Sekaten Jogja vs Solo: Apa Sih Bedanya? Yuk, Cari Tahu!
Tradisi Sekaten adalah salah satu warisan budaya yang paling ikonik di tanah Jawa, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Setiap tahun, menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, kedua kota ini secara serentak menyelenggarakan perayaan yang kaya akan sejarah dan makna spiritual. Mulai dari tanggal 5 hingga 11 Rabiul Awal tahun Hijriah—atau yang akrab disebut bulan Mulud dalam penanggalan Jawa—gema gamelan pusaka mulai membahana, menandai dimulainya rangkaian acara.
Puncak dari seluruh rangkaian Sekaten adalah Grebeg Maulud yang diselenggarakan pada tanggal 12 Rabiul Awal. Grebeg Maulud ini selalu dinanti, di mana gunungan hasil bumi dan makanan diarak dan diperebutkan oleh ribuan warga. Tahun ini, kemeriahan Sekaten sudah dimulai sejak 30 Agustus 2025, membawa semangat kebersamaan dan spiritualitas di tengah masyarakat.
Sekaten: Sebuah Warisan Islam Jawa yang Tak Lekang Oleh Waktu¶
Sekaten memiliki akar sejarah yang sangat dalam, bermula dari masa kejayaan Kerajaan Mataram Islam. Tradisi ini diciptakan sebagai salah satu metode syiar Islam yang cerdas dan efektif. Para wali dan tokoh agama pada masa itu menyadari bahwa seni dan budaya lokal adalah media yang paling mudah diterima oleh masyarakat Jawa, sehingga ajaran Islam dapat menyebar dengan damai dan harmonis.
Pengemasan dakwah melalui seni, terutama gamelan, terbukti sangat berhasil menarik perhatian masyarakat. Mereka berbondong-bondong datang untuk mendengarkan alunan gamelan dan secara tidak langsung terpapar dengan ajaran-ajaran Islam yang disampaikan. Inilah yang membuat Sekaten bukan hanya sekadar perayaan, melainkan sebuah jembatan antara budaya lokal dan nilai-nilai keagamaan.
Hingga kini, Sekaten tetap menjadi simbol kekuatan peradaban Islam Jawa yang terus lestari. Dua pusat kebudayaan Jawa, yakni Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, dengan setia menjaga dan melanjutkan tradisi ini. Kehadiran Sekaten setiap tahunnya menjadi pengingat akan kekayaan sejarah dan kearifan lokal yang patut dibanggakan.
Dua Kota, Satu Semangat: Esensi Sekaten yang Tak Berubah¶
Meskipun dilaksanakan di dua wilayah kerajaan yang berbeda, esensi utama Sekaten di Yogyakarta dan Surakarta sebenarnya sama. Keduanya merupakan perayaan besar untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, dengan prosesi pembacaan riwayat hidup Nabi yang diiringi oleh berbagai upacara adat. Fokus utamanya adalah penghormatan kepada Nabi dan penyebaran nilai-nilai keislaman.
Widihasto, seorang abdi dalem Kaprajan sekaligus Ketua Sekretariat Bersama Keistimewaan DIY, menegaskan hal ini. Ia menjelaskan bahwa secara substansi, inti dari Sekaten di kedua kota tersebut adalah sama, yakni semangat memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perbedaan yang ada hanya terletak pada “pernik-pernik dan detail penyajiannya,” yang justru menjadikan masing-masing perayaan unik.
Ini menunjukkan bahwa meskipun ada pemisahan wilayah dan budaya, nilai-nilai fundamental dari Sekaten tetap terjaga. Spirit kebersamaan, penghormatan, dan syiar Islam tetap menjadi benang merah yang menghubungkan perayaan ini di kedua keraton. Dari sinilah kita bisa melihat bagaimana satu warisan bisa beradaptasi dan berkembang menjadi dua ekspresi yang berbeda namun tetap sakral.
Jantung Sekaten: Perbedaan Gamelan Pusaka yang Melegenda¶
Salah satu perbedaan paling menonjol dan menjadi identitas khas Sekaten Yogyakarta dan Surakarta adalah gamelan pusaka yang dimainkan. Gamelan ini bukan sekadar alat musik, melainkan benda keramat yang memiliki sejarah panjang dan makna mendalam bagi kedua keraton. Kehadiran gamelan inilah yang menjadi magnet utama perayaan Sekaten.
Pembagian Pusaka Pasca-Perjanjian Giyanti¶
Awalnya, gamelan Sekaten adalah pusaka Kerajaan Mataram yang terdiri dari dua perangkat, yaitu Gamelan Kyai Guntur Madu dan Gamelan Kyai Guntur Sari. Namun, sejarah mencatat adanya sebuah peristiwa penting yang mengubah peta politik dan kebudayaan Jawa: Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini secara resmi memecah Kerajaan Mataram menjadi dua entitas besar: Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Sebagai konsekuensi dari perjanjian tersebut, simbol-simbol kerajaan, termasuk gamelan pusaka, juga harus dibagi. Dalam pembagian itu, Kasunanan Surakarta memperoleh Gamelan Kyai Guntur Sari, yang dikenal dengan alunan yang gagah dan penuh wibawa. Sementara itu, Kasultanan Yogyakarta mendapatkan Gamelan Kyai Guntur Madu, yang suaranya diyakini mampu menenangkan hati dan membawa kesejukan.
Pembagian ini bukan hanya tentang kepemilikan benda, melainkan juga simbol dari identitas dan karakter masing-masing kerajaan. Sejak saat itu, gamelan pusaka ini menjadi lambang otentik yang membedakan perayaan Sekaten di kedua kota, meskipun berasal dari leluhur yang sama.
Filosofi di Balik Nama Gamelan dan Proses “Mutrani”¶
Untuk melengkapi pasangan gamelan pusaka mereka, Keraton Yogyakarta melakukan langkah unik. Setelah mendapatkan Kyai Guntur Madu, mereka membuat gamelan baru yang disebut sebagai hasil “mutrani” atau peniruan spiritual dari Guntur Sari. Gamelan baru ini kemudian diberi nama Kanjeng Kyai Nogo Wilogo. Proses “mutrani” ini bukan sekadar meniru bentuk fisik, melainkan juga mencoba menangkap esensi dan kekuatan spiritual dari Kyai Guntur Sari.
Kanjeng Kyai Nogo Wilogo memiliki karakter suara yang melengkapi Guntur Madu, menciptakan harmoni yang khas untuk Sekaten Yogyakarta. Nama “Nogo Wilogo” sendiri memiliki makna mendalam, di mana “naga” sering diasosiasikan dengan kekuatan dan “wilogo” dengan pertempuran atau semangat juang. Hal ini menunjukkan filosofi Yogyakarta yang juga memiliki semangat hamemayu hayuning buwana, menjaga keseimbangan dan keindahan dunia dengan kekuatan dan kebijaksanaan.
Sementara itu, di Surakarta, mereka tetap setia dengan pasangan aslinya, Gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Gamelan Kanjeng Kyai Guntur Sari. Kombinasi ini merepresentasikan kesinambungan dari warisan Mataram Islam yang tak terputus. Kedua gamelan ini secara turun-temurun menjadi penjaga tradisi dan penanda identitas budaya di Kasunanan Surakarta.
Ragam Harmoni: Jadwal dan Lokasi Tabuhan Gamelan¶
Gamelan Sekaten ini tidak dimainkan setiap saat, melainkan pada jadwal khusus selama perayaan. Di kedua keraton, gamelan ini mulai ditabuh dari tanggal 6 hingga 11 Rabiul Awal. Biasanya, mereka dimainkan sebanyak tiga kali sehari, menciptakan atmosfer magis yang menyelimuti area keraton dan alun-alun.
Ada pengecualian untuk jadwal ini, yaitu pada Kamis petang hingga selepas salat Jumat. Selama periode ini, tabuhan gamelan Sekaten dihentikan untuk menghormati hari Jumat sebagai hari yang suci dalam Islam, memberikan jeda spiritual bagi masyarakat dan para abdi dalem. Tradisi ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai keagamaan terintegrasi erat dengan praktik budaya.
Di Yogyakarta, gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Nogo Wilogo ditempatkan di Bangsal Pagelaran dan Bangsal Ponconiti di Alun-Alun Utara. Tabuhannya yang khas menjadi penanda dimulainya rangkaian acara dan menarik ribuan orang untuk berkumpul. Di Surakarta, Gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Guntur Sari juga ditabuh di lokasi strategis yang memungkinkan suaranya menjangkau khalayak luas, seringkali di sekitar pelataran keraton dan alun-alun.
Aspek | Yogyakarta | Surakarta |
---|---|---|
Gamelan Pusaka | Kanjeng Kyai Guntur Madu & Kanjeng Kyai Nogo Wilogo | Kanjeng Kyai Guntur Madu & Kanjeng Kyai Guntur Sari |
Asal Nogo Wilogo | “Mutrani” dari Kyai Guntur Sari setelah Perjanjian Giyanti | Kyai Guntur Sari adalah pusaka asli Mataram |
Fokus Budaya | Spiritual, simbolis, dan filosofis mendalam | Estetika pertunjukan, kemegahan visual, formal |
Ritual Khas | Jejak Banon, Gunungan Bromo (setiap 8 tahun), udhik-udhik | Lebih fokus pada kemegahan visual dan arak-arakan |
Karakter Keraton | Lebih merakyat, filosofis | Lebih aristokratik, formal, dan menjaga kemegahan |
Simbolisme dan Nuansa Budaya yang Khas¶
Nama “Sekaten” sendiri memiliki sejarah yang menarik. Ia berasal dari kata “sekati,” yang dulunya mengacu pada sepasang gamelan pusaka yang menjadi inti perayaan. Seiring berjalannya waktu dan pergeseran lidah masyarakat Jawa, pelafalan “sekati” kemudian berubah menjadi “Sekaten” seperti yang kita kenal sekarang. Meskipun sama dalam penggunaan istilah, setiap keraton memiliki caranya sendiri dalam menafsirkan dan melaksanakan ritual ini.
Pelaksanaan teknis, waktu acara, bentuk tembang, hingga cara arak-arakan gunungan bisa berbeda antara kedua keraton. Perbedaan ini bukan tanpa alasan; setiap detail mencerminkan karakter dan keunikan masing-masing wilayah, yang telah terbentuk selama berabad-abad. Dari sini kita bisa melihat bagaimana budaya adalah entitas yang hidup dan terus berevolusi sesuai dengan lingkungannya.
Karakter Yogyakarta: Spiritual dan Mendalam¶
Sekaten di Yogyakarta sangat kental dengan simbolisasi spiritual yang mendalam. Setiap ritual di dalamnya seolah menyimpan makna filosofis yang diwariskan dari generasi ke generasi. Contohnya adalah ritual Jejak Banon dan Gunungan Bromo, yang bahkan hanya dilaksanakan setiap delapan tahun sekali, menjadikannya sangat istimewa dan sakral.
Jejak Banon mengacu pada jejak langkah atau tapak kaki yang ditinggalkan oleh para leluhur, sebuah pengingat akan perjalanan spiritual dan ketauladanan. Sementara itu, Gunungan Bromo seringkali diartikan sebagai simbol kesuburan dan keseimbangan alam semesta, yang dalam konteks Islam juga dimaknai sebagai berkah dari Tuhan. Selain itu, tradisi udhik-udhik atau sebaran uang koin dan beras kuning oleh raja kepada rakyat juga menjadi bagian tak terpisahkan dari spiritualitas Sekaten Jogja, melambangkan kemurahan hati dan berbagi rezeki.
Ritual-ritual ini tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga tuntunan bagi masyarakat. Mereka diajak untuk merenungi makna di balik setiap gerakan dan simbol, memperkuat ikatan spiritual dengan nilai-nilai luhur Jawa dan Islam. Yogyakarta memang dikenal dengan karakteristiknya yang cenderung lebih merakyat dan filosofis dalam setiap ekspresi budayanya.
Karakter Surakarta: Estetika dan Kemegahan¶
Berbeda dengan Yogyakarta, Sekaten di Surakarta lebih menonjolkan unsur estetika pertunjukan dan kemegahan visual. Perayaan di Surakarta seringkali dikemas dengan sangat indah dan formal, mencerminkan karakter kerajaan yang lebih aristokratik dan menjaga wibawa keraton. Setiap prosesi diatur dengan cermat untuk memberikan pengalaman visual yang memukau bagi para penonton.
Dalam arak-arakan dan prosesi lainnya, detail-detail busana, tarian, dan penataan elemen visual menjadi sangat diperhatikan. Mereka ingin memastikan bahwa setiap aspek perayaan memancarkan keagungan dan kebesaran Kasunanan. Meskipun juga memiliki nilai spiritual, fokus pada keindahan lahiriah menjadi ciri khas yang membedakannya.
Kemegahan visual ini tidak hanya untuk menunjukkan kekuatan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan tertinggi kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan menyajikan perayaan yang semegah mungkin, Kasunanan Surakarta ingin menunjukkan rasa syukur dan bangga atas kelahiran junjungan alam semesta. Ini adalah cara Surakarta untuk memaknai dan merayakan warisan budayanya.
Lebih dari Sekadar Ritual: Pasar Malam dan Kehidupan Rakyat¶
Selain ritual inti di keraton, Sekaten juga identik dengan pasar malam atau yang sering disebut Pasar Malam Sekaten. Ini adalah bagian yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat luas, tempat di mana keramaian, kegembiraan, dan kebersamaan benar-benar terasa. Pasar malam ini biasanya dibuka jauh lebih awal dari puncak Sekaten dan menjadi pusat hiburan serta perdagangan.
Atmosfer Pasar Malam Sekaten di Yogyakarta¶
Pasar Malam Sekaten di Yogyakarta selalu memiliki daya tarik tersendiri. Ribuan pedagang tumpah ruah di Alun-Alun Utara, menawarkan berbagai macam dagangan mulai dari makanan khas, mainan tradisional, hingga berbagai pernak-pernik. Yang paling ikonik adalah keberadaan rangin atau jajanan manis yang hanya ada saat Sekaten, serta endog abang (telur merah) yang menjadi simbol keberuntungan.
Anak-anak sangat antusias dengan aneka mainan seperti onthel kecil, gasing, atau kincir angin berwarna-warni. Sementara itu, orang dewasa menikmati suasana hangat dengan mencicipi kuliner khas atau sekadar menikmati hiburan rakyat yang tersedia. Pasar malam ini bukan hanya tempat berbelanja, tetapi juga arena rekreasi keluarga yang tak lekang oleh zaman. Bahkan ada banyak wahana permainan sederhana yang nostalgia, seperti kincir raksasa atau komidi putar.
Kemeriahan Pasar Malam Sekaten di Surakarta¶
Tak kalah meriah, Pasar Malam Sekaten di Surakarta juga menyuguhkan pengalaman yang berbeda. Meskipun konsepnya sama, ada nuansa yang sedikit lebih formal dan terstruktur, sesuai dengan karakter keratonnya. Berbagai hiburan rakyat dan jajanan juga hadir, namun seringkali disajikan dengan sedikit sentuhan khas Surakarta.
Di Surakarta, keberadaan berbagai macam jajanan tradisional juga menjadi primadona. Ada banyak jenis makanan ringan yang khusus muncul saat Sekaten, menjadi incaran para pengunjung. Atraksi-atraksi seperti pertunjukan seni tradisional, pementasan wayang kulit, atau tari-tarian lokal seringkali juga menjadi bagian dari kemeriahan pasar malam, menambah kekayaan budaya yang ditawarkan.
Pasar malam ini menjadi representasi nyata dari bagaimana tradisi sakral bisa menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Ia menciptakan ruang di mana spiritualitas bertemu dengan kegembiraan duniawi, memperkuat ikatan komunitas dan melestarikan kearifan lokal.
Kuliner Khas Sekaten: Pemanis Suasana Perayaan¶
Perayaan Sekaten tidak akan lengkap tanpa kehadiran aneka kuliner khas yang hanya bisa ditemukan atau menjadi primadona selama momen ini. Ini adalah bagian integral dari pengalaman Sekaten yang menambah manis suasana perayaan. Salah satu yang paling terkenal adalah nasi gurih, yang seringkali disebut nasi blawong atau nasi wudhu.
Nasi gurih ini biasanya disajikan dengan lauk-pauk sederhana namun lezat, seperti irisan telur dadar, ayam suwir, atau kering tempe. Aroma gurih dari santan dan rempah-rempah yang digunakan untuk memasak nasi ini sangat menggoda, menjadikannya hidangan wajib yang disantap saat berkunjung ke area Sekaten. Selain itu, ada juga berbagai jajanan pasar tradisional yang mungkin sulit ditemukan di hari-hari biasa.
Jajanan seperti apem, serabi, atau getuk seringkali dijajakan di sekitar area perayaan. Kehadiran kuliner-kuliner ini bukan hanya memanjakan lidah, tetapi juga membawa nostalgia dan memperkuat identitas budaya Sekaten. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman merayakan Maulid Nabi dalam balutan tradisi Jawa.
Grebeg Maulud: Puncak Kemeriahan yang Dinanti¶
Grebeg Maulud adalah puncak dari seluruh rangkaian perayaan Sekaten, yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal. Di kedua keraton, Grebeg Maulud ditandai dengan arak-arakan gunungan, sebuah hasil bumi dan makanan yang ditata menyerupai gunung. Gunungan ini adalah simbol kesuburan, kemakmuran, dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di Yogyakarta, gunungan yang diarak biasanya terdiri dari Gunungan Lanang (laki-laki), Gunungan Wadon (perempuan), Gunungan Darat, Gunungan Gepak, dan Gunungan Pawuhan. Gunungan-gunungan ini diarak dari keraton menuju Masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan tersebut kemudian diperebutkan oleh ribuan warga yang telah menanti. Perebutan gunungan ini dipercaya membawa berkah dan keberuntungan bagi siapa saja yang berhasil mendapatkannya.
Di Surakarta, prosesi Grebeg Maulud juga tak kalah meriah, dengan arak-arakan gunungan yang megah dan teratur. Filosofi perebutan gunungan di kedua kota sama: ini adalah bentuk partisipasi rakyat dalam perayaan kerajaan, sekaligus harapan akan rezeki dan keselamatan. Suasana haru bercampur sukacita selalu menyelimuti momen sakral ini.
Video Rekomendasi: Mengintip Kemeriahan Grebeg Maulud¶
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang suasana Grebeg Maulud, kamu bisa mencari video-video dokumentasi di YouTube. Misalnya, ada banyak tayangan yang memperlihatkan keramaian dan antusiasme warga saat berebut gunungan.
Judul: Suasana Grebeg Maulud Jogja: Ribuan Warga Berebut Gunungan!
Deskripsi: Saksikan bagaimana antusiasme masyarakat Yogyakarta menyambut dan berebut gunungan dalam perayaan Grebeg Maulud, puncak dari rangkaian Sekaten yang penuh berkah.
Instagram Moments: Kilas Balik Penuh Warna¶
Di media sosial, banyak sekali momen-momen indah Sekaten yang diabadikan. Para pengunjung sering membagikan foto atau video suasana pasar malam, gamelan yang ditabuh, hingga detail-detail unik dari perayaan ini.
[INSTAGRAM POST SIMULATION]
✨ Moment Indah dari Sekaten Jogja! ✨
Gamelan Kyai Guntur Madu yang merdu dan suasana Pasar Malam yang riuh. Setiap sudut menyimpan cerita dan tradisi yang tak lekang oleh waktu. Jangan sampai ketinggalan kalau pas lagi ada di Jogja pas bulan Maulud ya! #SekatenJogja #MaulidNabi #TradisiJawa #WisataJogja #PesonaIndonesia
Postingan ini seringkali menunjukkan betapa hidupnya tradisi Sekaten di mata masyarakat modern.
Menjaga Warisan di Era Modern¶
Di tengah gempuran modernisasi dan perubahan zaman, Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta tetap berkomitmen untuk menjaga kelestarian tradisi Sekaten. Mereka terus berupaya agar warisan budaya ini tidak hanya menjadi peninggalan masa lalu, tetapi juga tetap relevan dan diminati oleh generasi muda. Tantangannya tentu tidak mudah, mulai dari pendanaan hingga edukasi kepada masyarakat.
Upaya-upaya seperti digitalisasi informasi, penyelenggaraan workshop tentang gamelan, hingga kolaborasi dengan seniman kontemporer seringkali dilakukan. Tujuannya adalah untuk menarik minat generasi muda agar mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pewaris dan pelestari tradisi ini. Dengan begitu, Sekaten akan terus hidup, beradaptasi, dan tetap menjadi identitas kebanggaan budaya Jawa.
Melalui Sekaten, kita bisa melihat bagaimana harmoni antara agama dan budaya dapat tercipta dengan indah. Ini adalah bukti bahwa kekayaan tradisi lokal dapat menjadi media yang ampuh untuk menyebarkan nilai-nilai luhur dan mempererat tali persaudaraan.
Nah, itu dia sedikit ulasan tentang perbedaan dan persamaan Sekaten di Jogja dan Solo. Meskipun ada detail yang berbeda, semangat kebersamaan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW tetap menjadi benang merahnya. Mana nih yang paling menarik perhatianmu? Atau kamu punya pengalaman seru saat ikut Sekaten di salah satu kota ini? Yuk, ceritakan di kolom komentar di bawah!
Posting Komentar