Geger! Buku Ketua DPRD Kaltim 'Dijual' di Sekolah, Dinas Pendidikan Angkat Bicara
Halo, Kawan-kawan SuaraKaltim! Ada kabar yang bikin heboh jagat pendidikan di Kalimantan Timur nih. Kabarnya, ada buku berjudul “Mengubah Nasib” yang ditulis oleh Ketua DPRD Kaltim, Bapak Hasanuddin Mas’ud, “dijual” secara wajib di beberapa sekolah. Sontak, hal ini langsung memicu perdebatan sengit di ruang publik, terutama di kalangan orang tua dan pegiat pendidikan.
Buku yang awalnya disebut-sebut sebagai bacaan inspiratif ini tiba-tiba menjadi sorotan tajam. Pasalnya, peredarannya di sekolah-sekolah dinilai sangat bermasalah, karena ada indikasi kuat bahwa siswa diwajibkan untuk membelinya. Tentu saja, praktik semacam ini langsung membuat banyak pihak bertanya-tanya: kok bisa buku seorang pejabat politik jadi wajib dibeli di sekolah?
Drama di Balik Buku ‘Mengubah Nasib’: Kenapa Jadi Masalah Besar?¶
Kontroversi ini mencuat ke permukaan seperti gunung es yang tiba-tiba muncul di lautan tenang. Sebuah buku yang semestinya menjadi jendela ilmu atau inspirasi, malah berubah menjadi sumber polemik yang panas. Kita semua tahu, pendidikan adalah sektor yang sangat sensitif dan harus steril dari segala bentuk kepentingan di luar kurikulum murni.
Ketika Inspirasi Berujung Kontroversi¶
Judulnya memang terdengar menarik, “Mengubah Nasib”. Siapa yang tidak ingin nasibnya berubah menjadi lebih baik, bukan? Apalagi jika ditulis oleh seorang tokoh yang sukses di kancah politik lokal seperti Hasanuddin Mas’ud. Mungkin niat awalnya adalah berbagi pengalaman dan memberikan motivasi kepada para pelajar. Namun, cara distribusinya yang “wajib beli” inilah yang kemudian memicu badai kritik.
Bayangkan saja, para siswa atau orang tua merasa terbebani dengan keharusan membeli buku yang mungkin tidak relevan dengan materi pelajaran inti. Selain itu, status penulisnya sebagai pejabat publik semakin memperumit situasi. Ini bukan hanya soal harga buku, tetapi juga tentang etika dan integritas dalam dunia pendidikan yang seharusnya netral dan objektif. Kontroversi ini secara tidak langsung juga menimbulkan pertanyaan serius mengenai prioritas dan fokus utama dari institusi pendidikan kita.
Suara Tegas dari Dinas Pendidikan¶
Melihat kegaduhan yang terjadi, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim, Bapak Armin, tidak tinggal diam. Dengan tegas, beliau menyatakan penolakannya terhadap praktik mewajibkan siswa membeli buku di luar kurikulum resmi. Pernyataan ini disampaikan oleh Armin pada Kamis, 4 September 2025, dan langsung menjadi angin segar bagi banyak pihak yang merasa khawatir.
Sikap tegas dari Disdikbud Kaltim ini tentu sangat penting. Ini menunjukkan bahwa lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas pendidikan memiliki komitmen untuk melindungi siswa dan lingkungan sekolah dari praktik-praktik yang tidak sesuai dengan prinsip pendidikan yang benar. Penolakan ini juga menjadi sinyal kuat bahwa Disdikbud tidak akan mentolerir upaya-upaya yang berpotensi membebani siswa atau memanfaatkan institusi pendidikan untuk kepentingan di luar akademik.
Mengupas Tuntas Penolakan Disdikbud: Kenapa Buku Harus Gratis?¶
Pernyataan Bapak Armin tidak hanya sekadar penolakan, tetapi juga disertai dengan argumen yang kuat dan mendasar. Beliau menyoroti beberapa poin penting yang seharusnya menjadi pegangan kita dalam menjaga kemurnian dunia pendidikan. Argumen-argumen ini patut kita telaah lebih dalam agar kita memahami akar permasalahannya.
Pelajaran dari Seorang Dosen¶
Bapak Armin, yang juga seorang dosen, memberikan perspektif menarik dari pengalamannya sendiri. “Saya dosen juga, dan tidak pernah mewajibkan mahasiswa membeli buku. Saya hanya menyebutkan referensinya. Mereka bebas memilih cari sendiri, versi digital, atau baca di perpustakaan,” ujarnya, dikutip dari Presisi.co. Pernyataan ini sangat relevan. Di tingkat perguruan tinggi sekalipun, di mana kemandirian belajar sangat dijunjung, tidak ada paksaan untuk membeli buku dari dosen.
Prinsip kebebasan dalam mencari sumber belajar adalah fondasi penting dalam pendidikan. Siswa dan mahasiswa harus diberi ruang untuk mengeksplorasi berbagai referensi, baik itu dalam bentuk fisik maupun digital, tanpa harus terbebani oleh kewajiban membeli. Dengan demikian, mereka bisa mengembangkan kemampuan kritis dan kemandirian belajar, bukan sekadar menjadi konsumen pasif dari satu sumber saja. Hal ini juga membantu memastikan bahwa akses terhadap informasi dan pengetahuan tidak terbatas pada kemampuan finansial seseorang.
Kewajiban Negara, Bukan Beban Siswa¶
Armin menekankan bahwa penyediaan buku adalah kewajiban sekolah dan pemerintah, bukan dibebankan kepada siswa. Ini adalah prinsip dasar pendidikan yang seringkali terlupakan. Pemerintah Provinsi Kaltim sendiri sudah menunjukkan konsistensinya dalam mendukung pendidikan melalui kebijakan seragam dan makan gratis. Lantas, mengapa untuk buku, siswa harus membeli?
“Kalau seragam dan makan saja gratis, buku juga seharusnya gratis,” tegas Armin. Logika ini sangat masuk akal. Jika negara berkomitmen untuk menyediakan kebutuhan dasar siswa demi kelancaran proses belajar, maka akses terhadap materi pembelajaran utama, termasuk buku, sudah seharusnya menjadi bagian dari komitmen tersebut. Pembebanan biaya buku kepada siswa atau orang tua dapat menciptakan kesenjangan akses pendidikan, terutama bagi keluarga yang kurang mampu.
Perbandingan Tanggung Jawab Pengadaan Material Pendidikan
Mari kita lihat perbandingan tanggung jawab pengadaan material pendidikan agar lebih jelas:
Pihak | Materi Pendidikan Utama | Materi Pendidikan Penunjang | Contoh Konkret |
---|---|---|---|
Pemerintah/Sekolah | Buku Kurikulum Resmi, Lembar Kerja Siswa (LKS) | Buku Referensi, Bacaan Tambahan | Buku Paket Tematik, Modul Ajar |
Siswa/Orang Tua | (Seharusnya Minim, kecuali Alat Tulis Pribadi) | Alat Tulis, Buku Catatan Pribadi | Pensil, Bolpoin, Buku Tulis |
Kontroversi Kasus Ini | Buku “Mengubah Nasib” | (Dianggap) Wajib Beli | Buku Biografi Pejabat |
Tabel ini menunjukkan bagaimana buku “Mengubah Nasib” yang seharusnya menjadi materi penunjang atau bahkan opsional, justru diposisikan sebagai “wajib beli”, yang sejatinya berada di luar domain tanggung jawab siswa. Ini adalah inti dari permasalahan yang muncul.
Relasi Kuasa dan Konflik Kepentingan: Ancaman dalam Dunia Pendidikan¶
Poin paling krusial yang diangkat Armin adalah potensi “relasi kuasa” dan “konflik kepentingan”. “Jangan sampai ada kesan dipaksa beli buku, apalagi kalau penulisnya pejabat publik. Ini bisa menimbulkan relasi kuasa dan konflik kepentingan,” tegasnya. Relasi kuasa terjadi ketika seseorang memiliki posisi otoritas (misalnya, Ketua DPRD) dan menggunakan posisi tersebut untuk memengaruhi atau bahkan menekan pihak lain (siswa/orang tua melalui sekolah).
Konflik kepentingan muncul ketika seorang pejabat publik memiliki kepentingan pribadi (misalnya, penjualan buku) yang berpotensi memengaruhi keputusan atau tindakan mereka dalam kapasitas sebagai pelayan publik. Di lingkungan sekolah, hal ini sangat berbahaya karena bisa merusak integritas pendidikan. Siswa bisa merasa tertekan untuk membeli, bukan karena nilai edukasinya, tetapi karena ada “kekuatan” di baliknya. Ini juga bisa menciptakan preseden buruk dan mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan. Jelas bahwa praktik semacam ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga berpotensi merugikan mentalitas dan otonomi belajar siswa.
Urgensi dan Relevansi Buku: Apakah Layak untuk Siswa?¶
Di luar masalah relasi kuasa dan konflik kepentingan, ada pertanyaan mendasar lain yang dipertanyakan oleh Disdikbud: apakah buku tersebut benar-benar relevan dan memiliki urgensi dalam konteks pendidikan? Ini bukan hanya tentang siapa penulisnya, tapi juga apa isinya dan bagaimana manfaatnya bagi siswa.
Sebuah Pertanyaan Krusial dari Disdikbud¶
“Tidak ada ide brilian atau solusi pendidikan di buku itu. Kalau memang mau menyumbang karya, ya sumbangkan saja ke perpustakaan sekolah,” kata Armin. Pernyataan ini cukup telak. Jika buku tersebut tidak mengandung gagasan inovatif atau solusi konkret untuk permasalahan pendidikan, maka urgensinya dipertanyakan. Buku-buku yang masuk ke lingkungan sekolah seharusnya diseleksi berdasarkan nilai edukatif, kesesuaian kurikulum, dan kontribusinya terhadap pengembangan siswa.
Buku biografi atau inspiratif memang memiliki tempatnya, namun harus melalui mekanisme yang tepat, seperti pengadaan perpustakaan secara mandiri, bukan melalui penjualan paksa. Jika seorang pejabat ingin berkontribusi, menyumbangkan karyanya secara gratis ke perpustakaan sekolah adalah cara yang jauh lebih etis dan bermanfaat. Hal ini sejalan dengan semangat berbagi ilmu tanpa motif ekonomi terselubung.
Mari kita lihat bagaimana proses pengadaan buku di sekolah seharusnya berjalan, dibandingkan dengan praktik kontroversial yang terjadi:
```mermaid
graph TD
A[Kebutuhan Kurikulum/Literasi] → B{Penyusunan Daftar Pustaka Rekomendasi oleh Guru/Pustakawan};
B → C[Verifikasi Relevansi & Kualitas oleh Komite Sekolah/Disdikbud];
C → D{Pengajuan Anggaran untuk Pembelian/Pencarian Donasi};
D → E[Pembelian/Penerimaan Buku oleh Perpustakaan Sekolah];
E → F[Akses Gratis & Merata untuk Seluruh Siswa];
subgraph Praktik Kontroversial
G[Pejabat Publik Menulis Buku (Biografi/Inspirasi)] --> H[Buku Diedarkan ke Sekolah melalui Jalur Non-Resmi];
H --> I{Siswa/Orang Tua Diwajibkan Membeli Buku Tersebut};
I --> J[Dana Penjualan Masuk ke Pihak Penulis/Distributor];
J --> K[Polemik Publik & Pelanggaran Etika Pendidikan];
end
style F fill:#9f6,stroke:#333,stroke-width:2px
style K fill:#f66,stroke:#333,stroke-width:2px
```
Dari diagram di atas, terlihat jelas ada perbedaan fundamental antara proses pengadaan buku yang benar dan praktik yang menjadi kontroversi ini. Mekanisme yang benar mengutamakan kebutuhan siswa dan akses gratis, sedangkan praktik kontroversial cenderung memaksakan buku dan melibatkan transaksi keuangan yang tidak semestinya.
Jangan Jadikan Sekolah Arena Politik!¶
Armin juga tidak sungkan memberi peringatan keras agar ruang pendidikan tidak disalahgunakan sebagai arena politik. “Ini bisa menimbulkan kesan kampanye dini, apalagi kalau dipaksakan masuk ke sekolah-sekolah. Kita harus menjaga ruang pendidikan tetap netral dan murni,” pungkasnya. Peringatan ini sangat relevan, mengingat posisi penulis buku sebagai Ketua DPRD Kaltim.
Sekolah adalah tempat di mana anak-anak dibina untuk menjadi warga negara yang cerdas dan kritis, jauh dari intrik politik praktis. Memasukkan unsur politik, apalagi dalam bentuk “wajib beli” buku seorang pejabat, berpotensi meracuni pikiran siswa dan menciptakan kesan bahwa pendidikan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Integritas institusi pendidikan harus dijaga mati-matian agar tetap netral dan fokus pada misi utamanya: mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa bias. Ini adalah prinsip dasar yang harus dipegang teguh oleh semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan.
Sebagai ilustrasi pentingnya menjaga netralitas dan integritas dalam dunia pendidikan serta pemerintahan, kita bisa merujuk pada prinsip-prinsip etika bagi pejabat publik. Pejabat publik, termasuk Ketua DPRD, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan menghindari tindakan yang bisa menimbulkan konflik kepentingan. Berikut adalah video yang relevan tentang pentingnya integritas pejabat publik, meskipun tidak secara langsung membahas kasus ini, namun prinsipnya sangat berlaku:
Video ini berjudul “Integritas Pejabat Publik” dari KPK RI, menggambarkan bagaimana pejabat harus bersikap profesional dan bebas dari konflik kepentingan, sebuah prinsip yang sangat relevan dengan diskusi kita.
Klarifikasi dari Ketua DPRD: Sebuah Kesalahpahaman?¶
Setelah menjadi sorotan, akhirnya Ketua DPRD Kaltim, Bapak Hasanuddin Mas’ud, angkat bicara untuk mengklarifikasi situasi yang berkembang. Keterangan dari beliau memberikan sudut pandang lain dalam pusaran kontroversi ini.
Hasanuddin Mas’ud Angkat Bicara¶
Dalam pernyataannya, Hasanuddin Mas’ud mengklarifikasi bahwa dirinya tidak mengetahui peredaran bukunya di sekolah. Beliau menjelaskan, karya autobiografi tersebut sudah terbit sejak tahun 2020 atau 2021 lalu, jauh sebelum isu ini mencuat. Ini berarti, menurut beliau, buku tersebut tidak ditulis atau didistribusikan dengan niat untuk ‘dipaksakan’ di sekolah saat ini.
Klarifikasi ini tentu saja penting untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh. Jika memang penulis tidak mengetahui praktik penjualan wajib di sekolah, maka muncul pertanyaan baru: siapa yang berada di balik inisiatif ini? Apakah ada pihak ketiga yang berinisiatif, atau adakah kesalahpahaman dalam komunikasi di tingkat sekolah? Penjelasan dari Hasanuddin Mas’ud ini bisa jadi meredakan sebagian kekhawatiran, namun di sisi lain juga membuka tabir pertanyaan baru tentang rantai distribusi dan pengambilan keputusan di level bawah.
Pertanyaan Tanpa Jawaban: Siapa yang Bertanggung Jawab?¶
Jika Ketua DPRD Kaltim sendiri tidak tahu-menahu tentang peredaran bukunya di sekolah dengan sistem wajib beli, maka pertanyaan besar yang muncul adalah: siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas praktik ini? Apakah ada oknum di sekolah atau pihak distributor yang berinisiatif tanpa sepengetahuan penulis? Atau adakah miskomunikasi yang menyebabkan interpretasi berbeda terkait status buku tersebut?
Situasi ini menuntut adanya investigasi lebih lanjut untuk menemukan sumber permasalahan dan memastikan pertanggungjawaban. Penting untuk mengidentifikasi siapa yang mengeluarkan instruksi “wajib beli” ini, agar masalah serupa tidak terulang di kemudian hari. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik, terutama dalam sistem pendidikan yang seharusnya bersih dari segala bentuk praktik yang meragukan. Kasus ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak untuk selalu berpegang pada etika dan prosedur yang benar.
Refleksi dan Harapan untuk Pendidikan Kaltim¶
Kontroversi buku ini menjadi cermin bagi kita semua, khususnya para pemangku kepentingan di Kalimantan Timur, untuk lebih serius dalam menjaga integritas dunia pendidikan. Kejadian ini bukan sekadar tentang satu buku, melainkan tentang prinsip dasar pendidikan yang adil, merata, dan bebas dari kepentingan di luar tujuan mencerdaskan.
Kita patut mengapresiasi sikap tegas Disdikbud Kaltim yang sigap menanggapi isu ini. Ini menunjukkan komitmen untuk melindungi siswa dan orang tua dari praktik yang membebani dan merusak etika pendidikan. Harapannya, insiden ini menjadi pelajaran berharga agar setiap kebijakan atau inisiatif yang berkaitan dengan pendidikan selalu mempertimbangkan aspek objektivitas, relevansi, dan ketiadaan konflik kepentingan. Mari bersama-sama pastikan bahwa sekolah kita tetap menjadi tempat yang netral, aman, dan fokus pada pengembangan potensi terbaik anak-anak bangsa, tanpa ada intervensi yang meragukan. Pengawasan yang lebih ketat dan edukasi etika kepada seluruh elemen pendidikan, mulai dari guru, kepala sekolah, hingga dinas terkait, adalah langkah penting untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.
Yuk, Ngobrol Bareng!¶
Bagaimana menurut kalian, Kawan-kawan SuaraKaltim? Apakah kalian pernah mengalami atau mendengar kasus serupa di sekolah? Apa pendapat kalian tentang pentingnya menjaga netralitas sekolah dari kepentingan politik atau komersial? Bagikan pemikiran dan pengalaman kalian di kolom komentar ya! Kita ngobrol santai dan diskusi seru biar pendidikan kita makin maju!
Posting Komentar