Ulama Bilang Gini, Jangan Langsung Percaya! Belajar dari Serial Bidaah

Table of Contents

Jangan Langsung Percaya Kata Ulama

Serial drama Malaysia, Bidaah, yang mulai tayang di Viu pada 6 Maret 2025, sukses banget menarik perhatian penonton. Ceritanya kuat dan mengangkat isu manipulasi berkedok agama, yang relevan banget di kehidupan kita. Disutradarai oleh Ellie Suriaty dan diproduksi oleh Rumah Karya Citra, serial 15 episode ini mengikuti kisah Baiduri, seorang perempuan muda yang terperangkap dalam geng sesat bernama Jihad Ummah.

Kelompok sesat ini dipimpin oleh Walid Muhammad, sosok karismatik yang sayangnya malah memaksakan ajaran yang menyimpang habis. Ajaran-ajaran itu termasuk kawin paksa dan kepatuhan buta dari para pengikutnya. Salah satu hal yang bikin Bidaah menarik adalah bagaimana Walid memanfaatkan otoritasnya buat mempengaruhi orang lain, seringkali pakai dalih-dalih spiritual yang patut dipertanyakan.

Bahaya Manipulasi Agama Berkedok Mimpi

Di tengah masyarakat Muslim kita, kadang ada aja oknum yang nyalahgunain wewenang otoritas keagamaan. Modalnya? Berlandaskan mimpi. Misalnya nih, ada yang ngaku kalau keputusan penting ini itu didapat karena ketemu Rasulullah SAW di mimpi, atau dapat wangsit tertentu dari orang saleh yang udah meninggal dunia. Ini jelas harus hati-hati banget.

Fenomena ini seringkali jadi alat empuk bagi para manipulator untuk mengontrol dan memanipulasi pengikutnya. Mereka tahu persis betapa kuatnya keyakinan umat terhadap mimpi yang dikaitkan dengan hal-hal spiritual. Dengan klaim-klaim seperti ini, mereka bisa meminta pengikutnya untuk melakukan apa saja, dari memberikan harta, mengikuti aturan aneh, sampai menjauh dari keluarga.

Memang sih, mimpi punya kedudukan khusus dalam ajaran Islam, sebagaimana diajarkan dalam beberapa hadits Rasulullah SAW. Tapi, penggunaannya sebagai dasar keputusan itu harus ekstra hati-hati biar enggak disalahgunakan. Orang yang ngalamin mimpi jangan sembrono menafsirkannya sebagai perintah mutlak, dan pendengar ceritanya juga harus kritis secara maksimal. Jangan langsung telan mentah-mentah tanpa filter.

Mimpi dalam Perspektif Islam: Sebuah Anugerah, Bukan Dalil

Rasulullah SAW sendiri pernah memberikan panduan penting soal mimpi yang berkaitan dengan petunjuk. Dalam beberapa kesempatan, beliau bersabda sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah dan ‘Ubadah bin Shamit:

رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

Artinya, “Mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” (HR Al-Bukhari dan Ibnu Majah).

Hadits ini menunjukkan betapa istimewanya mimpi orang beriman. Ini bukan berarti mimpi itu adalah wahyu kenabian yang utuh, tapi dia membawa sebagian dari kualitas kebenaban dalam hal kebenaran dan petunjuk. Ini menunjukkan bahwa mimpi bisa menjadi salah satu cara Allah memberikan sinyal atau petunjuk kepada hamba-Nya yang beriman.

Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi yang lebih panjang oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, yaitu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا قَرُبَ الزَّمَانُ لَمْ تَكَدْ رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ تَكْذِبُ، وَأَصْدَقُهُمْ رُؤْيَا أَصْدَقُهُمْ حَدِيثًا، وَرُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

Artinya, “Dari Abu Hurairah, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda, ‘Jika waktu telah mendekat, hampir tidak ada mimpi seorang mukmin yang dusta. Orang yang paling jujur dalam mimpinya adalah yang paling jujur dalam ucapannya. Dan mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian’.”

Hadits ini memberikan kriteria penting: mimpi yang paling jujur adalah milik orang yang paling jujur dalam perkataannya. Ini menunjukkan adanya korelasi antara integritas seseorang di dunia nyata dengan kebenaran mimpinya. Jadi, enggak sembarang orang yang mimpinya bisa dipercaya sebagai petunjuk, lho! Ini bukan cuma soal ngimpi, tapi soal siapa yang ngimpi.

Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan versi lain yang lebih terkait dengan topik ‘mimpi bertemu Rasulullah’, yang di bagian akhir redaksinya berkaitan dengan kredibilitas mimpi seorang yang beriman, alias orang mukmin. Berikut riwayatnya:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَخَيَّلُ بِي، وَرُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

Artinya, “Dari Anas ra, ia berkata: ‘Nabi saw bersabda, ‘Barang siapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihatku. Sebab, setan tidak bisa menyerupaiku. Dan mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian’.”

Hadits ini menegaskan bahwa setan tidak dapat menyerupai wujud Nabi Muhammad SAW dalam mimpi. Artinya, jika seseorang benar-benar melihat Nabi dalam mimpinya, itu adalah penglihatan yang sahih dan bukan tipuan setan. Namun, ini tetap kembali pada integritas dan kejujuran si pemimpi itu sendiri.

Dari beberapa hadits di atas, kita bisa merumuskan beberapa poin penting, nih:

  1. Mimpi orang-orang yang beriman kepada Allah itu enggak boleh dianggap remeh, karena bisa jadi suatu pertanda atau isyarat dari-Nya.
  2. Orang mukmin yang mimpinya dipercaya itu hanya mereka yang paling jujur dalam segala aspek kehidupan. Jujur dalam berbicara, jujur dalam berperilaku. Antara ucapan dan perbuatan, harus sangat sinkron dan enggak bertolak belakang.

Kesimpulan ini didapat dari penjelasan Imam Al-Qurtubi terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan dinukil oleh Imam Muslim dan Ibnu Majah, yaitu kalimat “Orang yang paling jujur dalam mimpinya adalah yang paling jujur dalam ucapannya.”

إنما كان ذلك لأن: من كثر صدقه تنور قلبه، وقوي إدراكه، فانتقشت فيه المعاني على وجه الصحة والاستقامة. وأيضا، فإن من كان غالب حاله الصدق في يقظته استصحب ذلك في نومه، فلا يرى إلا صدقا. وعكس ذلك: الكاذب والمخلط يفسد قلبه، ويظلم، فلا يرى إلا تخليطا وأضغاثا. هذا غالب حال كل واحد من الفريقين، وقد يندر فيرى الصادق ما لا يصح، ويرى الكاذب ما يصح، لكن ذلك قليل، والأصل ما ذكرناه.

Artinya, “Hal itu terjadi karena seseorang yang banyak berkata jujur, hatinya menjadi bercahaya dan daya tangkapnya semakin kuat. Maka, makna-makna pun terukir dalam dirinya dengan cara yang benar dan lurus. Selain itu, siapa yang keadaannya didominasi oleh kejujuran saat terjaga, maka ia akan membawa kebiasaan itu ke dalam tidurnya, sehingga ia tidak akan melihat kecuali kebenaran. Sebaliknya, orang yang berdusta dan suka mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, hatinya menjadi rusak dan gelap, sehingga ia tidak melihat kecuali kekacauan dan mimpi-mimpi yang tidak jelas. Inilah kondisi umum dari kedua golongan tersebut. Namun, dalam beberapa kasus yang jarang terjadi, seseorang yang jujur bisa saja melihat sesuatu yang tidak benar, dan seorang pendusta bisa saja melihat sesuatu yang benar. Akan tetapi, hal itu jarang terjadi, sedangkan hukum asalnya adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan.” (Al-Mufhim lima Ushkila min Talkhis Kitab Muslim, [Beirut, Dar Ibnu Katsir], jilid VI, halaman 11).

Penjelasan Al-Qurtubi ini sangatlah insightful. Dia menegaskan bahwa kejujuran bukan hanya soal moralitas, tapi juga berpengaruh pada kualitas spiritual seseorang, bahkan sampai ke mimpinya. Hati yang bersih dari kebohongan akan lebih mudah menerima kebenaran, bahkan saat tidur. Ini membedakan mimpi yang benar dari “adghats ahlam” atau mimpi campur aduk yang disebabkan oleh pikiran kacau atau gangguan fisik.

Al-Qurtubi juga menjelaskan bahwa enggak semua orang beriman bisa mendapatkan mimpi dengan kualitas seperti mimpi kenabian. Hanya orang-orang tertentu aja yang mendapatkannya. Di antaranya adalah orang beriman yang jujur dan saleh, yang karakternya menyerupai akhlak Nabi SAW. Ini semakin mempertegas bahwa mimpi yang bisa dijadikan semacam petunjuk itu harus datang dari sumber yang sangat terpercaya, yaitu orang-orang yang memang sudah terbukti kesalehan dan kejujurannya.

Perspektif Psikologi: Membuka Gerbang Alam Bawah Sadar

Selain dari sudut pandang agama, mari kita coba telaah fenomena mimpi melalui perspektif psikologi modern. Salah satunya lewat pandangan Bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud. Ia mengemukakan bahwa mimpi itu berfungsi sebagai pintu masuk ke alam bawah sadar, sebuah wilayah di mana semua memori, hasrat, dan pengalaman yang biasanya tersembunyi dan enggak kita sadari, tersimpan rapi.

Freud berpendapat bahwa isi pikiran sadar kita, seperti pengalaman yang menyakitkan atau hasrat yang terpendam dalam-dalam, bakal terdesak masuk ke alam bawah sadar melalui proses penekanan (represi). Misalnya, kamu punya trauma masa kecil yang udah kamu lupakan, tapi sebenarnya masih ada di sana, di alam bawah sadarmu.

Nah, alam bawah sadar ini enggak jadi tempat peristirahatan abadi buat materi-materi yang tertekan ini. Justru, dorongan kuat dari materi-materi tersebut bisa “meledak” keluar, dan salah satu jalur pelampiasannya adalah melalui mimpi. Makanya, mimpi seringkali terasa aneh, simbolis, atau bahkan absurd, karena itu adalah cara alam bawah sadar menyampaikan pesan yang tersembunyi. (Interpretasi Mimpi dalam Perspektif Hadits dan Teori Sigmund Freud..,, oleh Masrukhin, dkk, halaman 812).

Menurut Freud, isi mimpi itu bisa tercipta dari gabungan berbagai fragmen pengalaman sadar seseorang. Ini menjadikannya wujud dari pertemuan antara kesadaran dan ketidaksadaran, sekaligus mencerminkan konflik batin serta hasrat tersembunyi yang mungkin enggak kita akui saat sadar. Jadi, mimpi itu semacam puzzle dari fragmen pengalaman dan keinginan terdalam kita.

Menariknya, Ada Kesamaan Pandang!

Menariknya, ada keselarasan antara pandangan Freud dan Al-Qurtubi dalam satu hal: keduanya mengakui bahwa kondisi batin seseorang itu sangat memengaruhi isi dan kualitas mimpi. Ini poin penting yang patut digarisbawahi.

Bagi Freud, keinginan bawah sadar yang kuat, meskipun tertekan, akan muncul dalam mimpi, tetapi seringkali dalam bentuk tersamarkan atau simbolis. Ini adalah cerminan dari gejolak psikologis internal individu yang mencari jalan keluar. Misalnya, jika seseorang sangat ingin sukses tapi merasa tidak mampu, mimpinya mungkin menunjukkan simbol-simbol keberhasilan atau kegagalan yang kompleks.

Sementara itu, Al-Qurtubi menitikberatkan pada integritas moral dan spiritual sebagai penentu kebenaran mimpi. Dia percaya bahwa orang yang jujur dan bersih hatinya akan mendapatkan mimpi yang lebih “murni” dan mendekati kebenaran, karena hatinya tidak dikotori oleh kebohongan dan kekacauan. Ini adalah mimpi yang bersifat petunjuk ilahi, bukan sekadar refleksi psikologis.

Untuk lebih jelasnya, mari kita bandingkan kedua pandangan ini dalam tabel singkat:

Aspek Penting Perspektif Al-Qurtubi (Islam) Perspektif Sigmund Freud (Psikologi)
Sumber Mimpi Sebagian dari kenabian (ilahi), kondisi hati yang jujur Alam bawah sadar, dorongan dan hasrat yang tertekan
Kualitas Mimpi Jujur, bersih, murni (bagi yang jujur dan saleh) Simbolis, terdistorsi, cerminan konflik batin
Tujuan Mimpi Petunjuk, isyarat, pertanda (bagi orang beriman yang jujur) Pelepasan ketegangan psikologis, pengungkapan hasrat tersembunyi
Validitas sebagai Dalil Tidak dapat menjadi dalil syar’i Tidak dianggap sebagai kebenaran objektif atau dalil
Faktor Pengaruh Utama Kejujuran, ketakwaan, kemurnian hati Represi, pengalaman masa lalu, konflik psikologis

Kenapa Mimpi Tidak Bisa Jadi Dalil Syar’i?

Meskipun mimpi memiliki kedudukan istimewa dalam Islam, terutama bagi orang-orang yang jujur dan saleh, tapi penting banget untuk diingat bahwa mimpi itu enggak bisa jadi dalil syar’i (hukum agama) bagi siapa pun. Jadi, fungsinya cuma bisa diambil hikmahnya aja, bukan untuk menetapkan sebuah aturan baru atau mengubah hukum yang sudah ada.

Az-Zarkasyi, seorang ulama terkemuka, menjelaskan dengan gamblang:

والصحيح أن المنام لا يثبت حكما شرعيا ولا بينة وإن كانت رؤيا النبي صلى الله عليه وسلم حقا والشيطان لا يتمثل به ولكن النائم ليس من أهل التحمل والرواية لعدم تحفّظه

Artinya, “Namun, pendapat yang lebih sahih adalah bahwa mimpi tidak dapat menetapkan hukum syar’i maupun menjadi bukti (dalil), meskipun mimpi melihat Nabi SAW adalah suatu kebenaran dan setan tidak dapat menyerupainya. Akan tetapi, orang yang sedang tidur bukanlah ahli dalam menerima (riwayat) dan meriwayatkannya, karena ia tidak dalam keadaan sadar sepenuhnya.” (Al-Bahrul Muhit, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2000], jilid IV, halaman 404).

Pernyataan Az-Zarkasyi ini krusial. Kenapa? Karena saat kita tidur, kesadaran kita enggak penuh. Kita enggak bisa membedakan mana yang benar-benar terjadi, mana yang hanya ilusi, atau mana yang dipengaruhi oleh pikiran kita sendiri. Seorang yang tidur tidak dalam kondisi mental yang stabil dan terjaga untuk memastikan keakuratan informasi yang diterima, apalagi untuk meriwayatkannya sebagai dasar hukum yang mengikat semua orang.

Dalam prinsip-prinsip syariah, hukum itu harus didasarkan pada dalil yang kuat, jelas, dan bisa diverifikasi, seperti Al-Qur’an dan Sunnah yang sahih. Jika kita mulai mendasarkan hukum pada mimpi subjektif, maka akan terbuka pintu lebar-lebar bagi kekacauan dan penyalahgunaan. Setiap orang bisa mengklaim mimpinya sebagai kebenaran absolut, padahal standar kebenaran dalam syariah itu jauh lebih tinggi.

Pelajaran dari Serial Bidaah dan Realita

Dalam film Bidaah, otoritas mimpi dalam pengambilan keputusan menjadi pelajaran penting yang patut kita renungkan. Kita harus selalu waspada dan skeptis terhadap siapa pun yang menjadikan mimpi sebagai alat untuk menyalahgunakan wewenang atau memaksakan kehendak mereka. Ini adalah taktik umum yang digunakan oleh kelompok sesat atau individu manipulatif untuk mengontrol pikiran dan tindakan pengikutnya.

Hanya mimpi dari orang yang memang sudah terbukti jujur dan saleh yang layak dipertimbangkan, dan itu pun hanya sebagai hikmah atau isyarat, bukan sebagai dasar hukum. Jangan sampai kita terperangkap dalam dogma yang dibangun di atas klaim-klaim subjektif dan tak terverifikasi. Selalu gunakan akal sehat dan pertimbangkan ajaran agama yang sahih.

Jadi, apakah Walid termasuk orang yang mimpinya layak dipertimbangkan? Hmm, mending tonton sendiri deh serialnya biar tahu jawabannya. Tapi yang jelas, pelajaran utamanya adalah: jangan langsung percaya begitu saja hanya karena ada yang bilang “ulama bilang gini” atau “saya mimpi ketemu Nabi”. Selalu verifikasi, cari tahu, dan bersikap kritis.

Penting banget buat kita untuk selalu mencari ilmu dari sumber yang kredibel, ulama yang terpercaya, dan yang paling penting, punya rekam jejak kejujuran dan integritas. Jangan biarkan diri kita terjebak dalam jebakan manipulasi yang berkedok agama. Waspada dan cerdas dalam beragama itu wajib!

Bagaimana menurut Anda? Pernahkah Anda mendengar cerita tentang mimpi yang digunakan untuk tujuan manipulasi? Bagikan pengalaman dan pendapat Anda di kolom komentar di bawah ini!

Posting Komentar