Buku Reggae Ras Muhamad 'Dibawa' Polisi Saat Penangkapan Direktur Lokataru, Kok Bisa?

Table of Contents

Ras Muhamad, musisi reggae kebanggaan kita, baru-baru ini bikin heboh jagat maya. Bukan karena lagu baru atau konser akbarnya, tapi karena bukunya yang berjudul Negeri Pelangi tiba-tiba saja ‘dibawa’ oleh aparat kepolisian. Kejadian ini berlangsung saat penggeledahan terkait kasus dugaan penghasutan yang menimpa Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen. Tentu saja, hal ini sontak membuat Ras Muhamad dan banyak orang terheran-heran. Kok bisa buku soal reggae jadi barang bukti penghasutan?

Buku Reggae Ras Muhamad 'Dibawa' Polisi Saat Penangkapan Direktur Lokataru, Kok Bisa?

Kabar ini sontak menyebar cepat seperti api, apalagi setelah Ras Muhamad sendiri membagikan potongan berita dari Suara.com di akun Instagram pribadinya. Berita tersebut menyebutkan bahwa Negeri Pelangi ikut disita penyidik Polda Metro Jaya pada Kamis, 4 September 2025. Penggeledahan itu sendiri terjadi di apartemen orang tua Delpedro yang berlokasi di Jakarta Utara. Ini bukan kejadian sepele, karena sebuah karya literasi kini mendadak terseret dalam pusaran kasus hukum yang serius.

Keheranan Ras Muhamad dan Sorotan Publik

Bayangkan, buku yang isinya membahas persatuan dan keberagaman melalui kacamata musik reggae, tiba-tiba dikaitkan dengan tudingan penghasutan anarkis. Jelas ini menimbulkan tanda tanya besar. Ras Muhamad sendiri, melalui unggahannya di Instagram pada Minggu, 7 September 2025, tak bisa menutupi keheranannya. Ia menuliskan, “Hmmmm, buku Negeri Pelangi masih available kok di @rasmuhammad_merch. Kalo pengen bedah, menghasut darimana ya?” Pertanyaan ini seolah mewakili kebingungan banyak orang yang mengenal karya dan sosok Ras Muhamad.

Respons dari musisi yang dikenal sebagai Duta Reggae Indonesia ini memang sangat dinanti. Bukunya, yang selama ini menjadi jembatan pemahaman tentang budaya dan sejarah reggae, kini dipertanyakan relevansinya dengan kasus hukum yang menjerat orang lain. Ini memicu diskusi hangat di media sosial tentang kebebasan berekspresi, literasi, dan bagaimana sebuah karya seni bisa dimaknai atau bahkan disalahpahami dalam konteks hukum. Banyak yang bertanya-tanya, apakah aparat sudah membaca dan memahami isi buku tersebut secara mendalam sebelum menyitanya?




Delpedro Marhaen dan Tuduhan Penghasutan: Sebuah Latar Belakang

Sebelum kita menyelami lebih dalam tentang buku Negeri Pelangi, ada baiknya kita pahami dulu konteks penangkapan Delpedro Marhaen. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, mengonfirmasi penangkapan Delpedro pada 1 September 2025 lalu. Tuduhannya serius, yakni diduga melakukan ajakan atau tindakan pidana penghasutan yang provokatif untuk aksi anarkis. Yang lebih memprihatinkan, aksi ini diduga melibatkan pelajar, termasuk anak-anak di bawah umur.

Delpedro juga dituding menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keresahan masyarakat. Selain itu, ia diduga membiarkan anak di bawah umur ikut serta dalam aksi unjuk rasa tanpa perlindungan yang memadai. Tuduhan-tuduhan ini tentu saja sangat serius dan melibatkan pasal-pasal hukum yang cukup berat. Kepolisian menjerat Delpedro dengan pasal berlapis, termasuk Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan, Pasal 45A ayat (3) juncto Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang ITE, serta Pasal 76H juncto Pasal 15 juncto Pasal 87 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2024 tentang Perlindungan Anak.

Memahami Jeratan Pasal-Pasal Hukum

Mari kita bedah sedikit pasal-pasal yang dituduhkan ini. Pasal 160 KUHP adalah pasal klasik tentang penghasutan, yang intinya melarang seseorang untuk secara terang-terangan menghasut orang lain melakukan suatu perbuatan pidana atau melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang. Kemudian, Pasal 45A ayat (3) juncto Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang ITE berkaitan dengan penyebaran informasi elektronik yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ini seringkali digunakan untuk menjerat kasus hoax atau ujaran kebencian.

Terakhir, Pasal 76H juncto Pasal 15 juncto Pasal 87 Undang-Undang Perlindungan Anak menyoroti tanggung jawab terhadap anak-anak. Pasal ini bertujuan melindungi anak dari berbagai bentuk eksploitasi, termasuk keterlibatan mereka dalam aksi unjuk rasa tanpa pengawasan atau perlindungan yang memadai. Jeratan pasal-pasal ini menunjukkan betapa seriusnya kasus yang menjerat Delpedro Marhaen. Namun, pertanyaan besarnya adalah, bagaimana Negeri Pelangi, sebuah buku tentang reggae, bisa terseret dalam kompleksitas hukum seperti ini?




Reaksi Eksklusif Ras Muhamad: Suara Hati Sang Musisi

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Medcom.id, Ras Muhamad secara tegas mengungkapkan perasaannya. Ia mengaku sempat sangat kaget ketika mengetahui karya tulisnya dijadikan barang bukti yang dikaitkan dengan penghasutan. Awalnya, ia berusaha untuk tidak terlalu reaktif, namun perasaan speechless tidak dapat dihindari saat mengetahui bukunya disalahpahami sedemikian rupa. Ia merasa bingung bagaimana sebuah buku yang berisi pesan positif bisa diinterpretasikan sebagai hasutan.

“Aku mau kasih statement untuk buku Negeri Pelangi. Awalnya sih aku berusaha tidak reaktif ya, tetapi rasaku sih speechless pas buku itu dijadikan sebagai barang bukti, bahwa buku itu (dibilang) soal penghasutan lah atau apa gitu,” ungkap Ras Muhamad. Ia melanjutkan dengan nada prihatin, “Untuk soal buku, semoga kita terhindar dari soal kurangnya literasi. Karena edukasi dan juga literasi itu sangat penting, di mana kita bisa memproses sebuah informasi.” Baginya, insiden ini adalah cerminan dari tantangan literasi di masyarakat kita.

Pentingnya Literasi dan Pesan di Balik Sampul Buku

Musisi berusia 42 tahun ini juga menekankan bahwa aparat seharusnya lebih bijak dalam menilai sebuah karya. Ia mengingatkan bahwa di sampul belakang buku Negeri Pelangi sudah tertera sinopsis yang dengan jelas menjelaskan isi buku. Sinopsis itu merinci bahwa buku tersebut adalah pembahasan mengenai musik reggae, persatuan, dan keberagaman. Ini bukan buku yang berisi pesan ajakan anarkis atau provokasi.

“Berhubung juga di buku Negeri Pelangi kan di belakangnya (tertera dengan jelas) adanya sinopsis bahwa isi bukunya itu seperti ini,” tambahnya, menegaskan bahwa informasi tentang isi buku sudah tersedia bagi siapa saja yang ingin membacanya. Ras Muhamad berharap kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua untuk lebih cermat dalam memahami konteks dan isi suatu karya, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sensitif seperti hukum dan keadilan.




Mengungkap Isi “Negeri Pelangi”: Lebih dari Sekadar Musik

Buku Negeri Pelangi ini sejatinya adalah sebuah perjalanan. Buku ini berisi tentang eksplorasi Ras Muhamad sebagai musisi reggae Indonesia dalam menelusuri jejak sejarah reggae, dari akarnya hingga perkembangannya. Istilah “Negeri Pelangi” itu sendiri merujuk pada Ethiopia, sebuah wilayah yang sangat sakral bagi kaum Rastafari. Bagi mereka, Ethiopia adalah tanah harapan yang menyimbolkan semangat perjuangan untuk hidup lepas dari penindasan dan kolonialisme. Ini adalah sebuah narasi tentang kebebasan, bukan kekacauan.

Ras Muhamad sendiri sempat melakukan perjalanan mendalam ke Ethiopia dan merilis buku Negeri Pelangi pada tahun 2012 sebagai hasil dari pengalaman dan risetnya. Isi buku ini lebih banyak menceritakan sejarah reggae, tokoh-tokoh penting di baliknya, dan bagaimana musik ini beserta para pegiatnya memberikan perspektif baru terkait musik, budaya, dan kehidupan sosial. Ini adalah sebuah karya edukatif yang bertujuan memperluas wawasan pembaca tentang genre musik yang seringkali disalahpahami ini.

Reggae: Musik Perlawanan dan Persatuan

Reggae, sebagai sebuah genre musik, memang memiliki akar yang kuat dalam perlawanan sosial dan politik. Namun, perlawanan yang diusung reggae adalah perlawanan kultural dan spiritual, bukan hasutan anarkis. Melalui lirik-liriknya, musisi reggae seperti Bob Marley menyuarakan isu-isu keadilan, kesetaraan, dan persatuan. Mereka menyerukan cinta damai (One Love) dan solidaritas. Filosofi Rastafari, yang sangat terkait dengan reggae, juga menekankan pada kedamaian, kesadaran spiritual, dan pembebasan diri dari sistem yang menindas.

Sehingga, mengaitkan sebuah buku yang menjelaskan sejarah dan filosofi reggae dengan tuduhan penghasutan anarkis terasa sangat ironis. Buku Negeri Pelangi mengajak pembaca untuk memahami narasi di balik musik yang mendunia ini, meresapi pesan-pesan positif tentang persatuan dalam keberagaman, dan melihat Ethiopia sebagai simbol harapan. Ini adalah upaya untuk memperkaya khazanah literasi musik dan budaya di Indonesia, bukan sebaliknya.




Harapan Ras Muhamad untuk Indonesia yang Lebih Baik

Menutup pernyataannya, Ras Muhamad menyampaikan harapan tulus agar Indonesia lekas membaik dalam segala hal. Ia menyoroti pentingnya keberpihakan pejabat publik dan aparat kepada rakyat. Baginya, negara seharusnya hadir untuk melayani rakyat, bukan memperlakukan rakyat sebagai lawan. Pernyataan ini menunjukkan keprihatinan mendalam sang musisi terhadap kondisi sosial dan politik di tanah air.

“Semoga Indonesia membaik dalam segala hal, baik di pemerintahan maupun di lapangan. Semoga kita menuju Indonesia dengan pemerintahan yang lebih bersih, dan juga aparat lebih memihak kepada rakyat,” ucapnya. Ia mengingatkan bahwa para pejabat dan aparat dipilih serta menjabat atas nama rakyat, dan bahkan gaji mereka berasal dari pajak rakyat. Oleh karena itu, ia berharap mereka lebih mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat di atas segalanya.

Peran Negara dan Kepercayaan Publik

Pernyataan Ras Muhamad ini tidak hanya sekadar keluh kesah, melainkan sebuah seruan untuk refleksi. Ia menekankan bahwa hubungan antara negara dan rakyat seharusnya didasari oleh kepercayaan dan pelayanan, bukan rasa curiga atau konfrontasi. Ketika karya seni atau literasi dengan mudah disalahpahami atau bahkan diseret ke ranah hukum tanpa proses yang jelas, hal itu dapat mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Ini adalah panggilan bagi kita semua, termasuk para pemangku kebijakan, untuk lebih menghargai kebebasan berekspresi dan meningkatkan literasi. Dengan begitu, kita bisa membedakan antara kritik yang membangun dengan penghasutan, antara karya seni dengan provokasi, dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan bijak. Semoga insiden ini menjadi titik balik untuk perbaikan tata kelola hukum dan penegakan keadilan di Indonesia.




Melampaui Kata-Kata: Bagaimana Media Sosial Merespons

Insiden ini sontak memantik berbagai reaksi di platform media sosial. Banyak warganet yang menyuarakan dukungan untuk Ras Muhamad dan menyayangkan penyitaan buku Negeri Pelangi. Tagar-tagar terkait literasi dan kebebasan berekspresi sempat ramai, menunjukkan kepedulian publik terhadap isu ini. Kejadian ini menjadi momentum bagi banyak orang untuk kembali merenungkan pentingnya membaca, memahami konteks, dan berpikir kritis.

Mari kita bayangkan sejenak jika Ras Muhamad membagikan sebuah video di Instagram pribadinya. Mungkin video itu berisi potongan-potongan dari buku Negeri Pelangi, lengkap dengan penjelasannya tentang sejarah reggae dan filosofi Rastafari. Bisa juga ia membuat video singkat di YouTube yang membahas mengapa reggae adalah musik perdamaian dan persatuan, bukan hasutan.

Misalnya, ia bisa saja mengunggah video dengan judul:
[Video YouTube] Ras Muhamad: Mengapa Reggae Adalah Musik Perdamaian (Reaksi Penyitaan Buku Negeri Pelangi)
[Thumbnail: Ras Muhamad memegang buku Negeri Pelangi dengan latar bendera Ethiopia]
Deskripsi Video:
Halo Keluarga Ras Muhamad! Saya kaget banget waktu denger buku saya, “Negeri Pelangi”, ikut disita polisi saat penangkapan Delpedro Marhaen. Di video ini, saya mau sedikit berbagi tentang apa sebenarnya isi buku ini. Kita akan bahas sejarah reggae, dari mana inspirasinya datang, dan kenapa musik ini adalah simbol persatuan, bukan penghasutan. Yuk, sama-sama kita tingkatkan literasi agar tidak mudah salah paham! #RasMuhamad #NegeriPelangi #Reggae #Literasi #KebebasanBerekspresi

Tentu saja, reaksi-reaksi semacam ini akan memperkaya diskusi publik dan menyebarkan pesan positif tentang literasi dan pemahaman yang lebih baik. Semoga ke depannya, kejadian serupa tidak terulang, dan karya seni serta literasi dapat dihargai sesuai dengan esensinya.




Penutup: Ajakan Berdiskusi

Kasus ini memang menyisakan banyak pertanyaan dan keheranan. Bagaimana sebuah buku yang membahas sejarah musik dan budaya bisa dikaitkan dengan tindakan pidana penghasutan? Ini adalah refleksi penting tentang bagaimana kita memaknai dan menafsirkan sebuah karya dalam konteks hukum dan sosial.

Menurut kalian, apakah penyitaan buku Negeri Pelangi ini relevan dengan kasus dugaan penghasutan yang menjerat Delpedro Marhaen? Atau justru ini adalah bentuk misinterpretasi terhadap sebuah karya seni? Bagikan pendapat dan pemikiran kalian di kolom komentar di bawah! Mari kita berdiskusi secara sehat dan konstruktif.

Posting Komentar