RSCM Setop Layani Pasien BPJS? Ini Penjelasan Lengkap dan Permohonan Maaf Dokter!

Table of Contents

Dokter Piprim Basarah Yanuarso

Kabar mengejutkan datang dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Seorang dokter subspesialis jantung anak, Dr. Piprim Basarah Yanuarso, baru-baru ini mengumumkan bahwa ia terpaksa berhenti melayani pasien peserta BPJS Kesehatan di rumah sakit rujukan nasional tersebut. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini menyebut keputusan pahit ini adalah konsekuensi langsung dari penolakannya terhadap mutasi yang dinilai tidak sesuai prosedur dari Kementerian Kesehatan. Tentu saja, pengumuman ini bikin heboh dan menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat, khususnya para orang tua dengan anak penderita jantung yang selama ini menggantungkan harapan pada layanan BPJS.

Sebuah Pengumuman yang Penuh Sesak di Hati

Dengan nada berat hati, Dr. Piprim menyampaikan pengumuman ini melalui akun Instagram pribadinya, @dr.piprim, pada Jumat, 22 Agustus 2025. “Dengan berat hati saya mengumumkan mulai hari ini tidak bisa lagi melayani putra-putri bapak ibu yang sakit jantung di RSCM, baik di PJT maupun Kiara,” tulisnya. Ungkapan ini tentu saja bukan sekadar kalimat biasa, melainkan cerminan dari dilema besar yang dihadapinya sebagai seorang dokter yang mengabdikan diri untuk melayani masyarakat.

Bayangkan saja, selama ini, Dr. Piprim adalah salah satu sosok yang sangat diandalkan oleh banyak keluarga di seluruh Indonesia. Anak-anak dengan kelainan jantung bawaan, yang seringkali memerlukan penanganan kompleks dan berkelanjutan, biasanya dirujuk ke RSCM, dan Dr. Piprim adalah salah satu tangan ahli yang mereka harapkan. Pengumuman ini seperti petir di siang bolong, memutus harapan banyak orang tua yang selama ini bergantung pada sistem BPJS untuk pengobatan buah hati mereka.

Akun BPJS Dibekukan: Pasien Terpaksa Bayar Mahal

Alasan utama di balik pengumuman ini ternyata cukup pelik. Dr. Piprim menjelaskan bahwa akun praktik BPJS miliknya di RSCM telah dibekukan. Artinya, ia secara teknis tidak bisa lagi menginput data pasien BPJS atau memberikan layanan yang tercover oleh jaminan kesehatan tersebut. Ini adalah pukulan telak, terutama bagi pasien yang sudah dalam proses pengobatan atau yang memerlukan kontrol rutin.

Meskipun direksi RSCM sempat menawarkan solusi agar ia tetap melayani pasien di poli swasta RSCM Kencana, opsi ini jelas bukan untuk semua orang. Layanan di RSCM Kencana hanya bisa diakses dengan biaya mandiri yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, untuk satu kali kunjungan, termasuk pemeriksaan echocardiography, biaya yang harus dikeluarkan bisa mencapai sekitar Rp 4 juta. “Artinya, bapak ibu yang putra-putrinya ingin dilayani oleh saya harus membayar dengan tarif swasta. Bisa saja biayanya mencapai ratusan juta rupiah,” ujar Dr. Piprim.

Angka ratusan juta rupiah tentu bukan jumlah yang kecil. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, biaya sebesar itu jelas di luar jangkauan. Sistem BPJS hadir justru untuk meringankan beban finansial ini, memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses ke pelayanan kesehatan yang layak, tanpa terkendala biaya. Ketika seorang dokter subspesialis kunci tidak lagi bisa melayani BPJS, artinya beban tersebut kembali lagi ke pundak pasien. Ini menimbulkan kekhawatiran besar akan nasib pasien-pasien jantung anak yang sebelumnya ditangani oleh Dr. Piprim, atau yang berencana untuk mencari pengobatan dengannya.

Pengabdian 28 Tahun dan Dilema Hati

Dr. Piprim sendiri mengakui bahwa keputusan ini sangat berat baginya. Ia telah mengabdi di RSCM selama 28 tahun, sebuah angka yang menunjukkan dedikasi luar biasa dalam dunia medis. Sebagian besar dari masa pengabdiannya itu dihabiskan untuk melayani pasien peserta BPJS, sebuah bentuk komitmen nyata terhadap kesehatan masyarakat luas. “Sebagai seorang dokter yang sudah 28 tahun di RSCM, tentu berat hati rasanya tidak bisa lagi melayani masyarakat luas,” katanya.

Pengabdian selama hampir tiga dekade ini tentu bukan sekadar rutinitas pekerjaan. Ia telah melihat ribuan kasus, menyelamatkan banyak nyawa, dan menjadi harapan bagi banyak keluarga. Membangun kepercayaan dengan pasien dan rekan sejawat selama puluhan tahun adalah hal yang tidak mudah. Oleh karena itu, pengumuman ini bukan hanya tentang administratif semata, melainkan juga tentang ikatan emosional dan tanggung jawab moral seorang dokter terhadap pasiennya. Perasaan “berat hati” yang diungkapkan oleh Dr. Piprim adalah gambaran nyata dari dilema yang dialami oleh para profesional medis ketika dihadapkan pada kebijakan yang bertentangan dengan prinsip pengabdian mereka.

Akar Masalah: Mutasi yang Tidak Prosedural

Lalu, apa sebenarnya yang memicu situasi pelik ini? Dr. Piprim menjelaskan bahwa persoalan ini bermula dari mutasi dirinya ke RS Fatmawati yang menurutnya dilakukan secara tidak prosedural. Ia menolak mutasi dadakan tersebut karena tidak adanya mekanisme lolos butuh atau pemberitahuan sebelumnya. Istilah “lolos butuh” dalam konteks mutasi pegawai, terutama ASN seperti dokter, merujuk pada persetujuan dan kebutuhan dari kedua belah pihak (rumah sakit asal dan rumah sakit tujuan) serta evaluasi komprehensif terkait dampak mutasi tersebut.

Dalam kasus ini, mutasi dilakukan secara mendadak, tanpa ada komunikasi yang memadai, dan tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau dampak terhadap pelayanan di RSCM, tempat Dr. Piprim mengabdi sebagai dokter subspesialis yang sangat dibutuhkan. “Saya menolak dengan tegas cara-cara yang melanggar asas meritokrasi terhadap seorang ASN. Akibatnya, akun saya dibekukan untuk melayani BPJS,” tegasnya. Asas meritokrasi sendiri menekankan bahwa penempatan, promosi, dan mutasi seorang ASN harus didasarkan pada kompetensi, kualifikasi, dan kinerja, bukan atas dasar faktor-faktor non-profesional lainnya. Pembekuan akun BPJS miliknya adalah konsekuensi langsung dari penolakannya terhadap apa yang ia anggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut. Ini bukan hanya masalah personal, tapi juga masalah sistemik tentang bagaimana birokrasi menangani tenaga profesional yang sangat spesialis.

Dampak Besar pada Pendidikan Kedokteran dan Ketersediaan Dokter Spesialis

Situasi ini bukan hanya berdampak pada pasien dan Dr. Piprim secara pribadi, melainkan juga pada dunia pendidikan kedokteran di Indonesia. Dr. Piprim mengungkapkan fakta yang mencemaskan: hanya ada sekitar 70 dokter subspesialis jantung anak di seluruh Indonesia. Angka ini sangat minim mengingat luasnya wilayah dan jumlah penduduk Indonesia, serta tingginya kasus kelainan jantung pada anak.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pusat pendidikan yang bisa mencetak dokter dengan kompetensi ini pun sangat terbatas, hanya ada empat di seluruh Indonesia, dan salah satunya adalah FKUI-RSCM yang merupakan institusi tertua dan paling berpengalaman. Bandingkan dengan RS Fatmawati, tempat ia dimutasi, yang tidak memiliki fasilitas pendidikan subspesialis jantung anak. Artinya, memindahkan seorang pengajar sekaligus praktisi kunci seperti Dr. Piprim dari RSCM sama dengan mencabut salah satu pilar utama dalam mencetak generasi penerus dokter jantung anak.

“Mutasi ini berpotensi mengganggu pendidikan calon dokter subspesialis jantung anak, yang jumlahnya masih sangat terbatas,” ujarnya. Gangguan ini bisa berarti penundaan studi, kurangnya pembimbing ahli, atau bahkan penurunan kualitas pendidikan. Dalam jangka panjang, hal ini akan memperparah kekurangan dokter subspesialis jantung anak di Indonesia, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat luas karena akses terhadap layanan kesehatan yang vital menjadi semakin sulit. Ini adalah ancaman serius bagi masa depan kesehatan anak-anak Indonesia.

Mengapa Ketersediaan Spesialis Jantung Anak Begitu Penting?

Kelainan jantung bawaan pada anak adalah kondisi kompleks yang memerlukan penanganan khusus sejak dini. Deteksi dan intervensi yang tepat waktu sangat krusial untuk menyelamatkan nyawa dan memastikan kualitas hidup anak. Dokter subspesialis jantung anak tidak hanya mendiagnosis, tetapi juga merancang rencana perawatan jangka panjang, yang seringkali melibatkan operasi yang rumit dan tindak lanjut berkelanjutan.

Dengan jumlah yang hanya 70 orang di seluruh negeri, satu dokter subspesialis jantung anak harus melayani jutaan penduduk. Pusat-pusat rujukan seperti RSCM menjadi garda terdepan. Jika pilar-pilar ini digoyahkan, seperti melalui mutasi yang tidak mempertimbangkan aspek pendidikan dan pelayanan, maka seluruh sistem rujukan akan terganggu. Pasien-pasien dari daerah harus menempuh jarak yang lebih jauh, menunggu lebih lama, atau bahkan tidak mendapatkan penanganan sama sekali karena kurangnya tenaga ahli. Ini adalah masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian serius.

Spekulasi di Balik Mutasi: Kritik IDAI terhadap Kemenkes

Di balik alasan administratif, Dr. Piprim juga menuding ada motif lain di balik mutasi dirinya. Ia menduga bahwa mutasi ini berhubungan erat dengan sikap kritis IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) yang menentang rencana pengambilalihan kolegium oleh Kementerian Kesehatan. Kolegium, dalam dunia kedokteran, adalah badan otonom yang bertanggung jawab atas standar pendidikan, kompetensi, dan etika profesi dokter spesialis. Pengambilalihan kolegium oleh Kemenkes, termasuk Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia, dikhawatirkan akan mengurangi independensi profesi medis dan berpotensi mengintervensi standar profesionalisme.

Dr. Piprim menyebut kebijakan mutasi ini sebagai bentuk “hukuman” terhadap pengurus IDAI yang vokal menyuarakan keberatan. Jika benar demikian, maka ini adalah preseden yang sangat buruk dalam hubungan antara pemerintah dan organisasi profesi. Kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik konstruktif adalah bagian penting dari demokrasi dan tata kelola yang baik, apalagi dalam sektor kesehatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Menggunakan mutasi sebagai alat untuk membungkam kritik akan menciptakan iklim ketakutan di kalangan profesional medis, yang pada akhirnya dapat merugikan inovasi, kualitas pelayanan, dan independensi ilmiah.

Pentingnya Otonomi Kolegium

Kolegium profesi medis memiliki peran vital dalam menjaga kualitas dan integritas profesi. Mereka menetapkan kurikulum pendidikan, standar kompetensi, hingga etika bagi para dokter spesialis. Otonomi kolegium memastikan bahwa keputusan-keputusan profesional dibuat berdasarkan pertimbangan medis terbaik, bukan politis atau administratif semata. Jika Kemenkes mengambil alih kendali penuh, ada kekhawatiran bahwa standar bisa diturunkan, independensi profesi terancam, dan dokter-dokter akan lebih rentan terhadap intervensi non-medis. Ini adalah perdebatan yang krusial dan memiliki implikasi jangka panjang terhadap sistem kesehatan nasional.

Apa Dampaknya bagi Pasien BPJS dan Sistem Kesehatan Nasional?

Pengumuman Dr. Piprim ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan pelayanan kesehatan bagi pasien BPJS, khususnya mereka yang membutuhkan penanganan subspesialis yang langka.

Pertama, akses pasien BPJS terhadap spesialisasi langka menjadi terancam. Jika satu dokter kunci saja mengalami masalah seperti ini, bagaimana dengan yang lain? Apakah ini akan menjadi pola? Pasien dengan kondisi kompleks dan langka sangat bergantung pada ketersediaan dokter dengan keahlian khusus. Jika dokter-dokter ini dipersulit untuk melayani BPJS, atau dipindahkan ke fasilitas yang kurang memadai, maka akses kesehatan yang adil dan merata akan sulit tercapai.

Kedua, kepercayaan publik terhadap BPJS bisa menurun. Salah satu tujuan utama BPJS adalah memberikan jaminan bahwa semua warga negara, tanpa memandang status sosial, bisa mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik. Ketika ada kasus di mana dokter spesialis tidak bisa melayani BPJS karena masalah administratif atau kebijakan, ini bisa merusak citra dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem jaminan kesehatan nasional yang sudah dibangun dengan susah payah. Masyarakat mungkin bertanya-tanya, “Apakah BPJS benar-benar bisa diandalkan untuk kasus yang paling berat?”

Ketiga, moral dokter dan tenaga kesehatan lainnya dapat terpengaruh. Dokter-dokter adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang bekerja keras di garda terdepan. Ketika mereka merasa kebijakan yang diambil tidak berpihak pada profesionalisme atau bahkan dijadikan “hukuman,” ini bisa menurunkan semangat dan motivasi mereka. Seorang dokter yang berdedikasi seperti Dr. Piprim, yang telah mengabdi puluhan tahun, bisa saja merasa dikecewakan oleh sistem. Ini bisa menciptakan kekhawatiran di kalangan dokter lain untuk bersuara atau bahkan untuk terus bekerja di fasilitas publik.

Keempat, efisiensi sistem rujukan kesehatan dapat terganggu. RSCM adalah rumah sakit rujukan tertinggi di Indonesia. Pasien dengan kasus paling parah dan kompleks seringkali berakhir di sini. Jika ada gangguan pada ketersediaan spesialis di RSCM, efek domino bisa terasa di seluruh sistem rujukan. Rumah sakit di daerah akan kesulitan merujuk pasien, antrean bisa semakin panjang, dan penanganan pasien bisa tertunda, yang dalam kasus kelainan jantung anak, bisa berakibat fatal.

Ini adalah situasi yang kompleks, melibatkan banyak pihak: pasien, dokter, rumah sakit, organisasi profesi, dan Kementerian Kesehatan. Diperlukan dialog yang konstruktif dan solusi yang berpihak pada kepentingan pasien dan kualitas layanan kesehatan. Semoga ada titik terang segera agar pasien-pasien jantung anak bisa kembali mendapatkan pelayanan terbaik yang mereka butuhkan.

Bagaimana menurut kalian, teman-teman? Apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi masalah ini? Mari berikan pendapat kalian di kolom komentar!

Posting Komentar