Akhirnya Pecah Telur! Kutukan 30 Tahun Liverpool Berakhir di Tangan Klopp

Table of Contents

BLITAR - Liverpool FC, nama besar yang selalu identik dengan tradisi juara, punya satu babak kelam yang panjang dalam sejarahnya. Selama 30 tahun, klub ini harus menahan diri dari euforia mengangkat trofi liga, sebuah puasa gelar yang terasa seperti “kutukan” bagi para pendukungnya. Sejak 1990, The Reds tak pernah lagi mencicipi manisnya gelar liga domestik, hingga akhirnya seorang pelatih asal Jerman, Jurgen Klopp, datang dan berhasil mematahkan mantra tersebut pada musim 2019/20 yang bersejarah.

Jurgen Klopp mengangkat trofi Premier League

Mengapa Puasa Gelar Ini Begitu Lama?

Liverpool terakhir kali merayakan gelar juara Liga Inggris pada musim 1989/90. Di bawah asuhan manajer legendaris Kenny Dalglish, mereka berhasil mengukuhkan diri sebagai klub tersukses di Inggris dengan 18 gelar liga. Saat itu, rasanya tak ada yang menduga kalau penantian akan gelar berikutnya bakal berlangsung selama tiga dekade penuh. Namun, setelah era keemasan Dalglish, performa Liverpool memang perlahan menurun.

Banyak yang mengaitkan kejatuhan performa ini dengan dua tragedi besar yang mengguncang klub dan sepak bola dunia: Tragedi Heysel pada 1985 dan Tragedi Hillsborough pada 1989. Kedua peristiwa memilukan ini tidak hanya meninggalkan luka mendalam bagi para penggemar dan keluarga korban, tetapi juga disebut-sebut memengaruhi mentalitas dan atmosfer di dalam klub. Beberapa pengamat bahkan mulai menjulukinya sebagai “kutukan Liverpool,” seolah ada kekuatan tak terlihat yang menghalangi mereka meraih kembali kejayaan di liga. Ini bukan sekadar kekalahan di lapangan, tapi beban psikologis yang begitu berat untuk ditanggung.

Era Gelap 90-an dan Awal Milenium Baru

Setelah Dalglish mundur pada 1991, Liverpool memasuki masa-masa sulit. Era Premier League yang dimulai pada 1992 membawa persaingan yang makin ketat, dan Liverpool seolah tertinggal. Manchester United di bawah Sir Alex Ferguson mulai mendominasi, sementara Arsenal, Chelsea, dan bahkan Blackburn Rovers juga sempat merasakan manisnya gelar. Liverpool pada era ini, meski kerap dihuni pemain-pemain berbakat seperti Robbie Fowler, Steve McManaman, atau Michael Owen, seringkali dijuluki “Spice Boys” karena gaya hidup mewah mereka di luar lapangan yang dianggap lebih menonjol daripada konsistensi di lapangan.

Mereka seringkali tampil memukau di beberapa pertandingan, namun tak pernah bisa mempertahankan konsistensi sepanjang musim yang dibutuhkan untuk menjadi juara liga. Gelar piala domestik seperti Piala FA dan Piala Liga memang sempat mereka raih, bahkan treble di bawah Gerard Houllier pada 2001 (Piala FA, Piala Liga, Piala UEFA). Namun, gelar liga tetap menjadi buruan yang tak kunjung datang.

Drama Nyaris Juara yang Bikin Sakit Hati

Selama 30 tahun itu, ada banyak momen di mana para Kopites, sebutan untuk pendukung Liverpool, merasa gelar liga sudah di depan mata. Namun, dewi fortuna seolah enggan berpihak.

Kegagalan Dramatis di Bawah Rafa Benitez

Musim 2008/09 adalah salah satu musim paling menjanjikan di bawah manajer Rafael Benitez. Skuad The Reds saat itu tampil luar biasa, dengan duet Steven Gerrard dan Fernando Torres yang sangat mematikan di lini depan. Mereka berhasil mengalahkan Manchester United di Old Trafford dengan skor telak 4-1 dan mencetak banyak gol.

Tim ini bermain dengan semangat yang membara, penuh strategi dan kekuatan. Sayangnya, meski hanya kalah dua kali sepanjang musim, serangkaian hasil imbang membuat mereka gagal menyalip Manchester United yang tampil lebih konsisten. Rasanya sungguh pahit, karena mereka bermain sangat baik, namun selisih tipis poin di akhir musim membuat gelar itu kembali melayang ke tangan rival abadi mereka.

Pukulan Telak: Insiden “The Slip” Steven Gerrard

Namun, yang paling menyakitkan dan masih membekas di ingatan para fans hingga kini adalah musim 2013/14. Di bawah asuhan manajer Brendan Rodgers, Liverpool tampil dengan sepak bola menyerang yang atraktif dan mendebarkan. Luis Suarez menjadi mesin gol yang tak terbendung, didukung oleh Daniel Sturridge dan Raheem Sterling. Mereka memimpin klasemen dengan beberapa pertandingan tersisa, dan euforia di Anfield mencapai puncaknya. Para pendukung mulai berani membayangkan kapten mereka, Steven Gerrard, akan mengangkat trofi liga pertama dalam kariernya dan mengakhiri penantian panjang klub.

Momen krusial terjadi saat Liverpool menjamu Chelsea di Anfield. Dengan kemenangan akan memperlebar jarak di puncak klasemen, tekanan ada di pundak setiap pemain. Namun, takdir berkata lain. Di penghujung babak pertama, saat pertandingan masih 0-0, Steven Gerrard terpeleset saat menerima bola di lini tengah. Insiden yang terlihat sepele itu berujung fatal. Demba Ba dari Chelsea berhasil merebut bola dan mencetak gol. Liverpool akhirnya kalah 0-2.

Kekalahan itu bukan hanya sekadar kehilangan tiga poin, melainkan pukulan telak yang meruntuhkan mental tim dan harapan jutaan fans. Momen “the slip” itu menjadi ikonik, sering diejek oleh fans rival, dan menjadi simbol betapa dekatnya Liverpool dengan gelar, namun juga betapa tragisnya mereka gagal mendapatkannya. “Momen itu menghancurkan kami semua,” kenang seorang Kopite veteran, “Rasanya seperti kutukan itu nyata, dan takkan pernah berakhir.”

Klopp Datang Membawa Harapan Baru

Segalanya mulai berubah drastis ketika Jurgen Klopp ditunjuk sebagai manajer pada Oktober 2015. Pelatih asal Jerman ini datang dengan karisma, senyum lebar, dan filosofi sepak bola yang revolusioner: gegenpressing. Ia tak hanya membawa taktik baru, tapi juga semangat kolektif dan mentalitas pantang menyerah yang ia sebut “heavy metal football.”

Klopp tidak langsung membawa Liverpool juara, namun ia secara bertahap membangun skuad impian. Ia mendatangkan pemain-pemain kunci yang kemudian menjadi legenda klub: Mohamed Salah, Sadio Mané, Roberto Firmino yang membentuk trio lini depan mematikan, serta pilar pertahanan Virgil van Dijk dan kiper Alisson Becker yang mengubah tim menjadi sangat kokoh.

Dalam beberapa musim awal Klopp, Liverpool memang beberapa kali nyaris juara. Mereka kalah di final Liga Europa 2016, final Liga Champions 2018, dan sempat kalah tipis dari Manchester City di Premier League musim 2018/19 dengan selisih 1 poin saja. Namun, setiap kegagalan itu justru membuat tim semakin kuat dan percaya diri. Puncaknya adalah ketika Liverpool berhasil menjuarai Liga Champions pada 2019, mengalahkan Tottenham Hotspur di final. Itu menjadi pertanda kuat bahwa kebangkitan sudah dekat, dan mereka sudah siap untuk tantangan yang lebih besar.

Berikut adalah beberapa pemain kunci yang didatangkan Klopp dan menjadi tulang punggung tim juara:

Pemain Posisi Didatangkan dari Tahun
Sadio Mané Penyerang Sayap Southampton 2016
Mohamed Salah Penyerang Sayap AS Roma 2017
Andrew Robertson Bek Kiri Hull City 2017
Virgil van Dijk Bek Tengah Southampton 2018 (Januari)
Alisson Becker Kiper AS Roma 2018
Fabinho Gelandang Bertahan AS Monaco 2018

Akhir Kutukan 30 Tahun yang Begitu Emosional

Penantian panjang yang penuh dengan drama, air mata, dan harapan akhirnya terbayar lunas pada musim 2019/20. Liverpool tampil dominan sejak awal musim. Mereka memecahkan rekor demi rekor, mengukir kemenangan beruntun, dan menunjukkan konsistensi luar biasa yang belum pernah terlihat dalam beberapa dekade terakhir. Mereka membangun selisih poin yang sangat besar di puncak klasemen, jauh meninggalkan para pesaing.

Namun, di tengah euforia, dunia dihantam pandemi Covid-19. Kompetisi sempat tertunda, dan ada kekhawatiran gelar mungkin akan dibatalkan. Hal ini menambah ketegangan bagi para penggemar yang sudah menunggu begitu lama. Beruntung, kompetisi kembali dilanjutkan, dan Liverpool hanya butuh beberapa pertandingan lagi untuk mengunci gelar.

Momen bersejarah itu tiba pada 25 Juni 2020. Liverpool memastikan gelar Premier League setelah pesaing terdekat mereka, Manchester City, kalah 2-1 dari Chelsea. Para pemain Liverpool yang sedang menonton pertandingan itu bersama-sama di hotel langsung meledak dalam kegembiraan. Dengan 99 poin yang mengesankan, The Reds secara resmi mengakhiri kutukan 30 tahun tanpa gelar liga.

Para Kopites di seluruh dunia pun merayakan momen yang tak terlupakan ini, meskipun harus menahan diri dari pesta besar di jalanan karena protokol pandemi. Namun, perayaan online dan di rumah-rumah tetap penuh dengan luapan emosi. Air mata kebahagiaan membanjiri wajah-wajah yang sudah lama menunggu. “Rasanya seperti gunung besar yang menindih akhirnya terangkat,” kata seorang fans yang sudah mengikuti Liverpool sejak era 80-an. “Ini bukan cuma gelar, ini pembebasan.”

Sejarawan sepak bola, Simon Hughes, bahkan mengatakan, “Kemenangan Liverpool pada 2020 bukan sekadar soal trofi, tapi simbol bahwa klub ini mampu bangkit dari trauma masa lalu dan membuktikan bahwa semangat ‘You’ll Never Walk Alone’ itu nyata.”

Perayaan yang Tak Terlupakan (Meski Tanpa Massa)

Meskipun parade juara besar-besaran yang biasanya meramaikan jalanan Liverpool tidak bisa dilakukan, momen pengangkatan trofi di Anfield tetap menjadi pemandangan yang mengharukan. Para pemain dan staf merayakan dengan penuh suka cita di hadapan tribun kosong, namun jutaan pasang mata dari seluruh dunia menyaksikan lewat layar kaca. Jurgen Klopp dan para pemainnya menunjukkan persatuan dan kekuatan tim yang luar biasa.

Berikut adalah cuplikan perayaan trofi Premier League Liverpool 2020 (simulasi video YouTube):

Video: Highlights Perayaan Trofi Premier League Liverpool 2020
Deskripsi: Saksikan momen emosional saat Jordan Henderson mengangkat trofi Premier League, mengakhiri penantian 30 tahun Liverpool, meskipun tanpa kehadiran suporter di stadion.
URL: [https://www.youtube.com/watch?v=LiverpoolPremierLeague2020Celebration](https://www.youtube.com/watch?v=dummy_url_for_liverpool_celebration)

Lebih dari Sekadar Gelar: Sebuah Warisan dan Identitas

Bagi banyak fans, gelar 2020 terasa lebih istimewa daripada sekadar trofi di lemari. Ini bukan hanya karena memutus penantian tiga dekade, tetapi juga karena mempertegas identitas Liverpool sebagai klub yang tak pernah menyerah, klub yang punya semangat juang tak terbatas.

Meski sempat jatuh ke titik terendah, termasuk gagal menembus Liga Champions di era 1990-an dan harus berjuang keras di awal 2000-an, Liverpool selalu punya basis fans setia yang tak pernah lelah bernyanyi, “You’ll Never Walk Alone.” Lagu itu bukan sekadar melodi, melainkan sebuah janji dan filosofi yang mengikat klub dan pendukungnya. Gelar ini adalah hadiah untuk kesetiaan dan kesabaran mereka.

Kini, setelah Jurgen Klopp membuka jalan dan membuktikan bahwa “kutukan” itu bisa dipatahkan, banyak yang percaya bahwa Liverpool sudah keluar dari bayang-bayang masa lalu. Klub ini kembali masuk jajaran elit dunia, bersaing ketat dengan raksasa seperti Manchester City, Arsenal, dan Chelsea di Inggris, serta klub-klub top Eropa lainnya. Klopp telah meninggalkan warisan yang tak hanya berupa trofi, tetapi juga mentalitas pemenang yang akan terus menginspirasi generasi pemain dan penggemar.

Kutukan yang Kini Jadi Bagian dari Legenda

Kutukan 30 tahun ini kini justru menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita besar Liverpool. Dari tragedi yang memilukan, kegagalan-kegagalan pahit yang menguras emosi, hingga akhirnya bangkit bersama Jurgen Klopp, semua membentuk kisah epik yang akan selalu diceritakan dari generasi ke generasi.

Ini adalah bukti bahwa dalam sepak bola, kesabaran, kerja keras, dan kepercayaan pada sebuah visi bisa mengatasi segala rintangan, bahkan yang terasa seperti kutukan sekalipun. Liverpool telah mengajarkan kita bahwa bahkan setelah menunggu sangat lama, kemenangan itu akan terasa semakin manis dan tak terlupakan.

Apa momen paling berkesan bagimu selama penantian 30 tahun Liverpool ini? Atau mungkin, bagaimana perasaanmu saat “kutukan” itu akhirnya pecah? Yuk, bagikan ceritamu di kolom komentar!

Posting Komentar