Abolisi Tom Lembong vs Amnesti Hasto: Bedanya di Mana, Sih?

Table of Contents

Perbedaan Amnesti Abolisi Kasus Hasto Tom Lembong

Pernah dengar soal Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini mengusulkan pemberian amnesti untuk Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto dan abolisi buat Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong? Nah, ini jadi perbincangan hangat banget di berbagai kalangan, terutama karena keduanya adalah tokoh publik yang sedang tersandung kasus dugaan korupsi. Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Sufmi Dasco Ahmad, setelah Presiden Prabowo mengirim surat persetujuan ke DPR.

Mungkin banyak di antara kita yang masih bingung, “Amnesti itu apa, sih? Abolisi itu gimana?” atau bahkan, “Memangnya apa bedanya sama grasi atau remisi?” Tenang saja, kamu nggak sendiri kok! Yuk, kita bahas tuntas perbedaan antara kedua istilah hukum ini dan mengapa Presiden bisa punya hak untuk memberikan pengampunan seperti ini.

Mengenal Amnesti dan Abolisi: Bentuk Pengampunan dari Negara

Jadi, amnesti dan abolisi ini sebenarnya adalah dua bentuk pengampunan yang diberikan oleh negara. Keduanya diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, lho. Ini menunjukkan betapa pentingnya kedua instrumen hukum ini dalam sistem peradilan kita. Pada dasarnya, keduanya merupakan konsekuensi yudisial yang timbul dari keputusan politik gabungan antara kekuasaan eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR).

Fungsi utamanya adalah untuk melepaskan seseorang dari tanggung jawab pidana, baik itu agar tidak dituntut jika kasusnya belum diadili, atau membebaskan terpidana dari hukuman yang sedang dijalankan. Meskipun punya tujuan yang sama, yaitu pengampunan, cara kerja dan dampaknya itu beda banget, teman-teman.

Amnesti: Ketika Hukuman Dihapuskan

Amnesti itu ibarat tombol “reset” untuk kasus pidana. Definisi menurut para ahli hukum dan juga dalam Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954, amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan Undang-Undang. Tujuannya adalah untuk mencabut semua akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana secara keseluruhan.

Bayangkan saja, kalau seseorang dapat amnesti, maka semua konsekuensi hukum pidana terhadap dirinya akan dihapus atau ditiadakan sepenuhnya. Jadi, jika dia sudah dipenjara, dia bisa langsung bebas. Jika dia sedang dalam proses hukum, prosesnya akan dihentikan dan semua catatan hukum terkait kasus itu seolah tak pernah ada. Biasanya, amnesti diberikan untuk kasus-kasus yang punya nuansa politik atau berkaitan dengan kepentingan umum yang lebih besar. Ini bukan cuma untuk satu orang, tapi bisa juga untuk sekelompok orang yang terlibat dalam kasus yang sama.

Abolisi: Menghentikan Tuntutan Pidana Sebelum Disidang

Nah, kalau abolisi itu sedikit berbeda lagi. Abolisi adalah hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan, atau bisa juga menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana. Selain itu, abolisi juga bisa menghentikan apabila putusan tersebut sudah mulai dijalankan. Intinya, abolisi itu lebih sering digunakan ketika proses hukum (penuntutan) masih berjalan, bahkan sebelum putusan pengadilan dijatuhkan.

Jika seseorang diberikan abolisi, maka penuntutan terhadapnya akan ditiadakan. Proses hukumnya mandek di tengah jalan, dan ia tidak akan pernah disidang atau menerima putusan pengadilan. Dampaknya, tidak ada rekam jejak vonis pidana yang melekat pada dirinya terkait kasus tersebut. Jadi, bisa dibilang abolisi itu “pre-emptive strike” untuk kasus hukum, mencegahnya sampai ke tahap pengadilan dan vonis.

Dasar Hukum dan Prosedur Pemberiannya

Baik amnesti maupun abolisi, keduanya merupakan hak prerogatif Presiden. Artinya, ini adalah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh kepala negara. Namun, hak prerogatif ini tidak bisa digunakan semena-mena, ya. Pasal 14 UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selain itu, meskipun Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1954 mengatur tentang amnesti dan abolisi, undang-undang ini memang tidak secara detail mendefinisikan keduanya. Namun, praktiknya sudah berkembang berdasarkan yurisprudensi dan doktrin hukum. Prosesnya biasanya dimulai dengan usulan dari Presiden ke DPR, kemudian DPR akan memberikan pertimbangannya. Meskipun bukan persetujuan mutlak, pertimbangan DPR ini sangat penting untuk legitimasi keputusan Presiden.

Mari kita lihat alurnya dalam diagram sederhana:
mermaid graph TD A[Presiden RI] --> B{Mengusulkan Amnesti/Abolisi}; B --> C[Mengirim Surat ke DPR RI]; C --> D{DPR RI Mempertimbangkan}; D --Pertimbangan Dikembalikan--> E[Presiden RI Mengeluarkan Keputusan]; E --> F[Pemberian Amnesti/Abolisi Resmi];
Proses ini menunjukkan adanya checks and balances antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam hal pengampunan ini. Tujuannya agar penggunaan hak prerogatif Presiden tetap dalam koridor hukum dan mendapatkan dukungan politik yang memadai.

Jangan Salah Kaprah: Perbedaan dengan Grasi dan Remisi

Seringkali, amnesti dan abolisi ini disamakan atau tertukar dengan grasi dan remisi. Padahal, keempatnya punya perbedaan mendasar, lho! Yuk, kita bedah satu per satu biar makin paham.

Grasi: Pengurangan atau Penghapusan Hukuman yang Sudah Ditetapkan

Grasi adalah bentuk pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada terpidana yang sudah dijatuhi hukuman dan putusannya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Jadi, grasi ini baru bisa diberikan setelah seseorang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan vonisnya sudah final.

Grasi bisa berupa:
1. Penghapusan seluruhnya atau sebagian dari pelaksanaan hukuman. Ini berarti terpidana bisa langsung bebas atau masa hukumannya dipersingkat drastis.
2. Perubahan jenis pidana. Misalnya, pidana penjara diubah menjadi pidana percobaan atau denda.
3. Penggantian pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Ini seringkali jadi isu krusial dalam kasus-kasus pidana berat.

Prosedur pemberian grasi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Grasi, yang menyebutkan bahwa Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Jadi, bedanya dengan amnesti/abolisi yang perlu pertimbangan DPR, grasi ini pertimbangannya dari MA.

Remisi: Potongan Masa Hukuman karena Kebaikan Narapidana

Kalau remisi, ini lebih bersifat rutin dan diberikan sebagai penghargaan kepada narapidana yang menunjukkan kelakuan baik selama menjalani masa pidana di lembaga pemasyarakatan. Remisi ini berupa pengurangan masa hukuman yang diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.

Jenis remisi macam-macam, ada remisi umum (diberikan saat HUT RI), remisi khusus (saat hari raya keagamaan), remisi tambahan (misalnya karena berbuat jasa bagi negara), dan lain-lain. Remisi tidak menghapuskan hukuman secara keseluruhan, tapi hanya memotong durasi pidana yang harus dijalani. Kewenangan pemberian remisi ini biasanya ada di Kementerian Hukum dan HAM, bukan langsung dari Presiden.

Untuk lebih jelasnya, yuk kita lihat tabel perbandingan keempatnya:

Fitur Penting Amnesti Abolisi Grasi Remisi
Pemberi Presiden Presiden Presiden Kemenkumham
Dasar Hukum UUD 1945 Pasal 14, UU Darurat No. 11/1954 UUD 1945 Pasal 14, UU Darurat No. 11/1954 UUD 1945 Pasal 14, UU No. 22/2022 UU Pemasyarakatan, PP, Keppres
Tahap Kasus Bisa sebelum/sesudah putusan, umum/massal Sebelum putusan, menghentikan penuntutan Setelah putusan inkracht Selama masa menjalani pidana
Tujuan Hapus akibat pidana secara total, sering politis Hentikan proses pidana, tanpa putusan Kurangi/hapus hukuman yang sudah inkracht Penghargaan kelakuan baik, pemotongan masa tahanan
Dampak Bebas dari tuntutan/hukuman, catatan pidana hilang Tidak dituntut, tidak ada catatan pidana Masa hukuman berkurang/habis, jenis pidana berubah Masa pidana berkurang
Pertimbangan DPR DPR Mahkamah Agung Tidak ada (rutin)

Mengapa Presiden Menggunakan Hak Prerogatif Ini?

Penggunaan hak prerogatif Presiden untuk memberikan amnesti atau abolisi seringkali memicu pro dan kontra. Namun, ada beberapa alasan mendasar mengapa negara kita masih mempertahankan mekanisme ini:

  1. Kepentingan Umum atau Stabilitas Politik: Dalam beberapa situasi, pengampunan ini bisa jadi jalan keluar untuk meredakan ketegangan politik atau sosial. Misalnya, untuk mengakhiri konflik atau menyatukan kembali elemen masyarakat yang terpecah karena kasus hukum tertentu. Ini sering terjadi pada kasus-kasus yang memiliki dimensi politik atau menyangkut banyak orang.
  2. Kesalahan Prosedur atau Hukum: Meskipun jarang, bisa saja terjadi indikasi kuat adanya kesalahan dalam proses penuntutan atau putusan. Amnesti atau abolisi bisa jadi “katup pengaman” terakhir untuk mencegah atau memperbaiki ketidakadilan.
  3. Rehabilitasi dan Rekonsiliasi Nasional: Terkadang, negara ingin memberikan kesempatan kedua bagi individu atau kelompok tertentu untuk kembali berpartisipasi dalam masyarakat tanpa beban catatan pidana. Ini bisa jadi bagian dari upaya rekonsiliasi pasca-konflik.
  4. Hukum Positif: Yang paling penting, ini adalah kewenangan yang diatur secara konstitusional dan perundang-undangan. Selama prosedur dan alasan penggunaannya sesuai dengan koridor hukum, maka ini adalah tindakan yang sah.

Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong ini tentu akan menjadi sorotan. Masing-masing memiliki konteks kasus yang berbeda, dan keputusan Presiden ini akan memiliki implikasi yang luas, baik bagi individu yang bersangkutan, sistem hukum, maupun dinamika politik nasional.

Dampak dan Implikasi Keputusan Ini

Jika amnesti dan abolisi ini benar-benar diberikan, ada beberapa dampak signifikan yang akan terjadi. Bagi Hasto Kristiyanto, yang akan menerima amnesti, semua akibat hukum pidana terkait kasusnya akan dihapuskan. Artinya, jika ia sudah dipenjara, ia akan bebas. Jika masih dalam proses, prosesnya dihentikan dan dianggap tidak pernah ada catatan hukumnya. Ini bisa mengembalikan hak-hak politiknya secara penuh.

Sedangkan untuk Tom Lembong, yang akan menerima abolisi, penuntutan terhadapnya akan ditiadakan. Ini berarti proses hukum yang sedang berjalan akan dihentikan sebelum mencapai putusan pengadilan. Ia tidak akan divonis dan tidak akan ada catatan pidana yang melekat padanya dari kasus tersebut. Secara hukum, ia tidak pernah dinyatakan bersalah.

Tentu saja, keputusan semacam ini selalu memunculkan perdebatan publik. Ada yang mendukung sebagai langkah rekonsiliasi atau upaya untuk menyelesaikan masalah di luar jalur pengadilan yang panjang. Namun, tidak sedikit juga yang khawatir akan presedennya terhadap penegakan hukum, terutama dalam kasus-kasus korupsi yang notabene merugikan keuangan negara dan kepercayaan publik. Ini menunjukkan betapa kompleksnya isu ini, melibatkan aspek hukum, politik, dan sosial sekaligus.

Nah, semoga penjelasan ini bisa bikin kamu makin paham ya, bedanya amnesti sama abolisi, dan juga posisinya dibanding grasi dan remisi. Topik hukum memang kadang bikin pusing, tapi penting banget buat kita tahu biar nggak gampang salah paham sama informasi yang beredar.

Gimana menurut kamu soal usulan amnesti untuk Hasto dan abolisi untuk Tom Lembong ini? Yuk, sampaikan pendapatmu di kolom komentar di bawah!

Posting Komentar