BPJS: Ini Daftar Penyakit yang Gak Dicover & Iuran Terbaru (Setelah Kelas Dihapus!)

Table of Contents

Ilustrasi Pasien Dirawat di Rumah Sakit

Halo, Bunda! Bicara soal kesehatan, BPJS Kesehatan pasti jadi salah satu hal penting yang selalu kita pertimbangkan. Sebagai program jaminan kesehatan nasional dari pemerintah, BPJS Kesehatan dirancang untuk memastikan seluruh masyarakat Indonesia punya akses ke layanan kesehatan yang layak dan terjangkau. Tujuannya mulia banget, yaitu supaya semua orang bisa mendapatkan perlindungan kesehatan tanpa terkendala biaya. Ini adalah upaya negara untuk menciptakan kesetaraan dalam akses kesehatan, memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam mendapatkan perawatan medis.

Namun, penting juga nih buat kita tahu kalau nggak semua jenis penyakit, tindakan medis, atau layanan kesehatan bisa dicover sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan. Ada beberapa ketentuan khusus yang perlu kita pahami agar nggak salah kaprah nantinya. Selain itu, ada kabar besar yang patut kita cermati: mulai bulan September 2025, sistem kelas rawat inap yang selama ini kita kenal (kelas 1, 2, dan 3) akan resmi diganti dengan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Perubahan ini tentu akan membawa dampak, termasuk pada skema iuran yang harus kita bayarkan sebagai peserta.

Maka dari itu, yuk kita bedah tuntas semua informasinya biar Bunda dan keluarga makin paham dan siap menghadapi perubahan ini. Mulai dari daftar penyakit yang nggak ditanggung, sampai gambaran iuran terbaru setelah sistem kelas dihapus. Pokoknya, simak terus sampai akhir ya, Bunda! Informasi ini penting banget buat perencanaan kesehatan keluarga kita ke depannya.

21 Penyakit dan Layanan yang Tak Ditanggung BPJS Kesehatan per September 2025

Meskipun BPJS Kesehatan memberikan manfaat yang sangat besar, ada baiknya kita juga memahami batasannya. Nggak semua layanan kesehatan bisa dicover, lho. Aturan ini, seperti yang banyak dikutip dari berbagai sumber terpercaya seperti CNBC, sebenarnya sudah tertuang jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Tujuannya adalah untuk menjaga keberlanjutan program dan memastikan alokasi dana tepat sasaran untuk kebutuhan medis esensial.

Berikut ini adalah 21 jenis penyakit dan layanan yang tidak termasuk dalam tanggungan BPJS Kesehatan. Mari kita cermati satu per satu agar tidak ada mispersepsi di kemudian hari:

  1. Penyakit Akibat Wabah atau Kejadian Luar Biasa: BPJS Kesehatan tidak menanggung penyakit yang disebabkan oleh wabah atau kondisi darurat kesehatan masyarakat yang ditetapkan pemerintah sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Penanganan untuk kondisi seperti ini biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah atau pusat melalui anggaran khusus, demi memastikan respons cepat dan menyeluruh tanpa membebani individu. Contohnya, saat pandemi, biaya pengobatan COVID-19 sering kali ditanggung oleh negara di luar skema BPJS.
  2. Layanan Terkait Kecantikan dan Estetika: Prosedur medis yang tujuan utamanya adalah mempercantik diri atau meningkatkan penampilan, seperti operasi plastik, filler, botox, atau perawatan kulit non-medis, tidak ditanggung. BPJS Kesehatan fokus pada layanan yang memiliki indikasi medis atau tujuan penyembuhan dan pemulihan fungsi tubuh, bukan untuk tujuan kosmetik.
  3. Perawatan Gigi untuk Tujuan Estetika: Ini termasuk tindakan seperti pemasangan behel (ortodonti) untuk merapikan gigi, bleaching gigi, atau implan gigi yang tujuannya semata-mata estetika. Namun, perlu diingat bahwa BPJS tetap menanggung beberapa perawatan gigi yang bersifat medis, seperti pencabutan gigi, pembersihan karang gigi setahun sekali, atau penambalan gigi berlubang. Jadi, pastikan ada indikasi medisnya ya, Bunda.
  4. Penyakit Akibat Tindak Pidana: Jika seseorang mengalami penyakit atau cedera yang diakibatkan oleh tindak pidana seperti kekerasan seksual, penganiayaan, atau perkelahian, biaya pengobatannya tidak ditanggung BPJS. Tanggung jawab biaya ini biasanya dibebankan kepada pelaku tindak pidana atau korban bisa menuntut ganti rugi secara hukum.
  5. Penyakit atau Cedera Akibat Sengaja Menyakiti Diri Sendiri atau Usaha Bunuh Diri: Ini adalah salah satu pengecualian yang penting untuk dipahami. BPJS Kesehatan tidak akan menanggung biaya perawatan bagi peserta yang dengan sengaja melukai dirinya sendiri atau melakukan percobaan bunuh diri. Prinsipnya adalah BPJS tidak menanggung risiko yang ditimbulkan secara sengaja oleh peserta.
  6. Penyakit yang Diakibatkan Alkohol atau Ketergantungan Obat: Pengobatan untuk kondisi yang timbul akibat penyalahgunaan alkohol atau ketergantungan narkoba atau zat adiktif lainnya juga tidak ditanggung. Ini termasuk rehabilitasi ketergantungan obat. BPJS berfokus pada penyakit yang timbul secara alami atau kecelakaan yang tidak disengaja.
  7. Pengobatan untuk Mandul atau Infertilitas: Layanan atau tindakan medis yang bertujuan untuk mengatasi masalah kesuburan, seperti program bayi tabung, inseminasi buatan, atau pengobatan untuk infertilitas, tidak termasuk dalam cakupan BPJS Kesehatan. Ini dianggap sebagai layanan yang tidak esensial dalam konteks jaminan kesehatan dasar.
  8. Penyakit atau Cedera Akibat Kejadian yang Tidak Dapat Dicegah: Ini merujuk pada kondisi seperti tawuran, huru-hara, atau bencana alam yang dampaknya di luar kendali individu. Namun, untuk bencana alam skala besar, biasanya ada pos anggaran khusus dari pemerintah untuk penanganan kesehatan korban. Jadi, kasusnya bisa berbeda tergantung situasi.
  9. Pelayanan Kesehatan yang Dilakukan di Luar Negeri: BPJS Kesehatan hanya berlaku untuk pelayanan kesehatan yang diberikan di fasilitas kesehatan yang berada di wilayah Republik Indonesia. Jika Bunda atau keluarga membutuhkan perawatan di luar negeri, biayanya harus ditanggung secara mandiri atau menggunakan asuransi perjalanan/kesehatan internasional.
  10. Pengobatan dan Tindakan Medis yang Dikategorikan sebagai Percobaan atau Eksperimen: Layanan kesehatan yang masih dalam tahap penelitian, uji klinis, atau belum terbukti secara medis efektivitas dan keamanannya tidak ditanggung oleh BPJS. BPJS hanya mengcover layanan yang sudah standar dan diakui dalam praktik kedokteran.
  11. Pengobatan Tradisional atau Alternatif yang Belum Terbukti Secara Medis: Metode pengobatan tradisional, alternatif, atau komplementer yang belum memiliki dasar ilmiah yang kuat atau belum diakui secara resmi oleh Kementerian Kesehatan sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan nasional, tidak ditanggung. Contohnya pengobatan supranatural atau dukun.
  12. Alat Kontrasepsi: BPJS Kesehatan tidak menanggung biaya pengadaan alat kontrasepsi seperti pil KB, suntik KB, IUD, atau implan. Layanan KB (konsultasi dan pemasangan) memang di-cover di Faskes tingkat pertama, namun alat kontrasepsinya tidak. Biasanya program ini didukung oleh program pemerintah lain seperti BKKBN.
  13. Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga: Barang-barang yang termasuk dalam kategori perbekalan kesehatan rumah tangga, seperti tisu, sabun antiseptik, pembalut, atau alat kebersihan pribadi lainnya, tidak ditanggung BPJS. Fokus BPJS adalah pada alat kesehatan yang digunakan dalam prosedur medis atau pengobatan.
  14. Pelayanan Kesehatan yang Tidak Sesuai dengan Aturan: Ini mencakup berbagai situasi, misalnya rujukan yang tidak sesuai prosedur (atas permintaan sendiri tanpa indikasi medis), atau pelayanan yang tidak mengikuti alur rujukan berjenjang. Penting untuk selalu mengikuti prosedur yang telah ditetapkan BPJS agar klaim tidak ditolak.
  15. Perawatan di Fasilitas Kesehatan yang Tidak Bekerja Sama dengan BPJS (Kecuali Darurat): Kecuali dalam kondisi gawat darurat yang mengancam nyawa, BPJS Kesehatan hanya menanggung biaya perawatan di rumah sakit atau klinik yang sudah menjalin kerja sama atau terdaftar sebagai mitra BPJS. Jika Bunda memilih ke faskes non-mitra dalam kondisi non-darurat, biayanya akan ditanggung sendiri.
  16. Pelayanan Kesehatan Terhadap Penyakit atau Cedera Akibat Kecelakaan Kerja yang Telah Dijamin oleh Program Jaminan Kecelakaan Kerja: Jika seseorang mengalami kecelakaan kerja, biaya pengobatannya seharusnya ditanggung oleh program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dari BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan tidak akan mendobel perlindungan yang sudah ada.
  17. Pelayanan Kesehatan yang Dijamin oleh Program Jaminan Kecelakaan Lalu Lintas yang Bersifat Wajib Sesuai Hak Kelas Rawat Peserta: Serupa dengan kecelakaan kerja, jika kecelakaan lalu lintas telah dijamin oleh program lain (misalnya Jasa Raharja), maka BPJS Kesehatan tidak menanggungnya lagi. Ini untuk menghindari tumpang tindih jaminan.
  18. Pelayanan Kesehatan Tertentu yang Berkaitan dengan Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Polri: Anggota TNI/Polri dan keluarganya memiliki sistem jaminan kesehatan khusus di bawah institusi mereka. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kementerian/lembaga tersebut tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
  19. Pelayanan Kesehatan yang Diselenggarakan dalam Rangka Bakti Sosial: Layanan kesehatan yang diberikan dalam acara bakti sosial atau kegiatan amal biasanya sudah memiliki sumber dana tersendiri. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan tidak menanggung biaya pelayanan tersebut.
  20. Pelayanan yang Sudah Ditanggung oleh Program Lain: Prinsipnya adalah menghindari tumpang tindih jaminan. Jika suatu pelayanan kesehatan sudah dicover oleh asuransi lain atau program pemerintah lainnya, BPJS Kesehatan tidak akan ikut menanggungnya. Ini memastikan efisiensi dan keadilan dalam penggunaan dana.
  21. Pelayanan Lain yang Tidak Ada Kaitannya dengan Jaminan Kesehatan: Kategori ini mencakup hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan upaya penyembuhan, pencegahan, atau pemulihan kesehatan. Misalnya, pembuatan surat keterangan sehat untuk keperluan non-medis seperti melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah.

Memahami daftar ini sangat penting agar kita bisa merencanakan keuangan untuk kesehatan dengan lebih baik. Jika ada kebutuhan medis yang tidak dicover BPJS, kita bisa mempersiapkan dana pribadi atau mencari opsi asuransi tambahan.

Tabel Ringkasan Eksklusi BPJS Kesehatan

Agar lebih mudah dipahami, yuk kita lihat ringkasan beberapa kategori eksklusi utama BPJS Kesehatan:

Kategori Eksklusi Contoh Layanan/Kondisi Alasan Utama Tidak Dicover
Estetika Operasi plastik, behel, bleaching gigi Tidak ada indikasi medis, fokus pada penampilan.
Tindak Pidana/Sengaja Cedera akibat tawuran, percobaan bunuh diri Risiko yang timbul secara sengaja atau akibat pelanggaran hukum.
Penyakit Adiktif Pengobatan ketergantungan alkohol/narkoba Diakibatkan oleh gaya hidup dan penyalahgunaan zat.
Fertilitas Program bayi tabung, pengobatan mandul Dianggap layanan non-esensial dalam cakupan dasar.
Luar Negeri/Non-Mitra Perawatan di luar negeri, faskes non-BPJS (non-darurat) Cakupan geografis terbatas, harus di faskes mitra.
Eksperimen/Alternatif Pengobatan percobaan, dukun Belum terbukti ilmiah/medis, tidak standar.
Program Lain Kecelakaan kerja/lalin, bakti sosial Sudah dicover oleh program jaminan lain atau sumber dana lain.
Perbekalan Rumah Tangga Alat kontrasepsi, tisu, sabun Bukan alat medis, kategori kebutuhan rumah tangga.
Non-Prosedural Rujukan atas permintaan sendiri Tidak mengikuti alur dan prosedur yang ditetapkan.

Dengan memahami tabel ini, diharapkan Bunda memiliki gambaran yang lebih jelas tentang apa saja yang tidak dapat ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Ini bukan berarti BPJS tidak bermanfaat, justru sebaliknya, ini menunjukkan fokus BPJS pada layanan kesehatan yang esensial dan berbasis kebutuhan medis.

Iuran BPJS Kesehatan Setelah Skema Kelas Dihapus: Menuju KRIS

Nah, ini dia salah satu perubahan paling signifikan yang akan kita hadapi! Mulai September 2025, sistem kelas rawat inap yang sudah ada sejak BPJS Kesehatan berdiri (kelas 1, 2, dan 3) akan dihapuskan secara bertahap. Sebagai gantinya, pemerintah akan menerapkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Ini adalah langkah revolusioner yang bertujuan untuk mewujudkan pemerataan fasilitas dan layanan, lho!

Mengenal Lebih Dekat KRIS: Apa Itu dan Mengapa Penting?

Konsep KRIS ini lahir dari keinginan untuk memastikan bahwa semua peserta BPJS Kesehatan, terlepas dari status ekonomi atau besaran iuran, bisa mendapatkan fasilitas rawat inap yang memenuhi standar minimum. Jadi, tidak akan ada lagi perbedaan signifikan antar-ruangan hanya karena beda kelas. Ini artinya, pengalaman rawat inap peserta kelas III sekalipun diharapkan akan jauh lebih baik dan setara dengan fasilitas yang sebelumnya hanya bisa dinikmati oleh kelas di atasnya.

Pemerintah telah menetapkan 12 kriteria minimal yang harus dipenuhi oleh setiap kamar rawat inap di rumah sakit yang melayani pasien BPJS Kesehatan. Kriteria ini dirancang untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kenyamanan pasien. Apa saja 12 kriteria tersebut? Yuk, kita bahas satu per satu:

  1. Komponen Bangunan yang Digunakan Tidak Memiliki Tingkat Kerusakan Lebih dari 10 Persen: Struktur bangunan kamar harus dalam kondisi baik dan aman, tidak ada kerusakan yang signifikan yang bisa membahayakan atau mengurangi kenyamanan pasien.
  2. Suhu Ruangan Stabil 20-26 Derajat Celcius: Setiap kamar rawat inap harus dilengkapi dengan pendingin ruangan (AC) yang berfungsi optimal untuk menjaga suhu ruangan tetap nyaman, tidak terlalu panas atau dingin, yang sangat penting untuk proses pemulihan pasien.
  3. Terdapat Pembagian Ruang Rawat Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, dan Jenis Penyakit: Ini penting untuk privasi dan kenyamanan pasien. Misalnya, pasien anak-anak terpisah dari dewasa, laki-laki terpisah dari perempuan, dan pasien dengan penyakit menular terpisah dari pasien umum.
  4. Kepadatan Hunian Ruang Rawat Inap Maksimal 4 Pasien per Kamar: Setiap kamar hanya boleh diisi maksimal empat pasien. Ini untuk mengurangi risiko penularan penyakit, memberikan ruang gerak yang cukup, dan menjaga privasi masing-masing pasien. Ini jauh lebih baik dibandingkan kondisi di beberapa rumah sakit sebelumnya yang bisa menampung lebih dari 6 pasien per kamar kelas III.
  5. Tinggi Pembatas Antar Tempat Tidur Minimal 1,2 Meter: Pembatas atau tirai antar tempat tidur harus cukup tinggi (minimal 1,2 meter) untuk memberikan privasi visual bagi pasien dan keluarga yang menjenguk, sehingga tidak mudah terlihat oleh pasien lain.
  6. Jarak Antar Tepi Tempat Tidur Minimal 1 Meter: Setiap tempat tidur harus memiliki jarak yang cukup satu sama lain, minimal 1 meter, untuk memudahkan akses petugas medis, alat bantu, dan juga untuk kenyamanan pasien.
  7. Terdapat Kamar Mandi di Dalam Ruangan Rawat Inap: Setiap kamar rawat inap harus memiliki kamar mandi pribadi yang dilengkapi dengan shower atau gayung dan kloset. Ini sangat penting untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan pasien, mengurangi risiko infeksi, serta memudahkan pasien yang membutuhkan toilet tanpa harus keluar kamar.
  8. Kamar Mandi Memenuhi Standar Aksesibilitas: Artinya, kamar mandi harus ramah disabilitas, dengan pegangan tangan (handrail) dan lantai anti-slip, sehingga aman dan mudah digunakan oleh pasien dengan keterbatasan fisik.
  9. Terdapat Outlet Oksigen: Setiap tempat tidur pasien harus memiliki akses ke outlet oksigen yang berfungsi, karena oksigen adalah kebutuhan esensial bagi banyak pasien yang dirawat inap.
  10. Ventilasi Udara Memenuhi Standar: Sistem ventilasi udara harus memadai untuk memastikan sirkulasi udara yang baik dan menjaga kualitas udara di dalam ruangan, mengurangi risiko penyebaran kuman.
  11. Pencahayaan Ruangan Memenuhi Standar: Pencahayaan di dalam kamar harus cukup terang namun tidak menyilaukan, sesuai dengan standar kesehatan, untuk kenyamanan pasien dan memudahkan petugas medis melakukan pemeriksaan.
  12. Nakas Per Tempat Tidur: Setiap tempat tidur pasien harus dilengkapi dengan nakas atau meja kecil di samping tempat tidur. Ini berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang pribadi pasien seperti obat-obatan, buku, atau gelas minum, sehingga mudah dijangkau.

Penerapan KRIS ini adalah harapan besar untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia secara merata. Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk memberikan yang terbaik bagi para peserta BPJS Kesehatan.

mermaid graph TD A[Sistem Kelas Rawat Inap Lama] -->|Dihapus Sep 2025| B[Kelas Rawat Inap Standar (KRIS)] B --> C{12 Kriteria KRIS} C --> C1[Komponen Bangunan Baik] C --> C2[Suhu Ruangan Nyaman] C --> C3[Pembagian Ruang Jelas] C --> C4[Max 4 Pasien/Kamar] C --> C5[Pembatas TT Min 1,2m] C --> C6[Jarak TT Min 1m] C --> C7[Kamar Mandi Dalam] C --> C8[Kamar Mandi Aksesibel] C --> C9[Outlet Oksigen] C --> C10[Ventilasi Standar] C --> C11[Pencahayaan Standar] C --> C12[Nakas Per TT] B --> D[Penyesuaian Iuran] D --> D1{8 Skenario Iuran Dikaji}
Diagram di atas menunjukkan transisi dari sistem kelas lama ke KRIS, beserta kriteria yang harus dipenuhi dan dampaknya terhadap iuran.

Gambaran Umum Iuran BPJS Kesehatan Saat Ini (Sebelum Penyesuaian KRIS)

Meskipun sistem kelas akan dihapus dan iuran baru sedang dikaji, penting untuk mengetahui skema iuran yang berlaku saat ini. Ini akan menjadi patokan sebelum ada penyesuaian resmi. Peraturan yang masih menjadi acuan adalah Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2022. Yuk, kita lihat detailnya:

  1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI):

    • Untuk peserta kategori ini, iuran akan dibayarkan penuh oleh pemerintah. Siapa saja yang termasuk PBI? Mereka adalah masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial. Pemerintah menjamin mereka bisa mengakses layanan kesehatan tanpa perlu membayar iuran sepeser pun.
    • Kategori ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan kesehatan kepada kelompok masyarakat yang paling rentan, sehingga mereka tidak perlu khawatir tentang biaya berobat.
  2. Pekerja Penerima Upah (PPU) di Instansi Pemerintah (PNS, TNI, Polri, Pejabat Negara, dll.):

    • Besaran iurannya adalah 5% dari gaji atau upah per bulan.
    • Pembagian tanggungannya adalah 4% ditanggung oleh pemberi kerja (pemerintah/institusi) dan 1% ditanggung oleh pekerja yang bersangkutan.
    • Contohnya, jika gaji seorang PNS adalah Rp 5.000.000 per bulan, maka iuran BPJS Kesehatan per bulannya adalah 5% dari Rp 5.000.000 = Rp 250.000. Dari jumlah ini, pemerintah akan menanggung Rp 200.000 dan PNS tersebut akan membayar Rp 50.000.
  3. PPU di BUMN, BUMD, dan Swasta:

    • Skema iurannya sama persis dengan PPU di instansi pemerintah. Yaitu, 5% dari gaji atau upah per bulan.
    • Pembagiannya juga sama: 4% ditanggung oleh perusahaan dan 1% ditanggung oleh pekerja.
    • Ini menunjukkan keseragaman kebijakan untuk pekerja formal, baik di sektor publik maupun swasta. Perusahaan memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan karyawannya terlindungi kesehatannya.
  4. Keluarga Tambahan PPU:

    • Ini berlaku untuk anggota keluarga PPU yang tidak secara otomatis terdaftar dalam tanggungan utama (biasanya anak ke-4 dan seterusnya, orang tua, dan mertua).
    • Iuran untuk setiap keluarga tambahan adalah 1% dari gaji atau upah per orang per bulan. Iuran ini ditanggung sepenuhnya oleh PPU yang bersangkutan.
    • Misalnya, jika seorang PPU ingin mendaftarkan mertuanya, dan gajinya Rp 5.000.000, maka akan ada tambahan iuran sebesar Rp 50.000 per bulan untuk mertua tersebut.
  5. Peserta Mandiri (PBPU/Bukan Pekerja):

    • Kategori ini diperuntukkan bagi mereka yang bekerja secara mandiri, wiraswasta, atau tidak memiliki ikatan kerja formal. Mereka memilih sendiri kelas perawatan dan membayar iuran secara penuh.
    • Sebelum KRIS, ada tiga pilihan kelas dengan iuran yang berbeda:
      • Kelas I: Rp 150.000 per bulan.
      • Kelas II: Rp 100.000 per bulan.
      • Kelas III: Rp 42.000 per bulan.
    • Pemerintah juga masih memberikan subsidi iuran sebagian untuk peserta kelas III. Ini berarti, meskipun iuran nominalnya Rp 42.000, pemerintah sebenarnya menanggung sebagian dari biaya tersebut agar iuran kelas III tetap terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah.

Iuran BPJS Kesehatan yang Baru: Menanti Keputusan Final

Seperti yang sudah disinggung di awal, skema iuran yang berlaku saat ini berpotensi besar untuk berubah seiring dengan penerapan KRIS. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, pernah menyampaikan bahwa ada delapan skenario penyesuaian iuran yang sedang dikaji bersama pemerintah. Ini menunjukkan betapa kompleksnya perhitungan iuran yang baru, karena harus mempertimbangkan banyak faktor:

  • Keberlanjutan finansial BPJS Kesehatan: Iuran harus cukup untuk membiayai seluruh layanan kesehatan standar yang diberikan.
  • Keterjangkauan bagi masyarakat: Iuran tidak boleh terlalu mahal sehingga membebani peserta, terutama yang kurang mampu.
  • Kualitas layanan: Dengan fasilitas KRIS yang lebih baik, tentu ada ekspektasi peningkatan kualitas, yang mungkin berimplikasi pada biaya.
  • Prinsip gotong royong: Bagaimana skema iuran yang baru tetap mencerminkan prinsip gotong royong antar peserta.

Beberapa opsi yang mungkin dipertimbangkan dalam skenario tersebut antara lain:
* Iuran Flat Rate: Semua peserta membayar iuran dengan jumlah yang sama, tanpa memandang pendapatan. Ini akan menyederhanakan sistem, namun mungkin kurang adil bagi yang berpenghasilan rendah.
* Iuran Berdasarkan Pendapatan (Income-Based): Iuran disesuaikan dengan kemampuan ekonomi peserta. Semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi iurannya. Ini lebih adil namun memerlukan sistem verifikasi data pendapatan yang akurat.
* Kombinasi: Mungkin ada iuran dasar yang flat, ditambah persentase dari pendapatan di atas ambang batas tertentu.

Pemerintah dan BPJS Kesehatan tentu akan mencari formula terbaik yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh pihak. Kita semua harus bersabar menanti pengumuman resminya. Yang jelas, dengan dihapusnya kelas dan diberlakukannya KRIS, diharapkan akan ada peningkatan signifikan pada kualitas pelayanan rawat inap yang dirasakan oleh seluruh peserta.

Pentingnya Memahami Aturan BPJS Kesehatan untuk Keluarga

Mendapatkan informasi yang akurat dan memahami aturan main BPJS Kesehatan sangat penting bagi setiap keluarga. Dengan memahami apa saja yang dicover dan tidak dicover, Bunda bisa lebih bijak dalam merencanakan keuangan keluarga, terutama untuk kebutuhan kesehatan. Misalnya, jika ada anggota keluarga yang berencana melakukan perawatan estetika atau program kehamilan yang tidak ditanggung, Bunda bisa mempersiapkan dana khusus atau mencari opsi asuransi tambahan yang sesuai.

Selain itu, dengan mengetahui perubahan sistem KRIS dan potensi penyesuaian iuran, kita bisa mempersiapkan diri secara finansial. Ini juga momen yang baik untuk kembali mengecek kepesertaan BPJS Kesehatan keluarga, apakah sudah aktif, bagaimana status iurannya, dan memastikan semua anggota keluarga yang harus terdaftar sudah tercover.

Jangan ragu untuk selalu mencari informasi terbaru dari sumber-sumber resmi BPJS Kesehatan, baik melalui website, media sosial, atau kantor cabang terdekat. Kesehatan adalah investasi jangka panjang, dan dengan BPJS Kesehatan, kita punya jaring pengaman yang kuat.


Bagaimana menurut Bunda tentang perubahan ini? Apakah Bunda menyambut baik sistem KRIS atau justru punya kekhawatiran terkait penyesuaian iuran? Yuk, bagikan pendapat dan pengalaman Bunda di kolom komentar di bawah! Mari kita diskusikan bersama demi kesehatan keluarga Indonesia yang lebih baik!

Posting Komentar