Pengen Bikin Perubahan? Yuk, Satukan Kekuatan! Ini Caranya!
Kita semua pasti punya keinginan untuk melihat perubahan positif di sekitar kita. Entah itu perubahan kecil di lingkungan terdekat atau yang lebih besar di tingkat nasional. Tapi, sering kali kita bertanya-tanya, bisa nggak sih orang-orang baik itu bersatu dan benar-benar mendorong perubahan besar? Alissa Wahid, seorang aktivis sosial sekaligus Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, punya keyakinan kuat.
Menurut Alissa, ia percaya bahwa orang-orang baik bisa dikumpulkan, asalkan mereka bisa menemukan visi yang sama. Ini menanggapi stereotip di masyarakat yang kadang menganggap orang-orang “jahat” atau “amoral” justru lebih gampang bersatu dan membangun gerakan. Sementara itu, mereka yang dinilai punya moralitas tinggi seringnya malah cenderung diam dan bergerak sendiri-sendiri.
Alissa mengamati bahwa orang-orang yang dianggap amoral ini memang lebih mudah bertindak karena mereka tidak terikat oleh norma sosial. Mereka merasa bebas melakukan apa saja demi tujuan mereka. Berbeda dengan orang baik yang dibatasi oleh cara-cara yang memang harus baik dan sesuai etika. Ini menjadi dilema besar, terutama saat ada demonstrasi yang berakhir ricuh, seperti kejadian Agustus lalu.
Tindakan pembakaran dan penjarahan yang terjadi saat itu menimbulkan banyak reaksi. Para aktivis sosial dan gerakan masyarakat sipil pun merasa dilema antara idealisme dan realitas. Bagaimana mungkin menerima tindakan yang merugikan, sementara di sisi lain, cara-cara baik terkadang tidak cukup didengarkan. Rasanya seperti terjebak di tengah-tengah antara hati nurani dan tuntutan untuk didengar.
Kenapa Orang Baik Sulit Bersatu?¶
Selain terikat norma, ada beberapa faktor lain yang mungkin membuat orang baik kesulitan bersatu untuk perubahan. Seringkali, orang baik cenderung sangat individualis dalam prinsip mereka. Mereka mungkin punya standar moral pribadi yang tinggi, tapi belum tentu punya visi kolektif yang kuat untuk diimplementasikan bersama. Ini bisa jadi karena rasa takut salah atau tidak sempurna dalam gerakan bersama.
Selain itu, orang baik juga seringkali terlalu hati-hati dalam memilih jalan dan metode. Mereka menganalisis segala kemungkinan risiko dan konsekuensi, sehingga proses pengambilan keputusan bersama jadi lebih lambat. Dibandingkan dengan kelompok yang kurang terikat etika, mereka mungkin langsung bertindak tanpa banyak pertimbangan. Proses diskusi yang panjang dan rumit seringkali menghabiskan energi sebelum aksi nyata dimulai.
Ada juga masalah kepercayaan dan ego. Setiap individu baik bisa saja punya ide yang brilian, tapi menyatukan ide-ide tersebut ke dalam satu tujuan bersama butuh kemauan untuk menurunkan ego. Mencari titik temu dari berbagai pandangan yang sama-sama baik namun berbeda, bisa jadi tantangan yang luar biasa. Oleh karena itu, penting sekali untuk menemukan platform yang bisa memfasilitasi dialog dan konsensus tanpa mengorbankan prinsip moral.
Menyatukan Kekuatan: Visi yang Sama Jadi Kunci¶
Lalu, bagaimana caranya kita bisa menyatukan orang-orang baik ini untuk mendorong perubahan? Alissa Wahid menegaskan bahwa orang-orang baik hanya bisa disatukan oleh visi yang sama. Visi ini bukan sekadar cita-cita kosong, tapi sebuah tujuan bersama yang jelas dan mengikat semua pihak. Ini adalah fondasi utama yang akan membentuk arah dan semangat gerakan.
Gerakan masyarakat yang efektif, menurut Alissa, setidaknya harus punya empat elemen utama. Keempat hal ini adalah pilar yang akan membuat sebuah gerakan kuat dan berkelanjutan. Tanpa salah satu pilar ini, gerakan bisa goyah atau bahkan tidak efektif. Mari kita bahas lebih lanjut setiap elemen tersebut, karena ini adalah resep ampuh untuk menyatukan kekuatan.
1. Urgensi yang Dirasakan Bersama¶
Poin pertama yang sangat penting adalah urgensi. Sebuah gerakan tidak akan bisa berjalan kuat jika tidak lahir dari kepentingan yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat luas. Masyarakat harus merasakan bahwa ada masalah mendesak yang butuh segera diselesaikan. Tanpa adanya alasan kuat yang bisa dipahami dan dirasakan publik, akan sangat sulit bagi sebuah gerakan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi yang luas.
Misalnya, ketika harga kebutuhan pokok melonjak tinggi, masyarakat secara otomatis merasakan urgensi untuk menuntut stabilitas ekonomi. Atau saat lingkungan tercemar parah, semua pihak akan merasakan kebutuhan mendesak untuk menjaga kesehatan. Urgensi ini bukan cuma sekadar isu, tapi harus menjadi rasa yang mendalam di hati banyak orang. Jika urgensi itu kuat, maka motivasi untuk bertindak pun akan otomatis terbangun.
2. Visi yang Jelas dan Terfokus¶
Selanjutnya adalah visi yang jelas. Visi ibarat peta jalan yang menunjukkan ke mana arah perjalanan sebuah gerakan. Alissa mencontohkan gagasan seperti “17+8” yang belakangan muncul. Gagasan ini memang sarat semangat dan mengandung banyak tujuan baik, tapi justru karena terlalu banyak dan luas, fokusnya bisa jadi kabur. Ketika visi terlalu ambisius atau mencakup terlalu banyak hal, orang-orang bisa jadi bingung harus memprioritaskan yang mana terlebih dahulu.
Visi yang efektif itu spesifik, terukur, bisa dicapai, relevan, dan punya batasan waktu (SMART). Misalnya, daripada menuntut “perubahan total”, lebih baik fokus pada “pemberantasan korupsi di sektor X dalam dua tahun ke depan”. Visi yang terlalu luas membuat energi terpecah dan sulit untuk diwujudkan secara konkret. Oleh karena itu, konsolidasi untuk menyaring visi menjadi sesuatu yang tajam dan terfokus sangat krusial. Ini akan membuat setiap anggota gerakan tahu persis apa yang mereka perjuangkan.
3. Kapasitas yang Mumpuni¶
Pilar ketiga adalah kapasitas. Gerakan memerlukan kemampuan nyata untuk mendorong perubahan yang diinginkan. Kapasitas ini bisa bermacam-macam, mulai dari jaringan yang luas, sumber daya finansial yang cukup, hingga keahlian khusus yang relevan. Misalnya, sebuah gerakan anti-korupsi butuh ahli hukum, data scientist, dan media strategis. Kapasitas juga mencakup kemampuan organisasi untuk merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program.
Tanpa kapasitas yang memadai, sebuah gerakan hanya akan berhenti pada wacana dan diskusi tanpa aksi. Gerakan harus mampu mengawal kementerian, lembaga, atau institusi yang menjadi target perubahan mereka. Ini membutuhkan strategi yang matang, tim yang solid dengan pembagian tugas yang jelas, serta dukungan logistik. Membangun kapasitas bisa dilakukan dengan saling belajar, berbagi keahlian, dan merekrut anggota dengan latar belakang beragam.
4. Langkah Awal yang Konkret (Actionable First Step)¶
Terakhir, dan tak kalah penting, adalah langkah awal yang bisa dijalankan (actionable first step). Visi dan semangat yang membara hanya akan jadi angan-angan belaka jika tidak ada langkah konkret yang bisa segera dimulai. Langkah kecil pertama ini sangat penting sebagai penanda bahwa gerakan itu benar-benar bisa bekerja dan bukan cuma sekadar harapan yang melayang-layang. Ini membangun momentum dan kepercayaan.
Misalnya, jika visinya adalah “mengurangi sampah plastik di kota”, langkah pertama bisa jadi “mengadakan kampanye edukasi dan menyediakan tempat daur ulang di satu kelurahan percontohan”. Langkah ini harus realistis, punya target jelas, dan bisa segera dieksekusi. Keberhasilan langkah awal ini akan menjadi motivasi besar bagi anggota dan menarik dukungan publik lebih lanjut. Ini menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin dan bisa dimulai dari hal kecil.
Alissa Wahid sangat yakin bahwa masyarakat Indonesia sudah mengantongi keempat hal fundamental ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah konsolidasi. “Saya percaya bisa mengumpulkan orang baik. Tinggal kita menemukan visi yang sama, value yang jelas, urgensi sudah ada, kapasitas kita bisa saling memperkuat bagi-bagi tugas, merumuskan first step kita bersama. Ini yang membuat saya yakin untuk mengumpulkan si kelas menengah terdidik,” terangnya dengan optimis.
Fokuskan Tuntutan untuk Perubahan Nyata¶
Prof. Rhenald Kasali, seorang akademisi dan ahli ekonomi ternama, juga sangat yakin bahwa perubahan bisa dicapai di Indonesia. Namun, ia menekankan bahwa perubahan itu butuh proses, tidak bisa instan. Pemerintah, dalam hal ini, harus terus-menerus diingatkan oleh masyarakat, baik melalui diskusi, advokasi, atau aksi damai. Pergerakan untuk mengingatkan ini tidak boleh berhenti.
Prof. Rhenald juga menyoroti masalah klasik yang sering berulang dalam gerakan masyarakat, yaitu fragmentasi. Setiap kelompok seringkali ingin membawa agenda sendiri, melahirkan tuntutan baru, bahkan menciptakan jargon-jargon segar yang justru bisa melemahkan fokus gerakan bersama. Ini adalah tantangan besar yang harus diatasi jika kita ingin perubahan yang efektif.
Bayangkan saja, ketika sebuah gerakan sudah punya 12 tuntutan yang jelas, lalu beberapa hari kemudian muncul format baru dengan 17+8 tuntutan. Alih-alih memperluas basis solidaritas, publik justru menangkap kesan adanya panggung yang diperebutkan di antara para aktivis. Pergeseran tuntutan yang cepat dan tidak terkoordinasi semacam ini memberikan sinyal inkonsistensi. Pada akhirnya, ini akan menurunkan daya tekan gerakan terhadap pemerintah, karena pesannya jadi tidak seragam.
Masalah fragmentasi ini tidak bisa dilepaskan dari budaya kelas menengah terdidik. Golongan ini memang kaya ide, cepat merespons isu, dan punya analisis tajam. Namun, kadang mereka terjebak dalam ego sektoral. Setiap kelompok merasa punya gagasan paling valid dan penting untuk diperjuangkan. Padahal, energi besar justru akan lahir bila tuntutan dikonsolidasikan dalam satu suara yang bulat dan kuat.
Untuk mengatasi ini, penting sekali untuk mengurangi ego masing-masing dan lebih fokus pada tujuan bersama. Tidak penting siapa yang meluncurkan gagasan atau siapa yang paling vokal, yang terpenting adalah perubahan itu benar-benar terjadi. Konsolidasi tuntutan menjadi satu atau beberapa poin kunci yang kuat akan jauh lebih efektif daripada puluhan tuntutan yang tersebar dan membingungkan. Ini akan membuat pesan menjadi lebih mudah dicerna publik dan sulit diabaikan oleh pihak yang berwenang.
Bayangkan jika setiap gerakan kecil, dengan berbagai isunya, berhasil menemukan benang merah yang mengikat mereka pada satu atau dua tujuan utama. Misalnya, semua sepakat bahwa “transparansi anggaran publik” adalah prioritas utama. Maka, semua energi akan disalurkan ke sana, tanpa terpecah. Ini akan jauh lebih berdampak.
Ini adalah grafik sederhana yang menggambarkan dampak fragmentasi versus konsolidasi dalam gerakan sosial:
```mermaid
graph TD
A[Banyak Tuntutan Terfragmentasi] → B{Sulit Fokus & Koordinasi}
B → C[Pesan Inkonsisten ke Publik]
C → D[Daya Tekan Menurun]
D → E[Perubahan Lambat/Tidak Terjadi]
F[Sedikit Tuntutan Terkonsolidasi] --> G{Fokus & Koordinasi Kuat}
G --> H[Pesan Jelas ke Publik]
H --> I[Daya Tekan Maksimal]
I --> J[Perubahan Lebih Cepat/Efektif]
```
Grafik di atas menunjukkan bahwa dengan mengurangi fragmentasi dan fokus pada konsolidasi, potensi keberhasilan sebuah gerakan akan jauh lebih besar.
Tentu, tidak mudah untuk mencapai konsensus di antara banyak kepala pintar, tetapi itulah esensi dari kekuatan kolektif. Ketika kita bisa menyingkirkan ego dan berfokus pada apa yang benar-benar penting, barulah kekuatan sejati dari masyarakat akan terlihat dan mampu mendorong perubahan yang fundamental.
Bagaimana menurut kalian? Pernahkah kalian bergabung dalam gerakan sosial dan merasakan tantangan fragmentasi ini? Atau adakah ide lain untuk menyatukan orang-orang baik demi perubahan? Yuk, bagikan pengalaman dan pandangan kalian di kolom komentar!
Posting Komentar