Tantiem Komisaris BUMN: Beneran Akal-akalan Ala Prabowo?
Jakarta – Presiden terpilih Prabowo Subianto baru-baru ini melontarkan pernyataan yang cukup menghebohkan publik terkait tantiem komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pernyataan ini disampaikan dalam pidato pentingnya mengenai Rancangan Undang-Undang APBN 2026 dan Nota Keuangan di gedung parlemen. Sorotan utamanya adalah angka tantiem yang dianggap “tak masuk akal,” bahkan mencapai puluhan miliar rupiah per tahun untuk seorang komisaris yang rapatnya hanya sesekali.
Pernyataan ini sontak memicu diskusi luas, mengingat posisi komisaris BUMN yang seharusnya mengawasi, bukan sekadar menerima keuntungan besar. Prabowo secara gamblang menyebut bahwa ada komisaris BUMN yang bisa mengantongi tantiem hingga Rp 40 miliar setahun. Angka fantastis ini, menurutnya, didapat hanya dengan rapat sebulan sekali, yang tentu saja menimbulkan pertanyaan besar tentang proporsionalitas dan akuntabilitas.
Dalam pandangan Prabowo, sistem tantiem saat ini “akal-akalan” saja. Ia bahkan secara blak-blakan mengaku tidak mengerti makna sebenarnya dari tantiem, menganggapnya sebagai istilah asing yang sengaja digunakan agar masyarakat awam sulit memahami substansinya. Oleh karena itu, Prabowo berencana untuk menghapus tantiem bagi direksi dan komisaris BUMN, sebuah langkah revolusioner yang dapat mengubah lanskap tata kelola perusahaan pelat merah.
Keputusannya untuk menggebrak sistem tantiem ini bukan tanpa alasan. Banyak pihak selama ini mengkritisi besaran gaji dan tunjangan di BUMN, terutama bagi direksi dan komisaris, yang kerap kali dianggap tidak sebanding dengan kinerja perusahaan. Terlebih lagi, ketika BUMN tersebut justru merugi, namun para petinggi tetap menerima kompensasi yang menggiurkan. Ini menjadi ironi yang terus-menerus disuarakan masyarakat.
Membedah Tantiem: Apa Sebenarnya Itu?¶
Istilah “tantiem” memang tidak familiar bagi sebagian besar masyarakat. Namun, bagi mereka yang berkecimpung di dunia korporasi, khususnya BUMN, tantiem adalah bagian penting dari paket kompensasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tantiem diartikan sebagai bagian keuntungan perusahaan yang dihadiahkan kepada karyawan. Definisi ini memberikan gambaran awal bahwa tantiem adalah semacam bonus yang terkait dengan profitabilitas.
Namun, penjelasan yang lebih mendalam mengenai tantiem di BUMN dapat ditemukan dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/2009. Aturan ini secara spesifik menjabarkan tantiem sebagai penghasilan yang diberikan sebagai penghargaan kepada anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN setiap tahun, dengan syarat utama apabila perusahaan memperoleh laba. Menariknya, dalam kasus Persero, tantiem juga bisa diberikan jika terjadi peningkatan kinerja, bahkan jika perusahaan tersebut masih dalam kondisi merugi.
Regulasi ini juga merinci bagaimana penetapan tantiem dilakukan. Dalam Pasal 2, disebutkan bahwa besaran tunjangan dan tantiem yang bersifat variabel ini dipengaruhi oleh beberapa faktor penting. Faktor-faktor tersebut mencakup pencapaian target, tingkat kesehatan perusahaan, kemampuan keuangan BUMN itu sendiri, serta faktor-faktor relevan lainnya yang mengacu pada sistem merit (kinerja). Hal ini menunjukkan bahwa secara teori, tantiem seharusnya menjadi insentif yang berbasis kinerja dan kesehatan finansial perusahaan.
Lebih lanjut, Pasal 30 dari Permen BUMN yang sama menjelaskan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas baru bisa mendapatkan tantiem jika pencapaian Ukuran Kinerja Utama (Key Performance Indicator/KPI) dan tingkat kesehatan perusahaan berada di atas 70%. Angka 70% ini menjadi ambang batas minimum yang harus dipenuhi. KPI dan tingkat kesehatan ini sendiri ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Menteri BUMN, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas mengenai bagaimana tantiem didistribusikan di antara para petinggi BUMN, Permen tersebut juga mengatur komposisi besaran tantiem dan insentif kinerja. Berikut adalah rinciannya dalam sebuah tabel yang mudah dipahami:
Jabatan | Komposisi Tantiem (% dari Direktur Utama) |
---|---|
Direktur Utama | 100% |
Anggota Direksi | 90% |
Komisaris Ketua/Ketua Dewan Pengawas | 40% |
Anggota Komisaris/Anggota Dewan Pengawas | 36% |
Dari tabel di atas, kita bisa melihat bahwa tantiem seorang anggota komisaris adalah 36% dari tantiem yang diterima Direktur Utama. Jika, misalnya, seorang anggota komisaris bisa mendapatkan tantiem sebesar Rp 40 miliar setahun seperti yang disorot Prabowo, maka Direktur Utama perusahaan tersebut bisa mendapatkan tantiem sekitar Rp 111 miliar (Rp 40 Miliar / 0.36 = ~Rp 111,1 Miliar). Angka ini menunjukkan betapa masifnya potensi tantiem yang bisa diterima oleh pucuk pimpinan BUMN, jika perusahaan memang mencetak laba yang sangat besar. Namun, masalahnya adalah ketika angka ini muncul bahkan di tengah kinerja yang pas-pasan atau bahkan merugi.
Mengapa Tantiem Menjadi Sorotan Tajam?¶
Pertanyaan utama yang muncul dari pernyataan Prabowo adalah: mengapa tantiem yang seharusnya menjadi penghargaan atas kinerja positif malah menjadi sorotan negatif dan disebut “akal-akalan”? Jawabannya terletak pada kesenjangan antara teori dan praktik, serta persepsi publik terhadap kinerja BUMN.
Secara filosofis, tantiem dirancang untuk mendorong direksi dan komisaris bekerja lebih giat demi keuntungan perusahaan. Ini adalah bentuk insentif yang menghubungkan imbalan finansial langsung dengan keberhasilan perusahaan. Namun, di banyak BUMN, terutama yang sering dililit masalah kerugian atau inefisiensi, besaran tantiem yang fantastis ini menjadi kontradiktif. Bagaimana mungkin perusahaan merugi atau dibantu oleh anggaran negara, tetapi para petingginya tetap menikmati bonus puluhan miliar? Ini yang disebut Prabowo sebagai “keuntungan akal-akalan,” di mana mungkin ada manipulasi laporan keuangan atau pencapaian target yang tidak riil demi mengamankan tantiem.
Selain itu, peran komisaris yang hanya rapat sebulan sekali dengan imbalan puluhan miliar juga menjadi sorotan. Komisaris adalah organ pengawas, yang tugas utamanya adalah memastikan perusahaan dijalankan sesuai aturan dan strategi yang telah ditetapkan, serta memberikan nasihat kepada direksi. Mereka tidak terlibat langsung dalam operasional harian seperti direksi. Oleh karena itu, besaran tantiem yang sangat besar untuk peran yang relatif tidak seberat direksi, memunculkan pertanyaan tentang fairness dan proporsionalitas.
Dalam banyak kasus, posisi komisaris BUMN juga kerap diisi oleh figur politik atau orang-orang yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Hal ini seringkali menimbulkan dugaan bahwa penunjukan mereka bukan murni berdasarkan kompetensi, melainkan “jatah” politik. Jika demikian, tantiem yang diterima bisa dianggap sebagai bentuk renumerasi politis yang membebani keuangan negara, bukan insentif kinerja murni. Ini mengikis kepercayaan publik dan menciptakan kesan buruk terhadap tata kelola BUMN.
Visi Prabowo untuk BUMN: Reformasi Total?¶
Pernyataan Prabowo mengenai tantiem hanyalah puncak gunung es dari visi reformasinya terhadap BUMN. Ia tampak serius ingin “membereskan” perusahaan-perusahaan pelat merah yang selama ini kerap dianggap sebagai sarang inefisiensi, birokrasi berbelit, dan bahkan praktik korupsi. Untuk itu, Prabowo telah menugaskan Badan Pengelola Investasi Danantara Indonesia, yang kemungkinan besar merujuk pada Indonesia Investment Authority (INA), untuk menjalankan misi bebenah BUMN.
INA sendiri adalah lembaga pengelola investasi milik negara yang bertugas menarik investasi asing maupun domestik ke Indonesia. Keterlibatannya dalam reformasi BUMN menandakan fokus pada peningkatan nilai aset, efisiensi operasional, dan profitabilitas. Dengan kata lain, INA diharapkan bisa menyuntikkan disiplin pasar dan good corporate governance ke dalam BUMN agar menjadi entitas bisnis yang lebih sehat dan berdaya saing.
Salah satu langkah drastis yang dicanangkan Prabowo adalah pengurangan jumlah komisaris secara signifikan. Dari jumlah yang seringkali “banyak banget” bahkan untuk perusahaan yang merugi, Prabowo berencana memotongnya hingga setengahnya. Targetnya, jumlah komisaris paling banyak enam orang, dan jika memungkinkan, cukup empat atau lima orang saja. Rasionalisasi ini bertujuan untuk mengurangi beban biaya operasional dan menyederhanakan proses pengambilan keputusan di tingkat pengawasan.
Penghapusan tantiem menjadi kebijakan fundamental dalam reformasi ini. Prabowo dengan tegas menyatakan bahwa tantiem akan dihilangkan, terutama jika perusahaan dalam kondisi merugi. “Saya juga telah perintahkan ke Danantara, direksi pun tidak perlu tantiem kalau rugi dan untungnya harus untung bener, jangan untung akal-akalan,” tegasnya. Pernyataan ini menunjukkan komitmen kuat Prabowo untuk mengikis budaya “untung-untungan” atau manipulasi laporan keuangan demi kepentingan pribadi.
Sikap tegas ini juga ditunjukkan dengan pernyataannya yang mempersilakan direksi dan komisaris yang merasa keberatan dengan penghapusan tantiem untuk mengundurkan diri. Ini adalah sinyal kuat bahwa Prabowo tidak akan mentolerir resistensi terhadap agenda reformasi. Ia menginginkan para petinggi BUMN yang benar-benar berkomitmen pada perbaikan kinerja perusahaan, bukan semata-mata mengejar keuntungan pribadi dari posisi mereka.
Langkah-langkah ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mengubah mentalitas di BUMN. Selama ini, banyak yang beranggapan bahwa BUMN adalah ladang basah untuk jabatan dan keuntungan tanpa harus bekerja keras. Dengan memangkas jumlah komisaris dan menghilangkan tantiem bagi yang merugi, Prabowo ingin menanamkan prinsip bahwa posisi di BUMN adalah amanah yang harus dijalankan dengan profesionalisme dan tanggung jawab penuh terhadap negara dan rakyat.
Implikasi dan Harapan Reformasi BUMN¶
Agenda reformasi BUMN yang diusung Prabowo, khususnya terkait tantiem dan pengurangan komisaris, membawa implikasi besar dan harapan positif bagi masa depan ekonomi Indonesia. Dampak positif yang diharapkan antara lain adalah efisiensi anggaran BUMN. Dengan memangkas biaya kompensasi yang “tidak wajar,” dana tersebut bisa dialokasikan kembali untuk investasi, pengembangan usaha, atau bahkan untuk menekan harga produk/jasa yang ditawarkan BUMN kepada masyarakat.
Selain itu, reformasi ini diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi di tubuh BUMN. Dengan fokus pada “keuntungan bener” dan bukan “akal-akalan,” direksi dan komisaris akan didorong untuk bekerja lebih keras dan jujur demi mencapai laba yang sesungguhnya. Ini akan mendorong budaya kinerja yang sehat dan profesional, serta mengurangi ruang gerak untuk praktik-praktik yang merugikan negara. Peningkatan kepercayaan publik juga menjadi harapan besar, karena masyarakat akan melihat bahwa BUMN dikelola secara efisien dan bertanggung jawab.
Namun, tantangan dan pertimbangan juga tidak bisa diabaikan. Salah satu pertanyaan krusial adalah: bagaimana BUMN dapat menarik talenta terbaik jika paket kompensasi, terutama tantiem, yang selama ini menjadi daya tarik utama, dihilangkan atau dipangkas? Para profesional papan atas mungkin akan mencari peluang di sektor swasta yang menawarkan imbalan lebih kompetitif. Ini menjadi dilema yang harus diantisipasi oleh pemerintah. Mungkin, perlu dicari skema insentif lain yang lebih adil dan berbasis kinerja murni, yang tidak hanya menguntungkan pimpinan tetapi juga seluruh karyawan.
Selain itu, pengurangan jumlah komisaris juga berarti diperlukan mekanisme pengawasan yang lebih efektif. Dengan jumlah pengawas yang lebih sedikit, tanggung jawab mereka menjadi semakin besar. Pemerintah perlu memastikan bahwa sistem pengawasan internal dan eksternal BUMN tetap kuat, bahkan dengan jumlah komisaris yang lebih ramping. Terakhir, resistensi dari pihak internal BUMN yang selama ini “nyaman” dengan sistem lama juga merupakan tantangan nyata yang harus dihadapi dengan kebijakan yang konsisten dan tegas.
Reformasi ini bukan sekadar tentang angka-angka tantiem, melainkan tentang mengubah budaya dan sistem yang telah berakar di BUMN. Ini adalah langkah penting menuju tata kelola perusahaan yang lebih bersih, efisien, dan berorientasi pada kepentingan bangsa.
Mewujudkan BUMN Bersih dan Efisien¶
Inisiatif Prabowo dalam membereskan BUMN, termasuk soal tantiem, sejalan dengan visi yang lebih besar untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Seperti yang ia singgung dalam berbagai kesempatan, perilaku korupsi bisa ditemukan di berbagai eselon, termasuk di BUMN dan BUMD.
Simak cuplikan pernyataan Prabowo Subianto mengenai perilaku korupsi di berbagai lapisan, termasuk BUMN.
Tantiem, yang kadang kala menjadi celah untuk memperkaya diri tanpa kinerja yang jelas, menjadi salah satu target dalam upaya pemberantasan potensi korupsi. Pentingnya transparansi dan pengawasan yang ketat adalah kunci. Dengan sistem yang lebih transparan dan akuntabel, di mana setiap rupiah pengeluaran dan setiap target kinerja dapat diaudit dengan jelas, ruang gerak bagi praktik “akal-akalan” akan semakin sempit.
Perubahan ini membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan. Ia membutuhkan perubahan budaya di dalam BUMN, di mana integritas dan profesionalisme menjadi nilai utama. Dengan demikian, BUMN tidak hanya akan menjadi mesin ekonomi yang efisien, tetapi juga pilar kepercayaan publik yang kokoh, jauh dari citra “ladang basah” bagi segelintir orang.
Bagaimana menurut Anda? Apakah langkah Prabowo menghapus tantiem ini akan benar-benar efektif membereskan BUMN? Bagikan pandangan Anda di kolom komentar!
Posting Komentar