Konsentris: Cara Asik Jaga Budaya Lokal di Era Gempuran Budaya Asing!
Belakangan ini, ada satu pertanyaan yang bikin sebagian peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG) 2025 garuk-garuk kepala, yaitu tentang apa itu azas konsentris. Pertanyaan ini muncul dalam konteks bagaimana kita menyikapi keberagaman dan masuknya pengaruh budaya luar yang begitu deras. Padahal, pemahaman tentang azas ini penting banget lho, apalagi buat calon guru yang nantinya bakal jadi ujung tombak pendidikan bangsa.
Pendidikan Profesi Guru atau PPG sendiri adalah program strategis untuk menyiapkan para guru agar punya kompetensi yang mumpuni. Tujuannya jelas, menghasilkan calon guru yang mampu mewujudkan cita-cita pendidikan nasional. Salah satu cita-cita itu adalah memastikan generasi muda kita punya karakter yang kuat dan tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri, meski diterpa arus globalisasi yang super kencang. Nah, di sinilah azas konsentris berperan besar.
Azas Konsentris: Kunci Jawaban yang Nggak Banyak Tahu¶
Topik keberagaman ini sebenarnya jadi bahasan utama di Latihan Pemahaman Modul 3 Topik 1 PPG 2025. Jadi, apa sih sebenarnya jawaban dari pertanyaan “Apa yang dimaksud dengan azas konsentris dalam menyikapi keberagaman dan masuknya pengaruh budaya luar?” Yuk, kita bedah tuntas biar kamu nggak bingung lagi!
Sejarah Singkat Azas Konsentris¶
Azas konsentris ini bukan teori baru yang ujug-ujug muncul kemarin sore, ya. Konsep ini adalah warisan pemikiran brilian dari Bapak Pendidikan Nasional kita, siapa lagi kalau bukan Ki Hadjar Dewantara. Beliau pertama kali menerapkan azas ini di Taman Siswa, lembaga pendidikan yang didirikannya pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Bisa dibayangkan, sejak lebih dari seabad yang lalu, Ki Hadjar Dewantara sudah memikirkan bagaimana cara menjaga identitas bangsa di tengah perubahan zaman.
Konsep ini kemudian diperkenalkan secara luas dalam bukunya, Wawasan Pendidikan. Menurut Achmad Husen (2025:85), azas konsentris itu sederhananya adalah cara mengembangkan kebudayaan. Caranya? Kita tetap berfokus pada akar budaya lokal sebagai pusat atau inti yang harus terus diperkuat dan dijaga. Jadi, budaya lokal itu ibarat jantungnya, sementara hal-hal lain bisa datang dan pergi.
Memahami Inti Azas Konsentris¶
Prinsip utama azas konsentris ini mengajarkan kita bahwa budaya luar itu boleh banget diterima dan bahkan boleh memberikan pengaruh. Asalkan, dan ini penting, masuknya budaya asing tersebut tidak sampai menghilangkan atau menggeser identitas serta jati diri bangsa kita. Ibaratnya, kita boleh pakai baju dari merek luar negeri, tapi jangan sampai lupa cara pakai batik atau baju adat sendiri. Ini adalah filosofi yang sangat relevan, apalagi di zaman digital seperti sekarang ini.
Dalam dunia pendidikan, azas konsentris ini juga punya makna khusus. Artinya, siswa-siswi kita itu boleh banget belajar dari berbagai budaya dan informasi global yang sekarang bisa diakses dengan mudah lewat internet. Mereka bisa kenal K-Pop, Hollywood, atau bahkan teknologi dari Jepang. Namun, di saat yang sama, mereka harus tetap berakar kuat pada nilai-nilai, budaya, dan karakter lokal bangsa Indonesia. Jadi, otaknya global, tapi hatinya tetap Indonesia.
Konsep ini mengajarkan kita untuk tidak menjadi katak dalam tempurung, tapi juga tidak menjadi “bunglon” yang mudah berubah warna. Kita harus mampu menyaring, memilah, dan mengadaptasi pengaruh luar agar bisa memperkaya budaya kita sendiri, bukan malah menggerusnya. Ini adalah keseimbangan yang perlu terus-menerus kita upayakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ki Hadjar Dewantara: Sang Peletak Dasar¶
Untuk memahami azas konsentris lebih dalam, kita juga perlu sedikit membahas sosok Ki Hadjar Dewantara. Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, beliau adalah pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Perjuangannya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan, tetapi juga gerakan nasionalisme untuk kemerdekaan. Taman Siswa, yang didirikannya, menjadi wadah penting untuk mewujudkan pendidikan yang merdeka, berlandaskan kebangsaan, dan relevan dengan konteks Indonesia.
Filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang terkenal adalah “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Ini berarti di depan memberikan teladan, di tengah membangun kemauan, dan di belakang memberikan dorongan. Filosofi ini sangat sejalan dengan azas konsentris, di mana guru dan sistem pendidikan berperan sebagai teladan dalam menjaga dan mengembangkan budaya, memberikan ruang bagi kreativitas siswa, dan mendorong mereka untuk menjadi individu yang mandiri namun tetap berbudaya.
Pemikiran beliau yang progresif kala itu sangat relevan hingga saat ini. Di tengah gempuran informasi dan budaya asing yang tak terhindarkan, prinsip-prinsip yang diletakkan oleh Ki Hadjar Dewantara menawarkan panduan yang kokoh. Beliau sadar bahwa kemajuan tidak harus berarti kehilangan jati diri. Justru, dengan berpegang pada akar budaya yang kuat, sebuah bangsa bisa melangkah maju dengan lebih percaya diri dan bermartabat.
Visualisasi Azas Konsentris¶
Untuk mempermudah pemahaman tentang bagaimana azas konsentris bekerja, mari kita lihat representasi sederhana dalam diagram berikut:
mermaid
graph TD
A[Akar Budaya Lokal<br>(Inti / Pusat)] --> B{Masuknya Budaya Asing?}
B -- Ya, Sesuai Azas Konsentris --> C[Filter & Adaptasi<br>(Inovasi & Penyesuaian)]
B -- Tidak, Bertentangan dengan Nilai Dasar --> D[Tolak/Hindari<br>(Lindungi Jati Diri)]
C --> E[Kebudayaan Nasional yang Kuat & Dinamis<br>(Berdaya Saing Global)]
E -- Memperkaya --> A
Diagram di atas menunjukkan bahwa budaya lokal adalah inti yang tidak boleh digeser. Budaya asing yang masuk akan difilter. Jika sesuai, ia akan diadaptasi dan memperkaya, jika tidak, ia akan ditolak. Hasilnya adalah kebudayaan nasional yang dinamis dan berakar kuat.
Kenapa Azas Konsentris Penting di Era Sekarang?¶
Di era globalisasi ini, informasi dan budaya bisa menyebar dalam hitungan detik. Media sosial, film, musik, fashion, hingga gaya hidup dari berbagai belahan dunia dengan mudahnya masuk ke ruang privat kita. Tanpa filter yang kuat, identitas budaya kita bisa luntur perlahan-lahan. Nah, di sinilah azas konsentris jadi tameng sekaligus jembatan.
Aspek | Tanpa Azas Konsentris | Dengan Azas Konsentris |
---|---|---|
Penerimaan Budaya Asing | Menelan Mentah-mentah, Imitasi | Selektif, Adaptasi, Inovasi |
Identitas Budaya Lokal | Terancam, Luntur | Diperkuat, Dilestarikan |
Karakter Bangsa | Mudah Terombang-ambing | Kuat, Berlandaskan Nilai Luhur |
Potensi Inovasi | Terbatas pada Plagiat | Kaya dari Perpaduan Elemen |
Apresiasi Generasi Muda | Cenderung Meremehkan Lokal | Bangga & Aktif Melestarikan |
Coba bayangkan jika kita tidak punya prinsip ini. Kita mungkin akan menjadi masyarakat yang hanya mengekor tren luar negeri, tanpa punya ciri khas. Bahasa gaul asing akan lebih populer dari bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pakaian tradisional hanya akan dipakai saat acara tertentu, kalaupun masih ada yang mau memakainya. Lama kelamaan, kita akan kehilangan arah dan identitas diri sebagai bangsa Indonesia.
Manfaat Azas Konsentris¶
Azas konsentris ini bukan cuma soal menolak budaya asing, lho. Justru sebaliknya, ini adalah cara cerdas untuk memperkuat diri sambil mengambil manfaat dari luar.
1. Memperkuat Jati Diri Bangsa: Dengan fokus pada akar budaya lokal, kita jadi punya pondasi yang kuat. Ini penting agar kita tidak mudah goyah oleh berbagai pengaruh yang datang dari luar. Kita jadi tahu siapa diri kita.
2. Mendorong Kreativitas dan Inovasi: Azas konsentris memungkinkan kita untuk mengadaptasi hal-hal positif dari budaya luar dan memadukannya dengan kearifan lokal. Contohnya, musik tradisional yang dipadukan dengan genre modern, atau desain fashion kontemporer yang tetap menggunakan motif batik. Hasilnya? Karya-karya yang unik, otentik, dan berdaya saing global.
3. Membangun Toleransi dan Keberagaman: Dengan memahami bahwa budaya kita sendiri itu kuat dan dinamis, kita juga akan lebih mudah menghargai keberagaman budaya lain. Kita jadi punya perspektif yang lebih luas dan tidak mudah menghakimi. Ini sangat krusial di negara majemuk seperti Indonesia.
4. Menyiapkan Generasi Unggul: Anak-anak muda yang tumbuh dengan pemahaman azas konsentris akan menjadi individu yang berpikiran terbuka tapi tetap punya karakter. Mereka bisa bersaing di kancah internasional tanpa kehilangan akar budayanya. Ini adalah modal besar untuk masa depan bangsa.
Peran Pendidikan dan PPG dalam Mengimplementasikan Azas Konsentris¶
Lalu, bagaimana peran pendidikan, khususnya guru-guru yang sedang mengikuti PPG, dalam menerapkan azas konsentris ini? Peran guru itu krusial banget! Mereka adalah garda terdepan yang berinteraksi langsung dengan generasi muda.
Guru-guru masa depan harus dibekali pemahaman yang mendalam tentang azas ini. Bukan cuma sekadar tahu definisinya, tapi juga bisa menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari.
Bagaimana Guru Bisa Menerapkan Azas Konsentris di Kelas?¶
- Integrasi Kearifan Lokal: Guru bisa memasukkan cerita rakyat, permainan tradisional, lagu daerah, atau bahkan makanan khas dalam materi pelajaran. Misalnya, dalam pelajaran matematika, bisa menggunakan pola batik sebagai contoh simetri. Atau dalam bahasa Indonesia, siswa diajak membuat pantun atau puisi yang terinspirasi dari legenda lokal.
- Diskusi Kritis tentang Pengaruh Asing: Ajak siswa untuk mendiskusikan film, musik, atau tren dari luar negeri. Bukan melarang, tapi membedah apa nilai positif yang bisa diambil, dan mana yang mungkin tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa. Ini melatih kemampuan berpikir kritis mereka.
- Proyek Berbasis Budaya: Beri tugas proyek yang mendorong siswa untuk meneliti, membuat, atau menampilkan sesuatu yang berbau budaya lokal. Misalnya, membuat pameran mini tentang kerajinan daerah, membuat video dokumenter tentang tradisi lokal, atau bahkan menciptakan pertunjukan drama yang diadaptasi dari cerita daerah.
- Kolaborasi dengan Komunitas Lokal: Guru bisa menjalin kerja sama dengan seniman, budayawan, atau tokoh adat setempat untuk memberikan workshop atau kelas tamu di sekolah. Ini memberikan pengalaman langsung bagi siswa dan mendekatkan mereka dengan pelaku budaya.
- Menciptakan Lingkungan yang Mendukung: Sekolah bisa menciptakan suasana yang kental dengan nuansa budaya Indonesia. Misalnya, dengan mendekorasi kelas menggunakan ornamen tradisional, mengadakan hari batik atau pakaian adat, hingga memutar musik daerah saat jam istirahat.
Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah momen yang tepat untuk menanamkan pemahaman ini. Calon guru akan belajar bagaimana merancang pembelajaran yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kaya akan nilai budaya. Mereka akan menjadi agen perubahan yang bisa memastikan bahwa generasi penerus tidak hanya mahir teknologi, tapi juga bangga akan identitasnya.
(Video ini mungkin memberikan gambaran lebih lanjut tentang filosofi Ki Hadjar Dewantara yang relevan dengan azas konsentris.)
Tantangan dan Masa Depan Azas Konsentris¶
Menerapkan azas konsentris di era modern ini tentu bukan tanpa tantangan. Tarikan globalisasi, anggapan bahwa budaya lokal itu kuno, hingga kurangnya apresiasi dari sebagian generasi muda menjadi PR besar. Media sosial yang tanpa batas membuat informasi luar mudah masuk dan membentuk persepsi. Konten viral seringkali lebih dominan daripada nilai-nilai luhur yang perlu dilestarikan.
Namun, bukan berarti azas konsentris ini tidak bisa berjalan mulus. Justru, dengan adanya tantangan ini, kita dituntut untuk lebih kreatif dalam mengemas dan menyajikan budaya lokal. Misalnya, menggunakan platform digital untuk mempromosikan budaya, membuat konten-konten edukasi yang menarik di TikTok atau YouTube, atau bahkan mengintegrasikan teknologi dalam pementasan seni tradisional. Budaya kita bukan sekadar masa lalu, tapi juga masa depan yang dinamis dan inovatif.
Masa depan kebudayaan Indonesia dengan azas konsentris adalah masa depan yang cerah. Kita tidak akan menjadi bangsa yang stagnan, terpaku pada tradisi lama tanpa mau berkembang. Sebaliknya, kita akan menjadi bangsa yang mampu beradaptasi, berinovasi, dan terus memperkaya diri dengan tetap berpegang teguh pada identitas asli. Indonesia akan tetap menjadi “rumah” yang kaya akan ragam budaya, namun tetap satu dalam harmoni, karena setiap elemen di dalamnya berpusat pada nilai-nilai kebangsaan yang luhur.
Generasi muda adalah harapan bangsa. Merekalah yang akan menjadi penerus dan penjaga obor budaya ini. Dengan pemahaman yang baik tentang azas konsentris, mereka tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga berkembang dan berkontribusi secara signifikan di panggung global, membawa nama harum Indonesia dengan bangga. Mereka akan menjadi warga dunia yang punya akar kuat di tanah air.
Apa pendapatmu tentang azas konsentris ini? Apakah kamu punya ide bagaimana cara paling asik untuk menjaga budaya lokal di tengah gempuran budaya asing? Yuk, bagikan pemikiranmu di kolom komentar di bawah!
Posting Komentar