedihan yang Nyata dan yang Konseptual
Saat tiba waktunya saya dan saudara saya merapikan gubuk mainan kami di pagi hari, ada rasa sedih yang membekas kuat dalam ingatan saya. Untungnya, gubuk kami itu hanyalah rumah-rumahan belaka, sebuah konstruksi sementara dari imajinasi masa kecil. Kami masih punya rumah asli tempat kami tinggal dan bernaung, jadi kesedihan itu hanya bersifat sementara. Minggu-minggu depan, kami bisa membangun gubuk baru lagi, menciptakan petualangan yang berbeda.
Lalu, bagaimana dengan gubuk Studio Pancaroba jika dihancurkan? Dalam teks postingan Instagram mereka, tertulis sebuah pernyataan menarik: “Ini bukan juga karya seni yang selesai dipamerkan lalu disimpan. Bukan juga karya desain yang menawan. Ini proyek yang terus tumbuh, berubah, dirakit dan dirusak ulang, karena realitasnya juga begitu.” Jika demikian, apakah mereka merasakan kesedihan saat gubuknya “dirusak ulang”? Agak sulit membayangkan itu, sebab gubuk tersebut sudah menjadi sebuah karya seni dengan konsep yang jelas.
Saya teringat kasus Banksy, seniman jalanan terkenal, yang pernah merusak karyanya sendiri saat sedang dilelang. Namun, bukannya merugi, harga karyanya justru bisa jadi melambung lebih tinggi. Dalam konteks ini, gubuknya sendiri mungkin tidak lagi menjadi hal yang paling penting. Karyanya sudah kekal sebagai sebuah konsep, tersimpan dalam arsip manualnya, dan terekam dalam rekap presentasi di galeri. Jadi, penghancuran itu mungkin bagian dari konsep, bukan akhir yang menyedihkan.
Lalu, jika demikian, di mana letak kesedihan gelandangan yang sesungguhnya? Kesedihan saat rumahnya, walau hanya bedeng sederhana atau kardus, benar-benar dihancurkan tanpa ada alternatif. Kesedihan karena tidak ada “konsep” atau “arsip” yang bisa melambungkan harga hidup mereka. Saya pun mencari puisi tentang mereka dan menemukan “Puisi Jalanan” karya Cak Nun ini. Bagi saya, puisi ini datang sebagai sebuah doa, sebuah ajakan untuk benar-benar mengakrabi mereka, memahami realitas tanpa filter.
Hendaklah puisiku lahir dari jalanan
Dari desah napas para gelandangan
Jangan dari gedung-gedung besar
Dan lampu gemerlapan
Para pengemis yang lapar
Langsung menjadi milik Tuhan
Sebab rintihan mereka
Tak lagi bisa mengharukan
Para pengemis menyeret langkahnya
Para pengemis batuk-batuk
Darah dan hatinya menggumpal
Luka jiwanya amat dalam mengental
Hendaklah puisiku anyir
Seperti bau mulut mereka
Yang terdampar di trotoar
Yang terusir dan terkapar
Para pengemis tak ikut memiliki kehidupan
Mereka mengintai nasib orang yang dijumpainya
Tetapi zaman telah kebal
Terhadap derita mereka yang kekal
Hendaklah puisi-puisiku
Bisa menjadi persembahan yang menolongku
Agar mereka menerimaku menjadi sahabat
Dan memaafkan segala kelalaianku
Yang banyak dilupakan orang ialah Tuhan.
Para gelandangan dan korban-korban kehidupan
Aku ingin jadi karib mereka
Agar bisa belajar tentang segala yang fana
Puisi Cak Nun ini adalah tamparan keras bagi siapapun yang mencoba memoles atau menyembunyikan realitas pahit dengan eufemisme. Ia mengajak kita untuk tidak sekadar melihat, tapi merasakan, mencium, dan mendengar langsung desah napas para gelandangan. Bukan dari gedung mewah atau cahaya gemerlap, melainkan dari anyir bau mulut mereka dan luka jiwa yang mengental. Ini adalah seruan untuk menghadapi kenyataan secara langsung, bukan melalui lensa yang sudah disterilkan.
Karya seni, seperti “rumah di antara sisa”, memiliki potensi besar untuk membuka mata kita terhadap isu-isu sosial. Namun, jika interpretasi dan penyampaiannya malah menjauhkan kita dari realitas yang sebenarnya, bahkan menyajikannya dalam bentuk yang terlalu ‘bersih’ dan ‘konseptual’, maka ada esensi penting yang hilang. Eufemisme, dalam konteks ini, bukan lagi sekadar penghalus bahasa, melainkan tirai yang menutupi kebenaran dan menghambat empati sejati. Semoga kita semua bisa lebih peka dalam memahami setiap “rumah” dan setiap “sisa” yang ada di sekitar kita, tanpa perlu ada filter yang membelokkan makna.
Bagaimana menurut kalian? Apakah ada karya seni atau fenomena lain yang juga menggunakan eufemisme hingga maknanya jadi kabur? Yuk, bagikan pandangan kalian di kolom komentar!
Posting Komentar